Di depan layar televisi, masih kuperhatikan gadis model itu berjalan lembut penuh pesona. Di atas catwalknya dengan balutan gaun terusan berwarna merah. ‘Uh, seksinya,’ komenku dalam hati. Begitu bersemangat aku menonton acara yang ditayangkan Fashion TV secara live itu. Momen yang mungkin takkan kembali.
Adalah Catherine Wilson yang menarik hatiku. Decak kagum selalu keluar dari bibirku. Terbius aku akan pesona dirinya yang matang. Kuhitung dengan jari-jemariku, ia masuk nilai tertinggi, yaitu angka 10. Sebuah nilai keramat yang hanya bisa ditimpakan kepada gadis-gadis tertentu saja—berdasarkan penilaianku. Hmm, aku manggut-manggut.
Di saat menikmati acara itu, suara mama kencang memecah keasyikanku.
“Aldi,” teriak mama. Pasti dari dapur, tebakku. Tapi aku pura-pura tak mendengarnya saja. Paling-paling juga disuruh beliin ini. Beliin itu. Huh, sebel. Sempat kudengar beberapa kali mama mencoba memanggilku. Tapi dalam hatiku, percuma ma manggil aku, aku mbudek* kok. Karena mungkin merasa percuma memanggilku yang tak menyahut ini. Suara mama menghilang. Aku menang. Haha, soraiku dalam hati.
Tak lama kemudian, kepala mama melongok dari balik pintu kamarku. “Aldi,” kerasnya suara mama, “Kamu dipanggil mama dari tadi kok nggak jawab-jawab sih?!” Aku diam saja. Cuek bebek dengan kata-kata mama. Masih kuteruskan menonton idolaku beraksi.
“Ini beliin mama roti di supermarket gih,” mama menyodorkan sejumlah uang.
“Sekarang?” tanyaku.
“Tahun depan. Yaiyalah sekarang.”
“Nanti dong ma, aku masih nonton Catherine nih,” aku melobi ibuku sendiri. Eh, bukannya memberikan jawaban persetujuan. Beliau malah mengambil remote TV, lantas dengan kekuasaan yang dimiliki orang tua terhadap anaknya segera membunuh TV dengan sekali pencet. Yah. Terpaksa mengalah kalau sudah begini. Aku dengan berat hati, terpaksa berangkat.
“Ya udah, aku berangkat dulu ya, Ma,” aku pamit pada ibuku.
“Rotinya rasa cokelat ya?” pesan Mama kembali.
“Cip!” kataku sambil ngeloyor pergi.
Kusela kick starter motor honda Tiger yang terpakir di dalam bagasi rumah. Pikiranku dipenuhi dengan wajah Catherine Wilson. Imajinasiku terus berjalan membayang dalam benakku. Seperti motorku yang mulai melaju di jalanan. Seandainya saja, aku dapat memilikinya. Oh, Catherine. Memeluk tubuh seksimu adalah cita-cita tertinggiku.
Tak berapa lama kemudian aku telah sampai di toko. Setelah memilih beberapa saat. Aku menemukan apa yang kucari dan membayarnya di kassa. Yup. Aku pulang. Perjalanan pulang pun kulalui dengan membayangkan wajah yang sama. Sampai-sampai tak sadar mengendarai motorku. Sekelebat bayangan membuatku terjaga. Nyaris saja ia tertabrak. Meskipun begitu, ia jatuh tersungkur.
Merasa bersalah kuhentikan motorku. Dan mencoba membangunkan gadis yang nyaris kutabrak itu. Dia segera ngomel-ngomel tak jelas padaku. “Punya mata nggak sih?! Naik motor yang bener dong!” begitu hardiknya padaku.
“Maaf. Maaf,” hanya itu lontaran kata yang keluar dari mulutku. Rasa bersalah membuatku canggung.
“Sakit tauk,” protesnya dengan hati yang kesal.
“Di mana? Di mana?”
“Enak aja pegang-pegang. Udah ah, aku mau pulang,” ia lalu berlalu dengan memegang pinggang, yang masih sakit. Saat ia agak menjauh, baru aku tersadar tak menawarkan tumpanganku padanya.
“Oi, rumahmu di mana? Apa perlu kuantar?” teriakku pada gadis yang nyaris kutabrak. Namun, ia tak menjawabku. Kuangkat kedua bahuku. Yah, terserahlah. Aku lalu memacu motorku. Pulang. Dan sampai ke rumah tanpa kecelakaan apa-apa. Saat memarkirkan motor, aku baru menyadari ada yang tidak beres, tapi apa ya? Lalu kucari-cari roti pesenan Mama. Lho pesenan Mama mana? Guoblok. Terbawa gadis itu. Shit! Karena tak tahu rumah gadis itu, aku terpaksa beli ulang. Dengan uangku sendiri pula. Rugi aku.
***
Baru saja aku sampai di kelas. Sorak beberapa cewek kelas 1 yang mengidolakan aku berteriak memanggil-manggil namaku, saat melihatku berjalan melewati ruang kelas mereka. Hah, pusing aku mendengarnya. Pun malas. Sampai di meja pun, mataku menumbuk dua amplop berwarna pink yang teronggok begitu saja.
Kuambil dua amplop kecil itu. Masing-masingnya tertuliskan nama: Indana dan Marselina. Wah, dua cewek cantik di sekolah niy. Namun aku tak berminat pada mereka. Segera kumasukkan kolong mejaku. Menumpuk bersama beberapa surat cinta yang juga tertuju padaku. Bukan apa-apa lho. Meski masih berstatus jomblo sekarang ini. Aku termasuk laku di kalangan para cewek-cewek satu sekolahan. Tapi semua tertolak, saat kuperhatikan tak ada yang seperti Catherine Wilson, dara seksi bertubuh semampai 177 cm dengan bobot 52 kg. Huh, aku tak bisa menurunkan standar kriteria pacarku. Tak apa tak melebihi Catherine. Paling tidak menyamainya. Yah, gadis itu harus memiliki nilai sempurna 10. Aldi gitu loh. Mana level sama yang tidak sederajat. Go to hell with them.
“Dar,” suara Risang mengejutkanku yang masih melamun. Membuyarkan segala lamunanku. Ingin rasanya kumakan kepala anak ini bulat-bulat. Tampang absurdnya tak jelas memiliki maksud apa. Meskipun begitu, ia sahabatku.
“Sialan lo, ngagetin gue aja.”
Ia hanya bisa meringis. Setelah duduk, ia lalu merogoh laci mejaku.
“Ada surat cinta baru nggak?” tanyanya tanpa bersalah.
“Ada dua.”
“Gimana? Tertarik?”
“Nggak.”
“Yah, udah buat gua aja,” lagi-lagi ia nyengir.
“Terserahlah lu,” jawabku, “tapi yang kemaren-kemaren gimana?”
“Luar biasa.”
“Bukannya aneh? Kalau ada yang jadian sama kau?”
“Hahaha. Maksudku, luar biasa, karena sudah 10 kali ‘nembak’, tapi tetep ditolak. Kenapa ya?” tanyanya, “Eh, ngomong-ngomong, lo nggak nyesel nolakin mereka semua. Karma lo nanti.”
“Habis nggak ada selevel Catherine.”
“Halah. Lupain aja Catherine lo itu, ngimpi lo nemuin orang yang selevel sama Catherine.”
“Who’s care?” jawabku menutup pembicaraan.
***
Sendirian saja aku menikmati istirahat di kantin. Risang sedang sibuk mengerjakan proyek barunya—berkenalan pada dua cewek yang memberiku surat cinta. Pikiranku menerawang. Sebenarnya sepi juga diriku ini. Sepo**, kata orang Jawa. Tapi paling tidak aku telah memikirkan bagaimana cantiknya pacarku itu nantinya. Karena aku berpatok pada jelita idolaku. Catherine Wilson. Uhhhhh…
Kusedot es cendol. Mataku menerabas kesana kemari. Memperhatikan cewek-cewek mondar-mandir. Berharap ada yang mirip Catherine. Tepat di saat itu, aku mengucek mataku. Dia. Gadis yang nyaris kutabrak kemaren. Ia berjalan melewatiku. Tapi langsung memesan pada penjaga kantin satu mangkuk bakso. Kemudian duduk di salah satu meja kosong di kantin ini pula.
Hmmph, jujur aku tak tertarik padanya. Tapi aku berniat memohon maaf perihal kemaren, juga soal roti yang terbawa olehnya. Aku beranjak dari dudukku. Perlahan-lahan mendekati mejanya. Ia melihatku. Aku tersenyum. Dia? Diam saja, sambil menopang dagunya pada tangan kanannya.
“Permisi boleh duduk di sini?” tanyaku basi.
Dia tak menyahut.
“Oiya, gimana keadaannya sekarang? Apa lebih baik dari kemaren?” tanyaku lagi berbasa-basi.
“Kalau tak lebih baik dari kemaren, aku pasti tak masuk sekolah hari ini,” ia berucap ketus. Huh, angkuh sekali gadis ini. Tapi kuperhatikan ia cantik juga. Tidak ah. Ia agak gendut. Catherine tak gendut bukan? Juga lebih pendek daripada Catherine.
“Ee, maaf,” aku jadi agak lebih canggung sekarang. Sebelum berhasil melanjutkan kata-kataku. Pesenan dia sudah datang.
“Sory, kalo makan biasanya gw nggak mau diganggu.” Lalu ia makan, tanpa kuganggu tentunya, meskipun aku masih duduk satu meja dengannya. Anggun juga cewek ini. Disuruh tak mengganggu sebenarnya nggak apa-apa, namun yang bikin gw dongkol itu, seorang kawannya datang. Dan berbicara dengan rame. Kawannya itu, adalah Risang, si muka absurd, temen sekelasku yang paling akrab. Hah, bagaimana ini anak bisa kenal sama si... ehm, nona angkuh ini? Tumben.
Merasa kenal dengan orang yang satu bangkunya, yaitu aku. Risang menyapaku juga. Lalu menatapku penuh keheranan. “Lho, kalian saling kenal?” tanyanya polos. Kami berdua melongo. Si gadis angkuh melongo juga, dengan mulut masih penuh mie. “Atau jangan-jangan, kalian ini... lagi...”
“Nggak!” kompak kami berdua menghentikan pembicaraan Risang dengan menggelengkan telapak tangan.
“Terus?” giliran dia yang bengong. Tak ada yang menyahut. “Oh, pasti kamu!” ia menunjukku, “sedang pdkt sama Neni ya?”
“Hah, pdkt? Kenal aja nggak!” amukku. Sotoi ni bocah lama-lama. “Gue, juga baru tahu nama dia itu Neni. Sebelumnya nggak kenal, tapi gara-gara...”
“Gara-gara lo hampir bunuh gua,” sahut Neni melanjutkan omonganku.
Aku tersentak. Kata-katanya menohok tepat di ulu hati. Sesak!
***
Kejadian itu membuat Risang semakin gencar mempolitisiku. Bertanya-tanya terus soal Neni. Sampai-sampai aku harus mengatakannya berulang kali: EMANG GUE IBUNYA!
“Woo, sampe segitu sewotnya! B aja kali…” gerutu Risang.
“Abisnya, elu itu,” omelku.
Apalagi, Neni mulai terlihat lebih sering mondar-mandir di depan mataku. Entah, kenapa aku jadi lebih sering melihatnya. Padahal sebelumnya tak pernah sekalipun berkelebat. Seolah ia bukan satu sekolah denganku.
Bayanganku pun tentang Catherine perlahan memudar. Dari balik kaca jendela, sering muncul Neni. Yang tiap kali pertemuan selalu diimbangi dengan ejekan dan ledek-ledekan. Hingga semua rasanya ini terpendam. Selama kurang lebih satu tahun. Dan aku semakin akrab dengan Neni dan Risang juga.
Akhir tahun akan datang sebentar lagi. Saat itu, kami akan lulus. Aku harus mengungkapkan semua rasa ini pada Neni sebelum semuanya terlambat.
Tapi sebelum semuanya mewujud, dia pernah bertanya padaku, “Bagaimana kriteria cewek idealmu?”
Waktu itu aku belum sadar mengenai pertanyaan itu, yang langsung saja kujawab, “Yah, seperti Catherine Wilson-lah. Cantik. Menarik. Energik.”
Bagaimana kelanjutan dari cerpen ini? Apakah Aldi bakal nembak Neni? Dan apakah Neni bakal jadian dengan Aldi? Simak dalam Cerpen Cinta: Pacar Idaman [Part 2]
__________
* Pura-pura tidak mendengar.
** Gabuk atau garing.
Adalah Catherine Wilson yang menarik hatiku. Decak kagum selalu keluar dari bibirku. Terbius aku akan pesona dirinya yang matang. Kuhitung dengan jari-jemariku, ia masuk nilai tertinggi, yaitu angka 10. Sebuah nilai keramat yang hanya bisa ditimpakan kepada gadis-gadis tertentu saja—berdasarkan penilaianku. Hmm, aku manggut-manggut.
Di saat menikmati acara itu, suara mama kencang memecah keasyikanku.
“Aldi,” teriak mama. Pasti dari dapur, tebakku. Tapi aku pura-pura tak mendengarnya saja. Paling-paling juga disuruh beliin ini. Beliin itu. Huh, sebel. Sempat kudengar beberapa kali mama mencoba memanggilku. Tapi dalam hatiku, percuma ma manggil aku, aku mbudek* kok. Karena mungkin merasa percuma memanggilku yang tak menyahut ini. Suara mama menghilang. Aku menang. Haha, soraiku dalam hati.
Tak lama kemudian, kepala mama melongok dari balik pintu kamarku. “Aldi,” kerasnya suara mama, “Kamu dipanggil mama dari tadi kok nggak jawab-jawab sih?!” Aku diam saja. Cuek bebek dengan kata-kata mama. Masih kuteruskan menonton idolaku beraksi.
“Ini beliin mama roti di supermarket gih,” mama menyodorkan sejumlah uang.
“Sekarang?” tanyaku.
“Tahun depan. Yaiyalah sekarang.”
“Nanti dong ma, aku masih nonton Catherine nih,” aku melobi ibuku sendiri. Eh, bukannya memberikan jawaban persetujuan. Beliau malah mengambil remote TV, lantas dengan kekuasaan yang dimiliki orang tua terhadap anaknya segera membunuh TV dengan sekali pencet. Yah. Terpaksa mengalah kalau sudah begini. Aku dengan berat hati, terpaksa berangkat.
“Ya udah, aku berangkat dulu ya, Ma,” aku pamit pada ibuku.
“Rotinya rasa cokelat ya?” pesan Mama kembali.
“Cip!” kataku sambil ngeloyor pergi.
Kusela kick starter motor honda Tiger yang terpakir di dalam bagasi rumah. Pikiranku dipenuhi dengan wajah Catherine Wilson. Imajinasiku terus berjalan membayang dalam benakku. Seperti motorku yang mulai melaju di jalanan. Seandainya saja, aku dapat memilikinya. Oh, Catherine. Memeluk tubuh seksimu adalah cita-cita tertinggiku.
Tak berapa lama kemudian aku telah sampai di toko. Setelah memilih beberapa saat. Aku menemukan apa yang kucari dan membayarnya di kassa. Yup. Aku pulang. Perjalanan pulang pun kulalui dengan membayangkan wajah yang sama. Sampai-sampai tak sadar mengendarai motorku. Sekelebat bayangan membuatku terjaga. Nyaris saja ia tertabrak. Meskipun begitu, ia jatuh tersungkur.
Merasa bersalah kuhentikan motorku. Dan mencoba membangunkan gadis yang nyaris kutabrak itu. Dia segera ngomel-ngomel tak jelas padaku. “Punya mata nggak sih?! Naik motor yang bener dong!” begitu hardiknya padaku.
“Maaf. Maaf,” hanya itu lontaran kata yang keluar dari mulutku. Rasa bersalah membuatku canggung.
“Sakit tauk,” protesnya dengan hati yang kesal.
“Di mana? Di mana?”
“Enak aja pegang-pegang. Udah ah, aku mau pulang,” ia lalu berlalu dengan memegang pinggang, yang masih sakit. Saat ia agak menjauh, baru aku tersadar tak menawarkan tumpanganku padanya.
“Oi, rumahmu di mana? Apa perlu kuantar?” teriakku pada gadis yang nyaris kutabrak. Namun, ia tak menjawabku. Kuangkat kedua bahuku. Yah, terserahlah. Aku lalu memacu motorku. Pulang. Dan sampai ke rumah tanpa kecelakaan apa-apa. Saat memarkirkan motor, aku baru menyadari ada yang tidak beres, tapi apa ya? Lalu kucari-cari roti pesenan Mama. Lho pesenan Mama mana? Guoblok. Terbawa gadis itu. Shit! Karena tak tahu rumah gadis itu, aku terpaksa beli ulang. Dengan uangku sendiri pula. Rugi aku.
***
Baru saja aku sampai di kelas. Sorak beberapa cewek kelas 1 yang mengidolakan aku berteriak memanggil-manggil namaku, saat melihatku berjalan melewati ruang kelas mereka. Hah, pusing aku mendengarnya. Pun malas. Sampai di meja pun, mataku menumbuk dua amplop berwarna pink yang teronggok begitu saja.
Kuambil dua amplop kecil itu. Masing-masingnya tertuliskan nama: Indana dan Marselina. Wah, dua cewek cantik di sekolah niy. Namun aku tak berminat pada mereka. Segera kumasukkan kolong mejaku. Menumpuk bersama beberapa surat cinta yang juga tertuju padaku. Bukan apa-apa lho. Meski masih berstatus jomblo sekarang ini. Aku termasuk laku di kalangan para cewek-cewek satu sekolahan. Tapi semua tertolak, saat kuperhatikan tak ada yang seperti Catherine Wilson, dara seksi bertubuh semampai 177 cm dengan bobot 52 kg. Huh, aku tak bisa menurunkan standar kriteria pacarku. Tak apa tak melebihi Catherine. Paling tidak menyamainya. Yah, gadis itu harus memiliki nilai sempurna 10. Aldi gitu loh. Mana level sama yang tidak sederajat. Go to hell with them.
“Dar,” suara Risang mengejutkanku yang masih melamun. Membuyarkan segala lamunanku. Ingin rasanya kumakan kepala anak ini bulat-bulat. Tampang absurdnya tak jelas memiliki maksud apa. Meskipun begitu, ia sahabatku.
“Sialan lo, ngagetin gue aja.”
Ia hanya bisa meringis. Setelah duduk, ia lalu merogoh laci mejaku.
“Ada surat cinta baru nggak?” tanyanya tanpa bersalah.
“Ada dua.”
“Gimana? Tertarik?”
“Nggak.”
“Yah, udah buat gua aja,” lagi-lagi ia nyengir.
“Terserahlah lu,” jawabku, “tapi yang kemaren-kemaren gimana?”
“Luar biasa.”
“Bukannya aneh? Kalau ada yang jadian sama kau?”
“Hahaha. Maksudku, luar biasa, karena sudah 10 kali ‘nembak’, tapi tetep ditolak. Kenapa ya?” tanyanya, “Eh, ngomong-ngomong, lo nggak nyesel nolakin mereka semua. Karma lo nanti.”
“Habis nggak ada selevel Catherine.”
“Halah. Lupain aja Catherine lo itu, ngimpi lo nemuin orang yang selevel sama Catherine.”
“Who’s care?” jawabku menutup pembicaraan.
***
Sendirian saja aku menikmati istirahat di kantin. Risang sedang sibuk mengerjakan proyek barunya—berkenalan pada dua cewek yang memberiku surat cinta. Pikiranku menerawang. Sebenarnya sepi juga diriku ini. Sepo**, kata orang Jawa. Tapi paling tidak aku telah memikirkan bagaimana cantiknya pacarku itu nantinya. Karena aku berpatok pada jelita idolaku. Catherine Wilson. Uhhhhh…
Kusedot es cendol. Mataku menerabas kesana kemari. Memperhatikan cewek-cewek mondar-mandir. Berharap ada yang mirip Catherine. Tepat di saat itu, aku mengucek mataku. Dia. Gadis yang nyaris kutabrak kemaren. Ia berjalan melewatiku. Tapi langsung memesan pada penjaga kantin satu mangkuk bakso. Kemudian duduk di salah satu meja kosong di kantin ini pula.
Hmmph, jujur aku tak tertarik padanya. Tapi aku berniat memohon maaf perihal kemaren, juga soal roti yang terbawa olehnya. Aku beranjak dari dudukku. Perlahan-lahan mendekati mejanya. Ia melihatku. Aku tersenyum. Dia? Diam saja, sambil menopang dagunya pada tangan kanannya.
“Permisi boleh duduk di sini?” tanyaku basi.
Dia tak menyahut.
“Oiya, gimana keadaannya sekarang? Apa lebih baik dari kemaren?” tanyaku lagi berbasa-basi.
“Kalau tak lebih baik dari kemaren, aku pasti tak masuk sekolah hari ini,” ia berucap ketus. Huh, angkuh sekali gadis ini. Tapi kuperhatikan ia cantik juga. Tidak ah. Ia agak gendut. Catherine tak gendut bukan? Juga lebih pendek daripada Catherine.
“Ee, maaf,” aku jadi agak lebih canggung sekarang. Sebelum berhasil melanjutkan kata-kataku. Pesenan dia sudah datang.
“Sory, kalo makan biasanya gw nggak mau diganggu.” Lalu ia makan, tanpa kuganggu tentunya, meskipun aku masih duduk satu meja dengannya. Anggun juga cewek ini. Disuruh tak mengganggu sebenarnya nggak apa-apa, namun yang bikin gw dongkol itu, seorang kawannya datang. Dan berbicara dengan rame. Kawannya itu, adalah Risang, si muka absurd, temen sekelasku yang paling akrab. Hah, bagaimana ini anak bisa kenal sama si... ehm, nona angkuh ini? Tumben.
Merasa kenal dengan orang yang satu bangkunya, yaitu aku. Risang menyapaku juga. Lalu menatapku penuh keheranan. “Lho, kalian saling kenal?” tanyanya polos. Kami berdua melongo. Si gadis angkuh melongo juga, dengan mulut masih penuh mie. “Atau jangan-jangan, kalian ini... lagi...”
“Nggak!” kompak kami berdua menghentikan pembicaraan Risang dengan menggelengkan telapak tangan.
“Terus?” giliran dia yang bengong. Tak ada yang menyahut. “Oh, pasti kamu!” ia menunjukku, “sedang pdkt sama Neni ya?”
“Hah, pdkt? Kenal aja nggak!” amukku. Sotoi ni bocah lama-lama. “Gue, juga baru tahu nama dia itu Neni. Sebelumnya nggak kenal, tapi gara-gara...”
“Gara-gara lo hampir bunuh gua,” sahut Neni melanjutkan omonganku.
Aku tersentak. Kata-katanya menohok tepat di ulu hati. Sesak!
***
Kejadian itu membuat Risang semakin gencar mempolitisiku. Bertanya-tanya terus soal Neni. Sampai-sampai aku harus mengatakannya berulang kali: EMANG GUE IBUNYA!
“Woo, sampe segitu sewotnya! B aja kali…” gerutu Risang.
“Abisnya, elu itu,” omelku.
Apalagi, Neni mulai terlihat lebih sering mondar-mandir di depan mataku. Entah, kenapa aku jadi lebih sering melihatnya. Padahal sebelumnya tak pernah sekalipun berkelebat. Seolah ia bukan satu sekolah denganku.
Bayanganku pun tentang Catherine perlahan memudar. Dari balik kaca jendela, sering muncul Neni. Yang tiap kali pertemuan selalu diimbangi dengan ejekan dan ledek-ledekan. Hingga semua rasanya ini terpendam. Selama kurang lebih satu tahun. Dan aku semakin akrab dengan Neni dan Risang juga.
Akhir tahun akan datang sebentar lagi. Saat itu, kami akan lulus. Aku harus mengungkapkan semua rasa ini pada Neni sebelum semuanya terlambat.
Tapi sebelum semuanya mewujud, dia pernah bertanya padaku, “Bagaimana kriteria cewek idealmu?”
Waktu itu aku belum sadar mengenai pertanyaan itu, yang langsung saja kujawab, “Yah, seperti Catherine Wilson-lah. Cantik. Menarik. Energik.”
Bagaimana kelanjutan dari cerpen ini? Apakah Aldi bakal nembak Neni? Dan apakah Neni bakal jadian dengan Aldi? Simak dalam Cerpen Cinta: Pacar Idaman [Part 2]
__________
* Pura-pura tidak mendengar.
** Gabuk atau garing.
Tag :
Cerpen,
Cerpen Cinta
0 Komentar untuk "Cerpen Cinta: Pacar Idaman [Part 1]"