Kalau Cinta Ya Bilang Cinta

“Pengecut!” tiba-tiba suara seseorang membuyarkan keheninganku yang tengah asyik memandangi seorang gadis cantik bernama Lala.

Aku menoleh ke pemilik suara tersebut. Citra. Sahabat karibku sejak kelas satu.

“Jika kau pria sejati, nyatakan cintamu padanya! Ungkapkan segala rasa yang bergemuruh di dalam dada!” tukasnya lagi.

“Berisik!” Dampratku.

“Atau kau lebih suka dia dimiliki orang lain, dan menjadikanmu seorang pecundang pemuja rahasia?”

“Cittt... Kau ini kenapa sih? Rese!”

Dari jauh kulihat dan kudengar Lala terpingkal-pingkal bersama teman-temannya. Suara itu terdengar merdu bak suara bidadari kayangan, walaupun aku sendiri belum pernah melihat wujud bidadari apalagi mendengar suaranya.

“Jadi kesimpulannya?” tanya Citra dengan suara yang berhasil mengeluarkanku dari alam imajinasiku bersama Lala, “Apa kau akan menyatakannya?”

“Pertanyaanmu menyebalkan,” balasku.

“Berani taruhan, kau takkan pernah bernyali menyatakan cintamu pada Lala.”

“Dan kalau aku berani bagaimana?” tanyaku dengan mata menatap tajam.

“Kuucapkan selamat atas keberanianmu. Jika kau diterima maka aku akan menghilang dari kehidupanmu. Tanpa sepatah kata.”

“Dan jika aku ditolak?” kataku memotong.

“Aku belum memikirkannya. Sebaiknya, kau pikirkan kata-kata apa yang tepat untuk menunjukkan perasaanmu yang tulus. Oiya, kapan kau punya nyali mengatakannya?”

“Dua hari lagi. Ingat itu baik-baik!”
Citra balik badan. Kemudian meninggalkanku setelah mengatakan, “Baiklah, aku menunggunya.”

Aku mengernyitkan dahi. Aku yang suka pada Lala, kenapa dia yang ngebet memintaku nyatakan cinta. Tapi pemikiran soal itu dengan cepat tergantikan dengan pemikiran tentang apa yang harus kukatakan pada Lala perihal perasaan yang bergemuruh dalam dada ini?

***

Lusa, setelah tantangan yang Citra berikan padaku, telah tiba.

‘Aku siap!’ tukasku pada diri sendiri. Selama dua hari terakhir aku telah menelusuri banyak sumber informasi terkait cara mengungkapkan perasaan kepada seseorang yang disukai.

Rencanaku adalah datang ke kelas Lala jam istirahat nanti, untuk kemudian mengajaknya ke kantin – bicara empat mata agar pengungkapan cinta lancar diucapkan. Setelah itu, aku akan menunggu jawaban Lala: ya atau tidak.

Hanya saja, rencana itu rupanya layu sebelum berjalan. Ya persis ketika aku memikirkan segala rencanaku di jalan, Lala melintas didepanku bersama Ihsan. Mereka tampak mesra.

Kudengar dari teman-teman yang lain Lala sudah jadian dengan Ihsan. Gerumuh cinta di dalam dadaku berubah menjadi tabuhan gendang perang kekesalan. Hatiku panas dipenuhi kemurkaan.

Tapi aku bertanya pada diriku sendiri: “Aku bisa apa? Apa yang bisa kulakukan? Lala telah memilih jalan takdirnya sendiri, dan jalan itu bukanlah aku.”

“Tuh kan, kau nggak berani nyatakan cinta pada Lala?” tiba-tiba Citra menghampiriku.

“Aku bukannya nggak berani Cit. Dia sudah ada yang punya. Nggak etis rasanya mengungkapkan cinta pada orang yang sudah memiliki pasangan.”

“Tetap saja kau bisa menyatakan cinta padanya. Jika kau bernyali!”

“Sudahlah Cit, jangan ganggu aku. Pergi sajalah bersama Nunung dan Rini ke kantin. Aku sedang tak ingin diganggu siapapun.”

“Kau ini benar-benar buta, Win. Kau tak pernah peduli siapapun. Yang ada di otakmu hanya Lala. Tak ada siapapun. Tapi seperti janjiku, karena kau ditolak, aku memberikanmu ini.”

“Aku nggak ditolak!” tegasku.

“Kau tetap akan ditolak jika menyatakan cinta sekarang pada Lala. Hati Lala tercuri hati yang lain.”

Tak ingin meneruskan perdebatan yang mungkin takkan pernah berakhir, aku memilih diam dan memasang muka masam.

Citra meletakkan amplop di meja.

“Apa ini?”

“Baca saja, dan kau akan tahu apa isinya. Tapi ingat, jika kau sudah tahu apa isinya, jangan berubah pikiran.”

Citra pergi. Tampaknya menuju kantin. Sendirian.

Aku segera menyobek amplop yang diberikan Citra. Ada secarik kertas didalamnya.

Dear Erwin,

Selamat pagi. Aku menulis surat ini pagi-pagi buta sambil memikirkan apa yang akan kau utarakan pada Lala. Dan apakah Lala akan menerimamu? Itu sungguh menyakitkan. Kenapa? Karena aku menyukaimu. Sejak awal. Tapi tampaknya kau tak pernah melihatku sebagai wanita. Aku tak menyalahkanmu. Lala memang jauh lebih cemerlang dibandingkanku. Tak apa-apa, setidaknya aku berani mengungkapkan isi hatiku.

Salam.

Aku terperangah membaca isi surat itu. Dan perlahan rasa sesal menelusup di relung hatiku. Kenapa aku tak pernah menyadari itu?
Aku menuju kantin, berniat mencari Citra. Tapi di depan pintu kantin kulihat Citra sedang duduk mesra dengan Achmad. Tampaknya Achmad sedang mengungkapkan isi hatinya pada Citra, karena kulihat tangannya sedang menggenggam erat tangan Citra.

Aku membalikkan tubuh kembali menuju kelas sambil merutuki kepengecutanku.

Bekasi, Mei 2018.

0 Komentar untuk "Kalau Cinta Ya Bilang Cinta"

Back To Top