Cerita rakyat kisah burung Moopoo dikenal sebagai salah satu dongeng yang berasal dari Sulawesi Utara, tepatnya di daerah Malesung, Minahasa. Kita tentu mengetahui, Indonesia memiliki banyak ragam hewan-hewan endemik (asli Indonesia) yang tersebar di beberapa wilayah. Seperti, badak bercula satu atau orangutan. Nah, di Sulawesi Utara ada hewan endemik bernama burung Moopoo. Menurut orangtua ada cerita rakyat kisah burung Moopoo ini, karena konon burung Moopoo merupakan penjelmaan seorang anak laki-laki. Mengapa anak laki-laki itu menjadi burung Moopoo? Yuk, baca lebih lanjut cerita rakyat kisah burung Moopoo...
***
Alkisah, di sebuah tempat di Minahasa hidup seorang kakek bersama cucuya yang bernama Nondo. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang sederhana di sekitar hutan besar. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sang kakek setiap hari pergi ke hutan untuk mencari hasil hutan dan menjualnya di pasar. Sementara Nondo yang pincang kakinya hanya bisa membantu dengan cara memasak dan membersihkan rumah. Nondo memang anak yatim piatu. Ia ditinggal selamanya oleh kedua orang tuanya saat masih kecil. Karena itu, ia dibesarkan oleh kakeknya.
Nondo setiap kali melihat kakeknya pergi ke hutan merasa sedih karna ia tidak bisa membantu mencari kayu bakar dan hasil hutan lainnya. Karna ia tidak bisa berjalan jauh. Ia juga ingin melihat berbagai macam hewan yang ada di hutan yang sering diceritakan kakeknya.
Setiap ia mendengarkan cerita kakeknya ia selalu terpana dengan apa yang ada di hutan. Ia hanya bisa membayangkan berbagai hewan yang diceritakan oleh kakeknya. Ia juga sering bermimpi bertemu dengan berbagai macam hewan yang diceritakan kakeknya. Bahkan, ia senang menirukan bunyi hewan-hewan itu.
Pada suatu hari, seperti biasanya, sang kakek akan pergi ke hutan untuk mencari hasil hutan. Nondo pada hari itu sudah tidak tahan lagi untuk secepatnya melihat hal-hal apa saja yang ada di hutan.
”Opak! Nondo iko kwak ka utang deng opak?” pinta Nondo kepada kakeknya.
”Ngana di rumah jo kwak Nondo,” jawab sang Kakek.
”Mar opak! Kita suka skali mo lia itu binatang-binatang yang opak ada carita-carita pa nondo.”
”Jangan kwak! Ngana pe kaki ada saki to? Opak tako dengan ngana pe kesehatan.”
”Opak! Nondo minta satu kali ini jo kwak mo iko dengan opak ne?” bujuk Nondo sambil merengek-rengek.
Oleh karena kasihan melihat Nondo, akhirnya kakeknya pun mengizinkannya.
”Io dang! Ngana boleh iko pa opak mar musti kase kalar dulu itu ngana pe karja di rumah ne,” ujar sang Kakek.
Dengan semangat Nondo pun langsung saja melaksanakan tugas-tugasnya. Tak berapa lama ia telah menyelesaikan seluruh tugas yang ada.
”Opak! Manjo torang pigi! Nondo pe karja so kalar,” seru Nondo.
”Io!” jawab sang Kakek singkat dengan perasaan khawatir.
Merekapun langsung menuju hutan. Sang Kakek berjalan di depan, sedangkan Nondo mengikutinya dari belakang. Ketika memasuki hutan, Nondo seringkali tertinggal oleh kakeknya, karena selain kakinya pincang, ia juga sering berhenti setiap melihat binatang. Bahkan, ia kerap bermain-main dan menirukan suara binatang yang ditemuinya. Oleh karena keasyikan bermain-main dengan binatang itu, sehingga ia semakin jauh tertinggal oleh kakeknya.
Awalnya Nondo tidak sadar bahwa kakeknya sudah terpisah dengan dia. Haripun semakin gelap,keadaan hutan mulai mencengkam dengan adanya suara-suara hewan yang menakutkan.
Alkisah, di sebuah tempat di Minahasa hidup seorang kakek bersama cucuya yang bernama Nondo. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang sederhana di sekitar hutan besar. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sang kakek setiap hari pergi ke hutan untuk mencari hasil hutan dan menjualnya di pasar. Sementara Nondo yang pincang kakinya hanya bisa membantu dengan cara memasak dan membersihkan rumah. Nondo memang anak yatim piatu. Ia ditinggal selamanya oleh kedua orang tuanya saat masih kecil. Karena itu, ia dibesarkan oleh kakeknya.
Nondo setiap kali melihat kakeknya pergi ke hutan merasa sedih karna ia tidak bisa membantu mencari kayu bakar dan hasil hutan lainnya. Karna ia tidak bisa berjalan jauh. Ia juga ingin melihat berbagai macam hewan yang ada di hutan yang sering diceritakan kakeknya.
Setiap ia mendengarkan cerita kakeknya ia selalu terpana dengan apa yang ada di hutan. Ia hanya bisa membayangkan berbagai hewan yang diceritakan oleh kakeknya. Ia juga sering bermimpi bertemu dengan berbagai macam hewan yang diceritakan kakeknya. Bahkan, ia senang menirukan bunyi hewan-hewan itu.
Pada suatu hari, seperti biasanya, sang kakek akan pergi ke hutan untuk mencari hasil hutan. Nondo pada hari itu sudah tidak tahan lagi untuk secepatnya melihat hal-hal apa saja yang ada di hutan.
”Opak! Nondo iko kwak ka utang deng opak?” pinta Nondo kepada kakeknya.
”Ngana di rumah jo kwak Nondo,” jawab sang Kakek.
”Mar opak! Kita suka skali mo lia itu binatang-binatang yang opak ada carita-carita pa nondo.”
”Jangan kwak! Ngana pe kaki ada saki to? Opak tako dengan ngana pe kesehatan.”
”Opak! Nondo minta satu kali ini jo kwak mo iko dengan opak ne?” bujuk Nondo sambil merengek-rengek.
Oleh karena kasihan melihat Nondo, akhirnya kakeknya pun mengizinkannya.
”Io dang! Ngana boleh iko pa opak mar musti kase kalar dulu itu ngana pe karja di rumah ne,” ujar sang Kakek.
Dengan semangat Nondo pun langsung saja melaksanakan tugas-tugasnya. Tak berapa lama ia telah menyelesaikan seluruh tugas yang ada.
”Opak! Manjo torang pigi! Nondo pe karja so kalar,” seru Nondo.
”Io!” jawab sang Kakek singkat dengan perasaan khawatir.
Merekapun langsung menuju hutan. Sang Kakek berjalan di depan, sedangkan Nondo mengikutinya dari belakang. Ketika memasuki hutan, Nondo seringkali tertinggal oleh kakeknya, karena selain kakinya pincang, ia juga sering berhenti setiap melihat binatang. Bahkan, ia kerap bermain-main dan menirukan suara binatang yang ditemuinya. Oleh karena keasyikan bermain-main dengan binatang itu, sehingga ia semakin jauh tertinggal oleh kakeknya.
Awalnya Nondo tidak sadar bahwa kakeknya sudah terpisah dengan dia. Haripun semakin gelap,keadaan hutan mulai mencengkam dengan adanya suara-suara hewan yang menakutkan.
”Opak...!opak...!opak...!Di mana opak?” teriak Nondo memanggil kakeknya sambil menangis.
Nondo berteriak-teriak namun tak terdengar jawaban dari kakeknya. Ia mencoba mencari jalan untuk ke rumahnyatapi semakin ia berjalan semakin ia masuk ke dalam hutan.
Malam semakin larut tapi Nondo belum menemukan kakeknya. Suara berbagai binatang yang ia sering dengar dari kakekya menjadi menyeramkan.Apalagi ketika ia mendengar suara burung kuow yang keras dan menyeramkan. Ia pun menangis dan berteriak sekeras-kerasnya agar suaranya didengar oleh kakeknya. Usahanya sia-sa saja karna ia tidak mendapat jawaban dari kakeknya.
Sementara sang kakek merasa cemas begitu mengetahui bahwa cucu kesayangannya itu sudah tidak berada di belakangnya.
”Nondo...! Nondo...! Ngana di mana?” teriak sang Kakek.
Beberapa kali pula kakek itu berteriak, namun tidak ada jawaban sama sekali. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk pulang, karena mengira cucunya sudah kembali ke rumah. Namun sesampai di rumah, ia tidak menemukan cucunya. Pada pagi harinya, sang Kakek kembali ke hutan untuk mencari cucunya. Hingga sore hari, ia berkeliling di tengah hutan itu sambil berteriak-teriak memanggil cucunya, namun tidak juga menemukannya. Oleh karena merasa putus asa, akhirnya ia pun kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang, ia mendengar suara yang aneh.
"Moo-poo... moo-poo... moo-poo….!” terdengar suara burung aneh itu.
”Suara binatang apakah itu? Sepertinya baru kali ini aku mendengarnya,” gumam Kakek Nondo.
Oleh karena penasaran, kakek itu segera mencari sumber suara aneh itu. Setelah berjalan beberapa langkah, ia pun menemukannya. Ternyata suara itu adalah suara seekor burung yang sedang hinggap di atas pohon. Kakek itu terus berjalan mendekati pohon untuk melihat burung itu lebih dekat.
”Burung apakah itu? Sudah puluhan tahun aku mencari kayu di hutan ini, tapi aku belum pernah melihat jenis burung seperti itu,” gumamnya.
Sementara burung itu terbang dari satu cabang ke cabang yang lain sambil memerhatikan sang Kakek dan mengeluarkan suara, ”moo-poo”.
Semula kakek Nondo tidak mengerti maksud suara itu. Namun setelah lama memerhatikan suara itu, ia pun mulai menyadari jika burung itu memanggilnya opoku (kakekku). Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia kembali mengamati burung itu. Setelah ia amati, rupanya kaki burung itu pincang. Tiba-tiba kakek itu menangis karena teringat cucunya. Ia yakin bahwa burung itu adalah jelmaan cucunya, Nondo. Sesuai dengan suara yang dikeluarkan, maka burung itu diberi nama moopoo. Hingga saat ini, burung moopoo dapat ditemukan di daerah Minahasa, Sulawesi Utara.
”Suara binatang apakah itu? Sepertinya baru kali ini aku mendengarnya,” gumam Kakek Nondo.
Oleh karena penasaran, kakek itu segera mencari sumber suara aneh itu. Setelah berjalan beberapa langkah, ia pun menemukannya. Ternyata suara itu adalah suara seekor burung yang sedang hinggap di atas pohon. Kakek itu terus berjalan mendekati pohon untuk melihat burung itu lebih dekat.
”Burung apakah itu? Sudah puluhan tahun aku mencari kayu di hutan ini, tapi aku belum pernah melihat jenis burung seperti itu,” gumamnya.
Sementara burung itu terbang dari satu cabang ke cabang yang lain sambil memerhatikan sang Kakek dan mengeluarkan suara, ”moo-poo”.
Semula kakek Nondo tidak mengerti maksud suara itu. Namun setelah lama memerhatikan suara itu, ia pun mulai menyadari jika burung itu memanggilnya opoku (kakekku). Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia kembali mengamati burung itu. Setelah ia amati, rupanya kaki burung itu pincang. Tiba-tiba kakek itu menangis karena teringat cucunya. Ia yakin bahwa burung itu adalah jelmaan cucunya, Nondo. Sesuai dengan suara yang dikeluarkan, maka burung itu diberi nama moopoo. Hingga saat ini, burung moopoo dapat ditemukan di daerah Minahasa, Sulawesi Utara.
***
Demikian cerita rUsul Burung Moopoo dari daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Cerita di atas tergolong cerita mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keburukan sifat tidak tahu diri dan suka berperilaku sembrono atau gegabah.[]
Demikian cerita rUsul Burung Moopoo dari daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Cerita di atas tergolong cerita mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keburukan sifat tidak tahu diri dan suka berperilaku sembrono atau gegabah.[]
Tag :
Cerita Rakyat,
Sulawesi Utara
0 Komentar untuk "Cerita Rakyat Indonesia #45: Kisah Burung Moopoo"