Cerpen Sedih: Manusia Kaca

Hari ini aku diajak Erik, pacarku yang keturunan bule itu untuk menonton suatu pertunjukan. Hm, katanya sih pertunjukan langka. Sesuatu yang jarang dilihat oleh umat manusia. Ialah manusia akar. Begitu sebutnya padaku.

Aku terbengong-bengong mendengar istilah itu hanya bisa termangut-mangut, karena tak ada kerjaan, lagipun aku sedang cuti hari ini sampai besok. Aku memutuskan untuk ikut serta. Daripada nganggur tak ada kerjaan. Tapi aku pura-pura males.

“Ayolah,’ rayuny, ‘mumpung sekali ini kesempatan kita untuk melihat manusia langka. Kapan lagi kalau tak sekarang?’

Kumainkan mimikku. Saat ia memintaku untuk turut serta. ‘em, baiklah, kuturuti semua maumu,’ sebutku.

Selaiknya sepasang insan yang sedang kasmaran. Aku bergandengan tangan menuju tempat yang dimaksud. Dua tiket yang dipegang Eric menuntun kami ke gedung pertunjukan—sebuah lokasi yang apik nan strategis, menurutku.

Di depannya terpampang tulisan besar-besar. Saksikan pertunjukan manusia ruang kaca. Satu-satunya makhluk langka yang masih hidup hingga kini dari zaman purba. Keanehan bentuk. Rupa dan sifat. Segala tingkahnya dapat Anda saksikan sendiri di sini. Selagi ada. Selagi sempat. Tontonlah acara ini! Acara langka!

Terus terang aku tak begitu menyukai dunia hiburan. Eksploitasi yang begitu menyeramkan beraneka rupa warna dan bentuknya. Semakin terlihat aneh. Semakin dicari dan diminati. Sebab mereka tampil berbeda dan menonjolkan karakternya. Lihat, salah satu contohnya pun akan kutonton sekarang.

Sebenarnya keikutsertaanku menonton ini, ialah untuk melanggengkan jalinanku dengan Eric. Bagaimana mungkin seorang kekasih mengajak wanitanya, tapi si wanita mengelak? Bagaimana mungkin aku menolak untuk berdua-duaan dengan kekasihku? Memadu kasih di pohon kerinduan yang lebat. Meminum madu candu dari putik sari-sarinya? Hah, bagaimana mungkin kulewati hari tanpa terdengar suara dan candanya? Tak mungkin. Maka aku memilih ikut menonton, meskipun aku tak menyukai hal ini.

Lagipun Eric orang yang sangat entertaint. Cita-citanya yang ingin menjadi entertaint sejati. Ia ambisius dalam merengkuh sesuatu. Suatu hal yang kukagumi darinya. Sebab aku tak memilikinya. Aku memilih menyerahkan hidupku pada alur kehidupan. Garis kehidupan yang tertoreh sejak aku diciptakan.

Kulirik Eric, wajahnya begitu tampan memesona tiap hawa yang melihatnya. Termasuk aku. Siapa yang tak bakal kesengsem dengan Ericku? Siapa coba? Berilah aku tahu orangnya? Akan kupastikan wanita itu jatuh tertunduk memohon Eric untuk menjadi kekasihnya. Hanya saja…

Sekelebat labirin putih menyelimuti
Hati yang kian pelu menahan rasa
Ada kepingan gambar yang belum nampak jelas di pinggir sebelah sana
Menghadapku
Melihatku
Mengintaiku

Di dalam aula terlihat luar biasa. Banyak pengunjung yang datang ke tempat ini. Pria. Wanita. Tua. Muda. Kaya. Miskin. Semuanya ada. Penyaji tempat ini piawai mempublikasikan acara ini. Pun mengatur segala persiapan acara ini. Salut.

Tak hanya manusia dalam kaca. Banyak juga yang ditampilkan keanehan-keanehan lain.  Tapi juga hewan. Pohon. Memiliki bentuknya yang unik-unik. Kupikir sungguh besar cipta Tuhan dalam mencipta makhluknya. Mampu membentuk sesuai keinginan-Nya apapun jenis makhluknya. Oh, ya, yang paling besar di antara mereka dan paling menarik mataku untuk melihatnya dari dekat, ialah seekor naga hijau besar dari China. Waw, ia terbang meliuk-liuk. Suatu pemandangan ketakjuban yang luar biasa. Tak pernah kulihat naga sebelumnya, kecuali dalam ilustrasi cerita anak tentunya. Bulatan api menyembur dari hidung dan mulutnya.

Sebentar naga hijau, yang memunyai nama Chi (Itu kata guidenya), terdiam. Mematung. Tak melakukan apa-apa. Memandangku. Mendesis. Dan mengucapkan sesuatu yang tak kumengerti dalam bahasanya. Mungkin serapah. Mungkin juga pujian melihat wanita cantik sepertiku. Ah, semua laki-laki kan bilang aku wanita tercantik yang pernah mereka temui. Lalu melanjutkan puter-puternya, menganggap seolah-olah aku tak ada. Begitu.

Namun dari antara seluruh makluk pameran, yang paling menarik dan ditunggu penonton adalah manusia dalam ruang kaca. Di depan kaca yang mirip akuarium kebun binatang itu, para pengunjung memadati areal sekita. Aku bilang sama Eric, yang saat itu sedang ngobrol sama Mr. John—GM acara, kenalan yang mengajaknya kemari.

“Darling, aku ke sana ya?” tukasku. Sambil berjalan ke arah tempat manusia dalam ruang kaca.

“Ke mana?!” tanya Eric ingin tahu.

“Ke situ, tempat manusia akar,” sahutku sambil tetap berjalan.

Aku sampai pada bagian paling luar penonton yang berdesak-desakan. Tak lama kemudian Eric telah menyusulku dan memegang tanganku. Aku mencoba menelusup masuk diantara kerumunan orang-orang sambil menarik Eric yang terpaksa ikut menerabas. Lalu aku sampai di depan. Melihat manusia kaca hanya berlapis labirin kaca. Deg. Degub hatiku terdengar lebih keras.

Kedua mata manusia kaca yang nyalang menusukku. Warna matanya yang hitam berkilat saat melihatku. Aku gemetar melihat itu. Tak berapa lama kemudian ia bangkit.

“Lihat, lihat dia bangkit,” seru para pengunjung lain.

“Asyik, akhir yang ditunggu-tunggu,” lainnya menyumbang suara.

Aku tak tahu harus berkomentar apa. Eric pun juga diam saja. Aku merasa manusia kaca menghampiriku. Ia bergerak karena melihatku. Bukan apa-apa ia seperti mumi hidup tanpa balutan perban. Seluruh tubuhnya telah mengering. Tulang-tulangnya menonjol di sana-sini. Pada bagian dadanya di sebelah jantungnya, menghitam legam dengan uratnya yang turut keluar pula. Ia menyentuhkan telapak tangannya di kaca. Mengundangku untuk mengikuti jejaknya. Matanya menggambarkan segala yang belum pernah kurasakan: kepedihan, kesedihan, kesendirian, kesepian. Ketika aku ingin menyentuh kaca pula. Tangan Eric menghentikannya—memberi isyarat agar aku tak melakukan itu. Jujur. Kesedihan mulai merambati hatiku. Entah, kesedihan dalam rupa seperti apa. Tak terlalu kupikirkan. Dan aku tak melakukannya. Lalu sebuah bunyi panjang terdengar membahana memenuhi ruang. Pertunjukan manusia kaca pun dimulai.[]
0 Komentar untuk "Cerpen Sedih: Manusia Kaca"

Back To Top