Lempur, Tebat Gelang, dan Tebat Jambi merupakan tiga nama daerah yang terletak di wilayah Provinsi Jambi. Keberadaan nama ketiga daerah tersebut terkait dengan cerita seorang putri yang durhaka terhadap ibunya. Siapakah putri itu dan bagaimana ia durhaka kepada ibunya? Berikut kisahnya dalam cerita Asal Mula Nama Lempur, Tebat Gelang, dan Tebat Jambi.
***
Dahulu, di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Puncak Tiga Kaum. Dinamakan demikian karena kerajaan ini dipimpin oleh tiga orang bersaudara, yaitu si sulung Pamuncak Rencong Talang, si tengah Pamuncak Tanjung Sari, dan si bungsu Pamuncak Koto Tapus. Wilayah Kerajaan Puncak Tiga Kaum sangat luas dan subur sehingga untuk mengelolanya, ketiga saudara ini membagi wilayah kerajaan menjadi 3 bagian. Masing-masing mendapat bagian tersendiri dan berhak mengatur wilayah beserta rakyat di dalamnya. Meskipun wilayah Kerajaan Puncak Tiga Kaum terbagi menjadi 3 bagian, namun segala urusan kerajaan senantiasa mereka selesaikan dengan jalan musyawarah dan saling membantu.
Pamuncak Rencong Talang dan kedua adiknya merupakan pemimpin yang adil dan bijaksana. Kepemimpinan tersebut membuat rakyat hidup makmur, aman, dan tenteram. Sudah menjadi kebiasaan, jika suatu daerah akan menanam atau saat musim panen tiba, mereka mengadakan upacara kenduri. Kenduri yang diadakan setelah panen dinamakan Kenuhei Sudeah Nuea. Acara keduri tersebut biasanya dihelat sangat meriah. Mereka mengundang warga dari daerah lain beserta para pemuka masyarakat yang terdapat di daerah tersebut.
Suatu ketika, daerah Pamuncak Rencong Talang sedang panen padi dan memperoleh hasil yang melimpah. Ia pun bermaksud mengadakan pesta kenduri Kenuhei Sudeah Nuea.
“Wahai, saudara-saudara sekalian. Hasil panen kita tahun ini cukup melimpah. Sebagai ucapan syukur atas nikmat ini, maka acara kenduri Kenuhei Sudeah Nuea akan segera kita laksanakan,” ungkap Pamuncak Rencong Talang, “Tolong siapkan segala sesuatu yang diperlukan, termasuk undangan untuk para tamu!”
“Baik, Paduka,” kata para pemuka masyarakat serentak.
Persiapan upacara kenduri Kenuhei Sudeah Nuea pun segera dilaksanakan. Seluruh rakyat daerah itu terlihat sibuk. Pamuncak Rencong Talang juga melayangkan undangan kepada saudaranya, Pamuncak Tanjung Sari dan Pamuncak Koto Tapus, beserta seluruh kerabatnya. Acara kenduri rencananya akan berlangsung selama tiga hari. Hari pertama, khusus untuk undangan dari luar daerah, hari kedua untuk keluarga para pamuncak daerah dan orang-orang tua, dan hari ketiga khusus untuk para pemuda dan pemudi.
Waktu acara kenduri Kenuhei Sudeah Nuea telah tiba. Pada hari pertama, para tamu undangan dari luar daerah mulai berdatangan. Acara itu berlangsung tertib, aman, dan meriah. Memasuki hari kedua, para tamu undangan dari keluarga para pamuncak juga hadir. Pamuncak Koto Talang hadir bersama keluarga dan beberapa pengawalnya. Sementara itu, Pamuncak Tanjung Sari hanya didampingi oleh para punggawanya.
Pada hari ketiga, putri Pamuncak Tanjung Sari yang cantik pun hadir dengan didampingi oleh ibunya. Saat memasuki tempat pesta, sang Putri menjadi pusat perhatian para pemuda. Di kursi deretan paling belakang, tampak dua pemuda sedang berbisik-bisik membicarakan kecantikan gadis itu.
“Hai, siapa gadis cantik itu? Apa kamu mengenalnya?” bisik seorang pemuda kepada temannya.
“Entahlah. Aku pun belum pernah melihat gadis itu sebelumnya,“ jawab pemuda yang kedua, “Tapi, melihat penampilannya, gadis itu bukan dari golongan orang biasa.”
“Hmmm... jangan-jangan dia adalah keluarga Pamuncak Rencong Talang,” kata pemuda pertama tadi.
Sementara acara kenduri berlangsung, ibu sang Putri berkumpul bersama keluarga Pamuncak Rencong Talang. Ia sengaja tidak bergabung bersama putrinya karena acara itu khusus untuk kaum muda-mudi. Acara itu berlangsung sangat meriah. Semua undangan turut menikmati berbagai hidangan dan acara pertunjukan seni yang digelar malam itu. Saking asyiknya, mereka tidak menyadari jika ayam sudah berkokok pertanda hari sudah pagi.
Ibu sang putri segera bergegas ke tempat acara untuk mengajak putrinya pulang. Ia khawatir kalau putrinya jatuh sakit akibat kurang tidur.
“Putriku, ayo kita pulang!” bujuk sang ibu.
Sang putri tidak menghiraukan ajakan ibunya. Ia masih saja asyik menikmati pesta itu bersama tamu undangan lainnya. Karena tidak dihiraukan, sang ibu pun kembali berkumpul bersama keluarga Pamuncak Rencong Talang. Selang beberapa saat kemudian, ia kembali ke tempat pesta itu untuk memanggil putrinya.
“Ayo putriku, kita pulang! Hari sudah siang,” bujuk sang ibu.
Lagi-lagi sang putri tidak menghiraukan ajakan ibunya. Bahkan, ia merasa terganggu oleh ajakan ibunya. Salah seorang pemuda yang duduk bersamanya pun bertanya kepada sang putri.
“Hai, Putri. Siapa gerangan perempuan tua itu?” tanya pemuda itu.
“Oooh... perempuan tua itu pembantuku,” jawab sang putri.
Jawaban dari sang putri terdengar hingga ke telinga sang ibu. Tak disangka putri kesayangannya tega berkata seperti itu. Hatinya sakit sekali bagai diiris sembilu. Putri yang amat disayanginya itu tidak mengakuinya sebagai ibu.
“Oh, Tuhan. Ampunilah dosa-dosa, Putriku!” doa sang ibu.
Setelah acara selesai, istri Pamuncak Tanjung Sari beserta putrinya berpamitan pada keluarga Pamuncak Rencong Talang untuk pulang ke daerahnya. Perjalanan pulang memerlukan waktu yang lama karena jauhnya jarak ke rumah. Mereka harus melewati lembah, perbukitan, sawah, dan ladang. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan rombongan pemuda yang bersama sang putri tadi malam. Karena kelelahan, kedua rombongan itu memutuskan untuk beristirahat bersama-sama di suatu tempat. Pada saat istirahat, pemuda itu kembali bertanya kepada sang putri.
“Maaf, Putri. Siapa sebenarnya perempuan tua yang selalu bersamamu itu?” tanya pemuda itu.
“Bukankah sudah ku katakan kalau dia itu pembantuku?” jawab sang putri.
Mendengar jawaban putrinya kepada pemuda itu, sang ibu diam saja. Namun, di dalam hatinya terpendam perasaan sakit yang begitu pedih. Usai beristirahat, mereka pun melanjutkan perjalanan hingga tiba di suatu daerah antara Pulau Sangkar dan Lolo, yaitu daerah yang dipenuhi oleh rawa-rawa. Pada saat itulah, sang ibu yang merasa sakit hati berdoa kepada Tuhan agar putrinya yang durhaka itu ditelan oleh lumpur rawa yang akan mereka lalui.
Doa sang ibu yang tulus itu dikabulkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Begitu sang putri melalui rawa, kakinya terjebak lumpur rawa. Semakin lama, lumpur rawa itu terus menyedot sang putri hingga hampir tenggelam. Putri durhaka itu pun meraung-raung meminta tolong kepada ibunya.
“Ibu... Ibu... tolong aku!” teriak sang putri.
“Aku bukan ibumu, aku hanyalah pembantumu yang sudah tua dan jelek,” jawab ibunya.
Sang putri terus berteriak meminta pertolongan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
“Maafkan aku, Bu! Aku berjanji tidak akan durhaka lagi kepada Ibu,” kata sang putri.
Menyesal kemudian tiadalah guna, sang ibu sudah terlanjur sakit hati. Ia pun tidak menghiraukan permintaan putrinya. Ketika melihat putrinya sudah tenggelam sampai sebatas dagu, sang ibu cepat-cepat mendekati putrinya, namun bukan untuk menolong, melainkan mengambil perhiasan berupa gelang dan sehelai songket (selendang khas Jambi) yang dikenakan putrinya. Begitu ia selesai mengambil barang-barang tersebut, sang putri pun tenggelam ke dalam lumpur rawa. Sejak itulah, daerah itu dinamakan Lempur, yaitu diambil dari kata lumpur.
Setelah itu, sang ibu melanjutkan perjalanan. Setibanya di sebuah tempat, ia beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Saat melihat sebuah tebat (kolam), ia kemudian mendekati kolam itu untuk membasuh badan dan mukanya. Ketika hendak membasuh mukanya, tiba-tiba gelang milik putrinya terjatuh. Gelang itu mengingatkan pada putrinya yang telah meninggal dunia. Agar tidak terus menerus teringat pada putrinya, ia akhirnya membuang gelang itu ke dalam tebat. Sejak itulah, tempat tersebut dinamakan Tebat Gelang.
Usai beristirahat, istri Pamuncak Tanjung Sari itu kembali melanjutkan perjalanan. Setiba di sebuah tempat yang ada kolamnya, ia kembali beristirahat. Ketika ia hendak membasuh badan, tiba-tiba selendang songket milik putrinya yang dikalungkan di lehernya terjatuh. Perempuan tua itu pun kembali teringat pada putrinya. Agar bayangan putrinya tidak mengganggunya lagi, ia pun membuang selendang khas Jambi itu ke dalam tebat. Tempat tersebut kemudian dinamakan Tebat Jambi.
***
Demikian cerita Asal Mula Nama Lempur, Tebat Gelang, dan Tebat Jambi dari Provinsi Jambi. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah seorang anak wajib menghormati dan menghargai ibunya. Sikap ini bisa diwujudkan dalam bentuk perkataan maupun perbuatan yang baik sehingga tidak menyakiti perasaan sang bunda.[]
***
Dahulu, di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Puncak Tiga Kaum. Dinamakan demikian karena kerajaan ini dipimpin oleh tiga orang bersaudara, yaitu si sulung Pamuncak Rencong Talang, si tengah Pamuncak Tanjung Sari, dan si bungsu Pamuncak Koto Tapus. Wilayah Kerajaan Puncak Tiga Kaum sangat luas dan subur sehingga untuk mengelolanya, ketiga saudara ini membagi wilayah kerajaan menjadi 3 bagian. Masing-masing mendapat bagian tersendiri dan berhak mengatur wilayah beserta rakyat di dalamnya. Meskipun wilayah Kerajaan Puncak Tiga Kaum terbagi menjadi 3 bagian, namun segala urusan kerajaan senantiasa mereka selesaikan dengan jalan musyawarah dan saling membantu.
Pamuncak Rencong Talang dan kedua adiknya merupakan pemimpin yang adil dan bijaksana. Kepemimpinan tersebut membuat rakyat hidup makmur, aman, dan tenteram. Sudah menjadi kebiasaan, jika suatu daerah akan menanam atau saat musim panen tiba, mereka mengadakan upacara kenduri. Kenduri yang diadakan setelah panen dinamakan Kenuhei Sudeah Nuea. Acara keduri tersebut biasanya dihelat sangat meriah. Mereka mengundang warga dari daerah lain beserta para pemuka masyarakat yang terdapat di daerah tersebut.
Suatu ketika, daerah Pamuncak Rencong Talang sedang panen padi dan memperoleh hasil yang melimpah. Ia pun bermaksud mengadakan pesta kenduri Kenuhei Sudeah Nuea.
“Wahai, saudara-saudara sekalian. Hasil panen kita tahun ini cukup melimpah. Sebagai ucapan syukur atas nikmat ini, maka acara kenduri Kenuhei Sudeah Nuea akan segera kita laksanakan,” ungkap Pamuncak Rencong Talang, “Tolong siapkan segala sesuatu yang diperlukan, termasuk undangan untuk para tamu!”
“Baik, Paduka,” kata para pemuka masyarakat serentak.
Persiapan upacara kenduri Kenuhei Sudeah Nuea pun segera dilaksanakan. Seluruh rakyat daerah itu terlihat sibuk. Pamuncak Rencong Talang juga melayangkan undangan kepada saudaranya, Pamuncak Tanjung Sari dan Pamuncak Koto Tapus, beserta seluruh kerabatnya. Acara kenduri rencananya akan berlangsung selama tiga hari. Hari pertama, khusus untuk undangan dari luar daerah, hari kedua untuk keluarga para pamuncak daerah dan orang-orang tua, dan hari ketiga khusus untuk para pemuda dan pemudi.
Waktu acara kenduri Kenuhei Sudeah Nuea telah tiba. Pada hari pertama, para tamu undangan dari luar daerah mulai berdatangan. Acara itu berlangsung tertib, aman, dan meriah. Memasuki hari kedua, para tamu undangan dari keluarga para pamuncak juga hadir. Pamuncak Koto Talang hadir bersama keluarga dan beberapa pengawalnya. Sementara itu, Pamuncak Tanjung Sari hanya didampingi oleh para punggawanya.
Pada hari ketiga, putri Pamuncak Tanjung Sari yang cantik pun hadir dengan didampingi oleh ibunya. Saat memasuki tempat pesta, sang Putri menjadi pusat perhatian para pemuda. Di kursi deretan paling belakang, tampak dua pemuda sedang berbisik-bisik membicarakan kecantikan gadis itu.
“Hai, siapa gadis cantik itu? Apa kamu mengenalnya?” bisik seorang pemuda kepada temannya.
“Entahlah. Aku pun belum pernah melihat gadis itu sebelumnya,“ jawab pemuda yang kedua, “Tapi, melihat penampilannya, gadis itu bukan dari golongan orang biasa.”
“Hmmm... jangan-jangan dia adalah keluarga Pamuncak Rencong Talang,” kata pemuda pertama tadi.
Sementara acara kenduri berlangsung, ibu sang Putri berkumpul bersama keluarga Pamuncak Rencong Talang. Ia sengaja tidak bergabung bersama putrinya karena acara itu khusus untuk kaum muda-mudi. Acara itu berlangsung sangat meriah. Semua undangan turut menikmati berbagai hidangan dan acara pertunjukan seni yang digelar malam itu. Saking asyiknya, mereka tidak menyadari jika ayam sudah berkokok pertanda hari sudah pagi.
Ibu sang putri segera bergegas ke tempat acara untuk mengajak putrinya pulang. Ia khawatir kalau putrinya jatuh sakit akibat kurang tidur.
“Putriku, ayo kita pulang!” bujuk sang ibu.
Sang putri tidak menghiraukan ajakan ibunya. Ia masih saja asyik menikmati pesta itu bersama tamu undangan lainnya. Karena tidak dihiraukan, sang ibu pun kembali berkumpul bersama keluarga Pamuncak Rencong Talang. Selang beberapa saat kemudian, ia kembali ke tempat pesta itu untuk memanggil putrinya.
“Ayo putriku, kita pulang! Hari sudah siang,” bujuk sang ibu.
Lagi-lagi sang putri tidak menghiraukan ajakan ibunya. Bahkan, ia merasa terganggu oleh ajakan ibunya. Salah seorang pemuda yang duduk bersamanya pun bertanya kepada sang putri.
“Hai, Putri. Siapa gerangan perempuan tua itu?” tanya pemuda itu.
“Oooh... perempuan tua itu pembantuku,” jawab sang putri.
Jawaban dari sang putri terdengar hingga ke telinga sang ibu. Tak disangka putri kesayangannya tega berkata seperti itu. Hatinya sakit sekali bagai diiris sembilu. Putri yang amat disayanginya itu tidak mengakuinya sebagai ibu.
“Oh, Tuhan. Ampunilah dosa-dosa, Putriku!” doa sang ibu.
Setelah acara selesai, istri Pamuncak Tanjung Sari beserta putrinya berpamitan pada keluarga Pamuncak Rencong Talang untuk pulang ke daerahnya. Perjalanan pulang memerlukan waktu yang lama karena jauhnya jarak ke rumah. Mereka harus melewati lembah, perbukitan, sawah, dan ladang. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan rombongan pemuda yang bersama sang putri tadi malam. Karena kelelahan, kedua rombongan itu memutuskan untuk beristirahat bersama-sama di suatu tempat. Pada saat istirahat, pemuda itu kembali bertanya kepada sang putri.
“Maaf, Putri. Siapa sebenarnya perempuan tua yang selalu bersamamu itu?” tanya pemuda itu.
“Bukankah sudah ku katakan kalau dia itu pembantuku?” jawab sang putri.
Mendengar jawaban putrinya kepada pemuda itu, sang ibu diam saja. Namun, di dalam hatinya terpendam perasaan sakit yang begitu pedih. Usai beristirahat, mereka pun melanjutkan perjalanan hingga tiba di suatu daerah antara Pulau Sangkar dan Lolo, yaitu daerah yang dipenuhi oleh rawa-rawa. Pada saat itulah, sang ibu yang merasa sakit hati berdoa kepada Tuhan agar putrinya yang durhaka itu ditelan oleh lumpur rawa yang akan mereka lalui.
Doa sang ibu yang tulus itu dikabulkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Begitu sang putri melalui rawa, kakinya terjebak lumpur rawa. Semakin lama, lumpur rawa itu terus menyedot sang putri hingga hampir tenggelam. Putri durhaka itu pun meraung-raung meminta tolong kepada ibunya.
“Ibu... Ibu... tolong aku!” teriak sang putri.
“Aku bukan ibumu, aku hanyalah pembantumu yang sudah tua dan jelek,” jawab ibunya.
Sang putri terus berteriak meminta pertolongan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
“Maafkan aku, Bu! Aku berjanji tidak akan durhaka lagi kepada Ibu,” kata sang putri.
Menyesal kemudian tiadalah guna, sang ibu sudah terlanjur sakit hati. Ia pun tidak menghiraukan permintaan putrinya. Ketika melihat putrinya sudah tenggelam sampai sebatas dagu, sang ibu cepat-cepat mendekati putrinya, namun bukan untuk menolong, melainkan mengambil perhiasan berupa gelang dan sehelai songket (selendang khas Jambi) yang dikenakan putrinya. Begitu ia selesai mengambil barang-barang tersebut, sang putri pun tenggelam ke dalam lumpur rawa. Sejak itulah, daerah itu dinamakan Lempur, yaitu diambil dari kata lumpur.
Setelah itu, sang ibu melanjutkan perjalanan. Setibanya di sebuah tempat, ia beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Saat melihat sebuah tebat (kolam), ia kemudian mendekati kolam itu untuk membasuh badan dan mukanya. Ketika hendak membasuh mukanya, tiba-tiba gelang milik putrinya terjatuh. Gelang itu mengingatkan pada putrinya yang telah meninggal dunia. Agar tidak terus menerus teringat pada putrinya, ia akhirnya membuang gelang itu ke dalam tebat. Sejak itulah, tempat tersebut dinamakan Tebat Gelang.
Usai beristirahat, istri Pamuncak Tanjung Sari itu kembali melanjutkan perjalanan. Setiba di sebuah tempat yang ada kolamnya, ia kembali beristirahat. Ketika ia hendak membasuh badan, tiba-tiba selendang songket milik putrinya yang dikalungkan di lehernya terjatuh. Perempuan tua itu pun kembali teringat pada putrinya. Agar bayangan putrinya tidak mengganggunya lagi, ia pun membuang selendang khas Jambi itu ke dalam tebat. Tempat tersebut kemudian dinamakan Tebat Jambi.
***
Demikian cerita Asal Mula Nama Lempur, Tebat Gelang, dan Tebat Jambi dari Provinsi Jambi. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah seorang anak wajib menghormati dan menghargai ibunya. Sikap ini bisa diwujudkan dalam bentuk perkataan maupun perbuatan yang baik sehingga tidak menyakiti perasaan sang bunda.[]
Tag :
Cerita Rakyat,
Sulawesi Selatan
0 Komentar untuk "Cerita Rakyat Indonesia #39: Asal-Usul Lempur, Tebat Gelang, dan Tebat Jambi"