Cerita Wayang #2: Kisah Arjuna Sasrabahu [Bagian IV]


Sepeninggal Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa, Prabu Arjunasasrabahu segera mengikat tubuh Rahwana dengan rantai. Kemudian, tubuh yang sudah tak berdaya itu diikat pada belakang kereta perang Prabu Arjunasasrabahu dan ditarik mengelilingi alun-alun negeri Maespati sampai beberapa kali putaran, baru ditarik menyusuri jalan-jalan di kota negara Maespati.

Berkat daya kesaktian ajian Rawarontek, Rahwana memang tidak bisa mati. Tapi !a bisa mengalami penderitaan, dan penderitaan yang tengah ia alami sekarang ini merupakan penderitaan yang maha berat yang arus ia alami baik secara lahir dan batin. Dalam keadaan terseret, tubuh Rahwana bukan saja harus berbenturan dengan batu lubang jalanan dan roda kereta, tetapi ia juga harus menanggung penghinaan yang luar biasa besarnya, dimana dalam keadaan sebagai pecundang dan pesakitan, tubuhnya yang terseret kereta itu harus menjadi tontonan ribuan rakyat Maespati. Tidak itu saja.

Rakyat Maespati yang membencinya ikut menambah derita lahir batinnya. Mereka melempari tubulnya dengan batu, kayu, telur busuk dan juga kotoran hewan. Bila berkesempatan sebagian rakyat Maespati meludahi mukanya.

Setelah semua lorong-lorong jalan ibu negara Maespati dilalui, Prabu Arjunasasrabahu mengarahkan keretanya menuju ke pesanggrahan dimana Dewi Citrawati dan para selir beserta para dayang berkemah. Prabu Arjunasasrabahu ingin menunjukan kepada istrinya, wujud raksasa Rahwana yang telah membunuh Patih Suwanda.

Apa yang dialami Prabu Rahwana diketahui pula oleh Detya Kala Marica. Raksasa cerdik dan licik ini merasa iba atas penderitaan yang dialami rajanya, juga rasa sakit hati rajanya diperlakukan sedemikian hina. Marica ingin membalas dendam, membuat sakit hati Prabu Arjunasasrabahu. Ketika tubuh Rahwana masih terseret-seret di sepanjang jalanan ibu negara Maespati. Marica mendahului pergi ke pesanggrahan Dewi Citrawati. Dengan merubah wujudnya menjadi seorang punggawa istana, Marica berhasil menemui Dewi Citrawati. Dengan menghiba dan kata-kata pedih diciptakannya sebuah laporan palsu, bahwa Prabu Arjunasasrabahu beserta para raja pengikutnya telah tewas dalam peperangan melawan Rahwana. Disampaikan pula pesan Prabu Arjunasasrabahu, mengingat Rahwana raja yang ambek angkara murka, maka apabila Prabu Arjunasasrabahu tewas dalam peperangan, maka Dewi Citrawati, sernua para selir berikut dayangdayang harus melakukan bela pati.

Kata-kata Marica yang disertai mantra “kemayan” itu berhasil membutakan alam pikiran bawah sadar Dewi Citrawati, yang dengan mudahnya menerima saja semua laporan Marica. Tanpa pikir panjang, demi bakti setianya pada suami, Dewi Citrawati segera menghunus patrem (keris kecil) dan melakukan bunuh diri. Tindakan Dewi Citrawati tersebut segera diikuti oleh para selir dan dayang. Terjadilah bunuh diri masal yang mencapai hampir empat ribu orang. Sehingga dalam sekejap, pesanggrahan yang dibangun dengan segala keindahan dan keelokannya itu dipenuhi oleh mayat-mayat wanita cantik.

Namun masih ada seorang dayang yang belurn sempat melakukan bunuh diri. Hal ini karena saat ia akan menusukan patrem ke ulu hatinya, Marica yang merasa usahanya telah berhasil telah merubah wujudnya ke wujud aslinya. Dayang itu pingsan karena takut melihat wajah Marica yang mengerikan.

Betapa terkejut Prabu Arjunasasrabahu ketika ia memasuki pesanggrahan, dijumpainya Dewi Citrawati, para selir dan dayang-dayang sernuanya telah menjadi mayat, tumpang-tindih tak karuan. la tak tahu, apa yang telah terjadi sesungguhnya hingga istri dan sernua selir serta para dayang melakukan bunuh diri masal. Pada saat Prabu Arjunasasrabahu dalam kebingungan, dayang yang selamat telah siuman dan segera mendekati Prabu Arjunasasrabahu, melaporkan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Bunuh diri masal itu terjadi karena Dewi Citrawati, para selir dan dayang melaksanakan pesan Prabu Arjunasasrabahu yang disampaikan oleh raksasa Alengka yang menyaru sebagai punggawa istana Maespati.

Seketika muntab kernarahan Prabu Arjunasasrabahu. la bermaksud untuk bertiwikrama, membunuh Rahwana dan menghancurkan alam seisinya sebagai protes atas ketidak adilan dewata yang telah membiarkan istrinya yang setia termakan bujukan Marica. Namun sebelurn niat itu dilaksanakan, telah muncul Bhatara Waruna. Dewa laut itu datang menyabarkan Prabu Arjunasasrabahu. Dikatakan kepada raja Maespati tersebut, bahwa apa yang menimpa Dewi Citrawati berikut para selir dan dayang merupakan cobaan dewata yang harus diterima dengan lapang dada. Kedatangannya menemui prabu Arjunasasrabahu adalah untuk menolong sang Prabu dari kesedihan. Dengan air sakti Tirta mulya” (=semacam air penghidupan “tirta amarta”) ia sanggup menghidupkan kembali orang yang telah mati, khususnya yang mati karena terluka.

Prabu Arjunasasrabahu menerima kebaikan hati Bhatara Waruna. Dengan percikan air sakti “Tirta mulya” Dewi Citrawati dapat dihidupkan kembali. Demikian pula para selir dan dayang-dayang yang jumlahnya hampir 4000 orang. Setelah itu Bhatara Waruna menjelaskan, bahwa yang membuat pengkhianatan dengan memberikan laporan palsu adalah Datya Kala Marica, hulubalang setia Rahwana, yang memang cerdik dan licik. Mengetahui hal itu, Prabu Arjunasasrabahu bertekad akan segera mencari dan membunuh Marica walau ia berlindung di balik Kahyangan sekalipun.

Dewi Citrawati melarangnya. Janganlah kebencian beralih menjadi dendam. Toh berkat pertolongan Bhatara Waruna, ia dan semua selir dan dayang-dayang telah hidup kembali. Karena itu Dewi Citrawati meminta agar Prabu Arjunasasrabahu melupakan dendamnya terhadap Marica. Demi menghormati keinginan istrinya, Prabu Arjunasasrabahu berjanji akan melupakan dendamnya terhadap Marica.

Sepeninggal Bhatara Waruna, datang menemui Prabu Arjunasasrabahu, Brahmana Pulasta yang sengaja turun dari pertapaan Nayaloka yang berada di kahyangan Madyapada. Brahmana raksasa yang tingkat ilmunya sudah mencapai kesempumaan itu adalah kakek buyut Rahwana dari garis ayah, Resi Wisrawa. Brahmana Pulasta adalah cucu Bhatara Sambodana yang berarti cicit Bhatara Sambu. la, berputra Resi Supadma, ayah Resi Wisrawa. Kedatangan Brahmana Pulasta menemui Prabu Arjunasasrabahu adalah untuk memintakan pengampunan bagi cucu buyutnya, Rahwana. Karena menurut ketentuan Dewata, belum saatnya Rahwana untuk menemui kematian. la memang harus mati oleh satria penjelmaan Dewa Wisnu, tetapi bukan pada penjelmaannya yang sekarang, tetapi pada penjeImaan Wisnu berikutnya.

“Rahwana memang makluk yang ambek angkara murka. memang pantas menderita dan mati untuk menebus dosa-dosanya. Tapi bukan sekarang. Itutah ketentuan dewata yang aku ketahui. Karena itulah aku memohon kemurahan hati Paduka untuk membebaskan Rahwana. Berilah ia kesempatan untuk hidup dan memperbaiki perilakunya. Apapun persyaratan yang Paduka minta, aku akan memenuhinya.” kata Brahmana Pulasta, lembut menghiba.

“Aku juga tidak akan membunuh Rahwana sebagaimana janjiku pada Bhatara Narada. Apa yang aku lakukan sekedar memberi pelajaran pada Rahwana agar ia menyadari, bahwa di jagad raya ini masih banyak titah lain yang dapat mengalahkannya, walau tidak kuasa untuk membunuhnya. Kalau aku membebaskan Rahwana, jaminan apa yang bisa sang Bagawan berikan padaku?” kata Prabu Arjunasasrabahu.

“Jaminanku, aku berjanji, Rahwana akan tunduk pada Paduka dan mau merubah sifat angkara murkanya. Aku yakin, Rahwana bersedia menyerahkan negara dan tahta Alengka kepada Paduka dan menjadikan Alengka sebagai negara bagian Maespati. Sebagai imbalan kemurahan hati Paduka membebaskan Rahwana, aku bersedia menghidupkan semua prajurit Maespati yang tewas dalam peperangan!” kata Brahmana Pulasta.

Menghargai permintaan brahmana sakti yang tingkat hidupnya sudah setara dewa itu, Prabu Arjunasasrabahu memenuhi apa yang menjadi keinginan Brahmana Pulasta. Rahwana segera dilepaskan dari ikatan rantai yang membelit sekujur tubuhnyaBegitu terbebas, Rahwana langsung duduk bersimpuh di hadapan Prabu Arjunasasrabahu. Sambil menyembah ia menyatakan fobat dan berjanji tidak akan berbuat kejahatan lagi. Rahwana juga menyatakan tunduk pada Prabu Arjunasasrabahu dan rela menyerahkan tahta dan kerajaan Alengka dalam kekuasaan raja Maespati, dan bersedia menjadi raja taklukan.

Prabu Arjunasasrabahu menerima pertobatan Rahwana. Namun ia tak menghendaki tahta dan negara Alengka. la hanya menasehati dan meminta Rahwana untuk memerintah dengan adit dan memanfaatkan kekayaan negara untuk kepentingan rakyatnya. Bukan untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya.

Brahmana Pulasta pun memenuhi janjinya. Dengan mantera saktinya ia berhasil menghidupkan kembali semua prajurit Maespati yang tewas dalam peperangan, terkecuali Patih Suwanda. Inilah yang membuat sedih Prabu Arjunasasrabahu. Ketika ia menanyakan hal itu kepada Brahmana Pulasta, sang brahmana menjelaskan bahwa kematian Patih Suwanda sudah mencapai kesempumaan sesuai takdir hidupnya. Ia menemui ajalnya sesuai dengan karmanya terhadap Sukasrana, adiknya.

“Kalau aku paksakan untuk menghidupkan kembali Rayi Paduka, Patih Suwanda, berarti aku nekad melanggar kehendak Sang Maha Pencipta. Aku juga telah melanggar niat luhur Sukasrana. Karena arwah manusia suci itu belum mau masuk ke sorgaloka tanpa bersama-sama arwah kakaknya, Sumantri — nama kecil Patih Suwanda !” kata Brahmana Pulasta menegaskan.

Prabu Arjunasasrabahu akhimya dapat menerima penjelasan Brahmana Pulasta dan merelakan kematian Patih Suwanda. Sepeninggal Brahmana Pulasta dan Rahwana, Pancaka (api pembakaran mayat) segera disiapkan untuk menyempurnakan jasad Patih Suwanda. Selesai upacara pembakaran jenazah Patih Suwanda, mereka kembali ke ibunegeri Maespati.

Sejak peristiwa tersebut, negeri Maespati tumbuh menjadi negara adi daya dan adi kuasa. Kejayaannya merambah sampai lebih dan tiga perempat isi jagad raya. Prabu Arjunasasrabahu sendiri dikenal sebagai Raja yang Gung Binatara (Maha Besar dan Maha Berkuasa) * Hampir seluruh raja di jagad raya secara suka reta tunduk dan hormat kepadanya. Meskipun demikian, ia tetap bersikap bijaksana, arif dan hormat terhadap sesama titah marcapada.

Kebahagaian Prabu Arjunasasrabahu dilengkapi pula dengan kebahagiaan keluarganya. Dari pernikahannya dengan Dewi Citrawati, Prabu Arjunasasrabahu berputra Raden Ruryana. Oleh ayahnya sejak kecil Raden Ruryana dididik dalam berbagai ilmu, baik ilmu tata kenegaraan maupun ilmu jayakawijayan. Hal ini karena dialah satu-satunya pewaris tahta dan negara Maespati.

Merasa tak ada lagi lawan yang berarti, dan tak ada lagi gangguan yang mengancam negara Maespati dan negara-negara sekutunya, kehidupan selanjutnya dari Prabu Arjunasasrabahu lebih banyak digunakan bersenangsenang, memanjakan istri, para selir dan putra-putranya. Akibatnya, semakin asyik hidup dalam kesenangan, Prabu Arjunasasrabahu mulai melupakan tugas kewajiban menjaga kelestarian dan kesejahteraan jagad raya (memayu hayuning, bawono).

Akibat dari kelalaian Prabu Arjuansasrabahu tersebut, tanpa sepengetahuannya (tanpa ia sadari-pen), Dewa Wisnu loncat dari tubuhnya, menitis pada Ramaparasu, putra bungsu dari lima bersaudara putra Resi Jamadagni dan Dewi Renuka, raja negara Kanyakawaya yang hidup sebagai brahmana di pertapaan Daksinapata. Ramaparasu sedang melaksanakan sumpah dendamnya, ingin membunuh setiap satria yang dijumpainya. Sumpah itu terlontar sebagai akibat dari perbuatan Prabu Citrarata, yang telah menodai ibunya, Dewi Renuka, serta perbuatan Raja Hehaya yang telah menghancurkan pertapaan Daksinapata dan membunuh Resi Jamadagni, ayahnya.

Beberapa tahun kemudian, Prabu Arjunasasrabahu dan Ramaparasu saling bertemu di sebuah hutan. Saat itu Prabu Arjunasasrabahu sedang melakukan perburuan di hutan. Seperti biasa, setiap melakukan perburuan, Prabu Arjunasasrabahu selalu mengajak serta Dewi Citrawati, semua para selir, para dayang dan para raja sekutunya. Ikut serta dalam rombongan tersebut ratusan prajurit pengawal dan para kerabat kerajaan Maespati lainnya. Sehingga kegiatan perburuan tak ubahnya kegiatan wisata keluarga besar Kerajaan Maespati.

Perkemahan besar pun dibangun di tengah hutan sebagai tempat tinggal Dewi Citrawati, para selir dan dayang-dayang. Sementara Dewi Citrawati dan para selir dan dayang tinggal di perkemahan dalam kawalan para prajurit, Prabu Arjuansasrabahu disertai Prabu Kalinggapati, Prabu Soda, Prabu Candraketu dan beberapa hulubalang melakukan perburuan binatang ke tengah hutan. Pada saat melakukan perburuan itulah Prabu Arjunasasrabahu di hadang oleh Ramaparasu. Ramaparasu sengaja menghadangnya setelah mendapat petunjuk dari seorang brahmana, bahwa raja yang sedang melakukan perburuan adalah Prabu Arjunasasrabahu, raja penjelmaan Dewa Wisnu dari negara Maespati.

Atas anugerah dewata sesuai doa dan permohonan ayahnya, Resi damadagni, Ramaparasu hanya akan mati oleh perantaraan titisan Dewa Wisnu. Karena itu setelah ia lama malang melintang membunuh para satria, dan merasa telah bosan hidup, ia berusaha mencari satria penjelmaan Dewa Wisnu, untuk memintanya mengantarkan kembali ke alam kelanggengan. Karena itu ketika dalam pengembaraannya ia bertemu dengan seorang brahmana yang memberitahukan bahwa Dewa Wisnu menitis pada Prabu Arjunasasrabahu, Ramaparasu berusaha mencari Prabu Arjunasasrabahu sampai ke negara Maespati, dan akhimya menyusul ke hutan. Penghadangan yang dilakukan oleh Ramaparasu, sangat menggembirakan hati Prabu Arjunasasrabahu. Perawakan Ramaparasu yang tinggi besar, kekar dan menakutkan itu dengan dua pusaka, Kapak dan Bargawastra, menerbitkan suatu harapan besar di hati Arjunasasrabahu, bahwa yang menghadangnya ini adalah penjelmaan Dewa Wisnu — pada saat itu Prabu Arjunasasrabahu telah menyadari Dewa Wisnu telah meninggalkan dirinya. Karena itu ia pun ingin mati melalui perantaraan Dewa wisnu.

Ramaparasu menceritakan kisah hidup petualangannya, sejak meninggalkan pertapaan Daksinapata setelah perabukan jenasah ayahnya, Resi Jamadagni, hingga ia bertemu dengan Prabu Arjunasasrabahu. la merasa bimbang dan keraguan akan dharma yang telah dijalankan Resi Pulasta, kakek Rahwana selama ini. Karena itu tujuanya kini hanyalah mencari penjelmaan Dewa Wisnu, sebab hanya Dewa Wisnu yang dapat mengantarkannya ke Nirwana.

“Itulah Paduka yang hamba cari selama ini.” kata Ramaparasu. “Mengapa tuan mengira hamba sebagai penjelmaan Dewa Wisnu?” tanya Prabu Arjunasasrabahu. “Tanda-tanda keagungan ada pada Paduka ” jawab Ramaparasu. “Tuan juga seorang yang agung budi. Menurut pendapatku, Tuanlah satria brahmana berwatak dewa, karena tuan telah melaksanakan dharma dan kebajikan dunia dan umat manusia. Siapa lagi yang sanggup berbuat demikian selain Dewa Wisnu?” kata Arjunasasrabahu.

“Oh. sekiranya kata-kata Tuan benar, apa perlu hamba mencari Dewa Wisnu?” kata Ramaparasu.

“Jadi Tuan tetap mengira, akulah penjelmaan Dewa Wisnu?” tanya Prabu Arjunasasrabahu.

“Ya, sebab Paduka bias bertriwikrama!”

“Sekiranya aku mengatakan tidak, lalu apa yang akan Tuan lakukan?”

“Akan hamba paksa Paduka melepaskan senjata Cakra. Sebab hanya senjata Dewa Wisnu yang dapat menembus dada hamba!” jawab Ramaparasu tegas.

“Sekiranya senjataku tidak dapat menembus dada Tuan , lalu apa yang akan Tuan lakukan?” tanya Prabu Arjunasasrabahu.

“Paduka akan hamba bunuh dengan Bargawastra Paduka pasti tewas, sebab hanya Dewa Wisnu yang dapat menahan keampuhannya!” kata Ramaparasu penuh keyakinan.

Prabu Arjunasasrabahu tersenyum. Dalam hati ia berdoa, mudah-mudahan Bargawastra dapat menembus dadanya. Dan inilah yang ia cari selama ini.

Mereka kemudian sepakat untuk mengadu kesaktian. Mereka kini telah siap tempur. Karena masing-masing tak ada niat untuk menggelak hantaman senjata lawan, mereka berdiri hampir berhadap-hadapan. Ramaparasu menimang-nimang Bargawastra, sedangkan Prabu Arjunasasrabahu memegang senjata cakra yang berbahaya, Dengan teriakan panjang keduanya siap melepaskan senjata pemusnahnya masing-masing.

Prabu Arjunasasrabahu menahan senjata cakranya. Semenjak bersiaga, tiada niat sedikitpun untuk melepaskan senjata cakra, sebab takut akan menembus dada Ramaparasu. Sebaliknya Ramaparasu melempaskan senjata Bargawastra dengan sungguh-sungguh. Senjata ampuh itu menyibak udara menembus dada Prabu Arjunasasrabahu, yang segera rebah ke tanah dengan bersembah. Bisiknya: “Oh, Dewata Agung! Hamba menghaturkan terimakasih yang tak terhingga. Sudah engkau tunjukan kepadaku kini, Dialah sesungguhnya penjelmaan Dewa Wisnu setelah aku!”

Walau bersimbah darah, wajah Arjunasasrabahu menunjukkan kepuasan batin yang dalam, karena akan mati dengan hati iklas dan puas. Ramaparasu yang menyaksikan kejadian itu sangat terkejut. Ia segera berlari dan memeluk tubuh Prabu Arjunasasrabahu.

“Hai, betapa mungkin …. ? Betapa mungkin?! Paduka berkhianat. Paduka sengaja tidak melepaskan senjata cakra!” kata Ramaparasu menggugat.

Sambil menahan rasa sakit, Prabu Arjunasasrabahu berujar : “Sudah kukatakan tadi, tiada senjata apapun di dunia ini yang dapat menembus dadaku kecuali senjata Dewa Wisnu yang dilepaskan oleh Dewa Wisnu sendiri. Jadi jelas sudah, Tuan memang penjelmaan Dewa Wisnu!”

Seketika terbit perasaan gusar dan kecewa pada Ramaparasu begitu mengetahui Prabu Arjunasasrabahu bukan penjelmaan Dewa Wisnu. Menganggap bahwa Prabu Arjunasasrabahu tidak ada artinya lagi baginya, tak ubahnya ribuan satria lain yang telah dibunuhnya, maka Ramaparasu berteriak lantang: “Jahanam! Bangsat! Kau telah menipuku. Kau memang layak untuk mati! ” Setelah itu Ramaparasu pergi meninggalkan jasad Prabu Arjunasasrabahu.

Sepeninggal Ramaparasu, jasad Prabu Arjunasasrabahu diangkat oleh Prabu Kalinggapati dan Prabu Soda, dibawa ke pesanggrahan. Gelombang tangis dan hujan air mata seketika meledak dan terjadi di pesanggrahan, karena Dewi citrawati beserta sernua selir Prabu Arjunasasrabahu yang berjumlah 2000 orang, beserta para dayang yang jumlahnya hampir ernpat ribu orang itu, nangis bersama-sama.

Persiapan pembakaran jenasah segera dilakukan oleh Prabu Kalinggapati, Prabu Soda dan para raja lainnya. Arena pembakaran dipersiapkan sedemikian luas. Ribuan ton kubik kayu dipersiapkan. Inilah arena dan upacara pembakaran mayat yang terbesar yang pernah ada di jagad raya. Karena bukan hanya jenasah Prabu Arjunasasrabahu yang akan dibakar, tetapi Dewi Citrawati dan para selir akan ikut bela pati, terjun kedalam pancaka (api pembakaran jenasah).

Pudarnya nyala api pembakaran, bukan hanya sekedar akhir hidup dan kejayaan Prabu Arjunasasrabahu, tetapi juga awal pudarnya masa kejayaan negara Maespati. Sebab sepeninggal Prabu Arjunasasrabahu, satu persatu para raja dari negara-negara yang semula bergabung dengan Maespati, menyatakan diri memisahkan diri dan berdaulat sendiri. Tak ayal lagi, setelah berakhirnya masa pemerintahan Prabu Ruryana, secara lambat tapi pasti, negeri Maespati lenyap dari percaturan dunia pewayangan. Ironis memang![]
Tag : Kisah Wayang
0 Komentar untuk "Cerita Wayang #2: Kisah Arjuna Sasrabahu [Bagian IV]"

Back To Top