Gue ngelihatin kalender, kemudian bersungut-sungut. Tinggal tiga hari lagi, hari valentine aka hari kasih sayang bakal dirayakan kawula muda di seluruh jagat. Biasanya, sejenis abg labil kayak gue, udah pada galau mau mempersiapkan cokelat untuk seseorang yang spesial. Entah itu, buat pacar atau buat teman, sebagai tanda persahabatan atau pdkt.
Karena itu, belakangan ini gue sibuk bantu-bantu toko Bang Doni. Membantu pemasaran ke teman-teman sekolah gitulah. Oiya, Bang Doni itu abang gue yang buka usaha toko cokelat di sebelah rumah.
“Menurut lo yang mana Mel? Gue bingung nih…” Sabrina temen sekelas gue lagi bingung milih cokelat yang diinginkan.
“Emm… kalau bentuk boneka itu, gimana?” sahut gue, sambil menunjuk gambar cokelat berbentuk boneka.
“Oke juga kayaknya. Ya udah deh, gue pesen cokelat ini aja ya.”
Gue mengacungkan jempol. Sip, pokoknya!
“Eh, ngomong-ngomong lo mau kasih cokelat pas valentine ke siapa, Mel?” selidik Sabrina.
Mendapat pertanyaan itu, aku terdiam. Menohok ulu hati gue terdalam. Soalnya, hingga detik ini, gue belum punya cowok. Aku mengedikkan bahu. “Entahlah, lo kan tahu kalau gue belum ada cowok.”
“Iya, gue tahu. Tapi, ngasih cokelat kan nggak harus buat pacar. Temen juga bisa. Kayak gue.”
“Arahnya udah bisa ditebak. Modus lo.”
Sabrina pecah tawanya. “Siapa tahu…”
“No way! Bisnis is bisnis. Friend is friend. Bedakan itu, Sabrina cantik …” gue mencubit hidung Sabrina, kemudian ngeloyor pergi.
“Sialan lo, sakit nih!” teriaknya di belakangku.
Di kelas, gue memikirkan pertanyaan Sabrina.
Sebenarnya, sekarang ini, gue lagi naksir sama temen gue satu sekolah. Namanya, Iko. Tapi, gitu deh naksir-naksir merpati, malu tapi mau. Soalnya gue juga sedikit nyadar kalau harus jadian sama Iko. Gue gitu loh?! Penjaja cokelat. Tentu, gue bukan level Iko. Pikiran itu membuat gue jiper untuk kasih cokelat ke dia. Syukur kalau diterima, lha kalau cokelatnya terus diteplokin ke jidat gue? Apa kata dunia?
“Mel,” teriak Iko, yang mendadak ke kelas gue dan membuyarkan semua lamunan gue barusan.
“Apa?”
“Lo punya novel Anak Kos Dodol nggak? Gue pinjem dong…”
“Ada, datang aja ke rumah. Ntar gue pinjemin.”
“Eh, ini contoh-contoh cokelat yang dijual di toko Abang lo ya?”
Gue mengangguk. Pikiran gue segera menangkap, Iko mau pesen cokelat untuk gebetannya. Siapakah gerangan? Gue-kah? Uh, maunya…
“Banyak yang pesen?” tanya Iko.
“Lumayanlah, daripada lu manyun.”
“Ah, bisa aja lo. Ya udah, gue ke kelas dulu, nanti malem gue ke rumah lo.”
“Ko, lo nggak pesen cokelat?”
Iko menggeleng dan segera berlalu. Pikiran gue menangkap peluang bahwa Iko belum punya pacar – ya minimal gebetan. Terbukti dia nggak pesen cokelat sama gue. Gue inget pertanyaan Sabrina. Dan cepat gue putuskan kalau gue bakal ngasih cokelat untuk Iko.
***
Tepat di malam Minggu, Iko bertandang ke rumah gue. Uh, jadi ngerasa ada yang ngapelin. Walaupun, niatnya, tentu saja cuma pinjam novel Anak Kos Dodol, dan cuma gue yang merasakannya.
“Lo, nggak malming, Mel?” tanya Iko membuka pembicaraan.
Gue menggeleng. Dalam hati gue berkata, ‘Cowok yang mau gue ajakin malming itu lo, Iko!”
“Bukan karena kedatangan gue kan, lo nggak malming?”
“Nggak, biasa aja. Tenang lo nggak ngganggu apapun, Ko. Lagian keluar sama siapa?”
“Lha malah nanya sama gue,” Iko berkata sambil menyesap es sirup buatanku,”Lo kan bisa jalan sama temen atau sama siapa gitu.”
Hati gue bergumam, ‘Ah, Iko, gue kan maunya malem Mingguan sama lo. Andai aja lo ngajak gue jalan, rela nggak nolak deh gue.’
Sementara hati gue cenat-cenut, Iko kemudian asyik memilah-milah novel yang mau dipinjamnya di rak buku. Dua jam kemudian, dia pamit pulang. Novel Anak Kos Dodol yang mau dipinjamnya pun sudah di tangan. Gue mengantarkan dia sampai ke depan. Terus ngelihat dia capcus naik motor. Sampai punggungnya hilang di balik tingkungan pertama, gue baru masuk ke rumah. Nggak ada yang bisa gue perbuat, selain berharap tiap malam Minggu Iko selalu main ke rumah. Ngapelin gue, becandaan sama gue, baca dan nonton film barengan. Siapa tahu dengan begitu Iko jadi menyukai gue? Ya, siapa tahu? Cinta kan bisa datang karena terbiasa.
***
Keesokan harinya, dengan mata yang masih lengket, gue sama bang Doni menyiapkan seluruh pesanan cokelat teman-teman sekolah gue. Karena hari Senin besok mau gue bawa ke sekolah – kan valentine. Gue juga sedang menyiapkan setoples cokelat spesial untuk Iko. Cokelat valentine ala chef Imel. Ketika sedang berbangga dengan cokelat spesial itu, mata gue tertumbuk pada satu toples cokelat yang janggal. Cokelat-cokelat yang ada di dalamnya berbentuk bintang dan hati. Mirip betul sama logo salah satu partai, hihihi…
“Di daftar gue, nggak ada cokelat ini nih. Punya siapa, Bang Don?”
“Oh, itu punya Iko. Kemarin dia pesennya.”
Kening gue mengernyit. ‘Iko pesen cokelat langsung ke Bang Doni. Waktu gue tawarin kemarin, dia nggak mau. Apa dia mau ngasih cokelat untuk gebetannya ya? Tapi, kenapa dia nggak pesen ke gue aja? Jangan-jangan, gebetannya dia itu gue, hihihi…’
“Kenapa mesam-mesem begitu?” tanya Bang Doni.
“Nggak apa-apa. Urusan abg labil…” sahut gue, sok ketus.
***
‘Gue yakin banget, Iko bakal ngasih cokelat itu buat gue.’ Makanya, ketika datang ke sekolah, gue pede banget. Sebelum bel masuk berbunyi, gue sudah menuntaskan pekerjaan dengan memberikan ke masing-masing pembeli cokelat pesanan mereka masing-masing. Tinggal cokelat pesanan Iko, yang masih di tangan gue. Dan sebuah cokelat valentine spesial dari gue buat Iko.
Dengan hati yang dag-dig-dug-der-Daia, gue sambangi kelas Iko, dan memanggil cowok itu dengan keras.
“Ko!”
Suara gue yang mirip kondektur metro mini, sukses membuat Iko menoleh. Dia pun datang menghampiri gue yang berdiri di depan pintu kelasnya.
“Nih, dari Bang Doni. Pesanan cokelat lo. Katanya, dia nggak bisa nganterin. Jadi menyuruh kurirnya untuk memberikannya sama lo. Oiya, gue juga ada…” belum juga kata-kata gue utuh, Iko menghentikannya.
“Mel, bentar ya,” pamit Iko.
Kemudian, gue yang masih berdiri di depan kelas Iko melihat dia masuk ke dalam. Dia menghampiri seorang cewek dan memberikan sekotak cokelat yang dia pesan sama cewek itu. Kemudian, cipika cipiki.
Gue langsung capcus balik ke kelas tanpa menunggu apa-apa lagi. Sekarang gue tahu, Iko emang udah punya pacar. Seharusnya sejak awal gue nggak boleh berharap apapun. Dada gue rasanya terhimpit jabal uhud, sesak betul.
Gue lalu ingat Sabrina. Terus menghampirinya, dan memberikan cokelat valentine gue untuknya. “Nih, buat lo.”
Sabrina bengong, tampak bimbang.
“Buat gue? Duit gue abis, Mel?”
“Gue yang traktir, nggak usah bayar.”
“Ciyus lo?”
Gue mengangguk dan tersenyum.
“Iya…”
Sabrina dengan cepat mengambil beberapa buah. Gue duduk di sampingnya, menjumput cokelat dari toples yang sama. Mungkin Iko bukanlah cowok yang tepat untuk gue saat ini. Entahlah, kelak apakah kita bakal berjodoh atau tidak. Biarlah nasib yang menentukannya. Lebih baik gue melupakannya, dan menjalin persahabatan dengan banyak orang. Tentu semua akan indah pada waktunya.[nd]
Tentang Penulis: Putri Pratiwi lahir di Jakarta 1991 dan saat ini sedang menggalau di kampus negeri Yogyakarta. Ingin berkenalan dengannya, sila bertandang ke Facebook-nya.
Cerita pendek lainnya, silakan pilih di kategori cerpen
Karena itu, belakangan ini gue sibuk bantu-bantu toko Bang Doni. Membantu pemasaran ke teman-teman sekolah gitulah. Oiya, Bang Doni itu abang gue yang buka usaha toko cokelat di sebelah rumah.
“Menurut lo yang mana Mel? Gue bingung nih…” Sabrina temen sekelas gue lagi bingung milih cokelat yang diinginkan.
“Emm… kalau bentuk boneka itu, gimana?” sahut gue, sambil menunjuk gambar cokelat berbentuk boneka.
“Oke juga kayaknya. Ya udah deh, gue pesen cokelat ini aja ya.”
Gue mengacungkan jempol. Sip, pokoknya!
“Eh, ngomong-ngomong lo mau kasih cokelat pas valentine ke siapa, Mel?” selidik Sabrina.
Mendapat pertanyaan itu, aku terdiam. Menohok ulu hati gue terdalam. Soalnya, hingga detik ini, gue belum punya cowok. Aku mengedikkan bahu. “Entahlah, lo kan tahu kalau gue belum ada cowok.”
“Iya, gue tahu. Tapi, ngasih cokelat kan nggak harus buat pacar. Temen juga bisa. Kayak gue.”
“Arahnya udah bisa ditebak. Modus lo.”
Sabrina pecah tawanya. “Siapa tahu…”
“No way! Bisnis is bisnis. Friend is friend. Bedakan itu, Sabrina cantik …” gue mencubit hidung Sabrina, kemudian ngeloyor pergi.
“Sialan lo, sakit nih!” teriaknya di belakangku.
Di kelas, gue memikirkan pertanyaan Sabrina.
Sebenarnya, sekarang ini, gue lagi naksir sama temen gue satu sekolah. Namanya, Iko. Tapi, gitu deh naksir-naksir merpati, malu tapi mau. Soalnya gue juga sedikit nyadar kalau harus jadian sama Iko. Gue gitu loh?! Penjaja cokelat. Tentu, gue bukan level Iko. Pikiran itu membuat gue jiper untuk kasih cokelat ke dia. Syukur kalau diterima, lha kalau cokelatnya terus diteplokin ke jidat gue? Apa kata dunia?
“Mel,” teriak Iko, yang mendadak ke kelas gue dan membuyarkan semua lamunan gue barusan.
“Apa?”
“Lo punya novel Anak Kos Dodol nggak? Gue pinjem dong…”
“Ada, datang aja ke rumah. Ntar gue pinjemin.”
“Eh, ini contoh-contoh cokelat yang dijual di toko Abang lo ya?”
Gue mengangguk. Pikiran gue segera menangkap, Iko mau pesen cokelat untuk gebetannya. Siapakah gerangan? Gue-kah? Uh, maunya…
“Banyak yang pesen?” tanya Iko.
“Lumayanlah, daripada lu manyun.”
“Ah, bisa aja lo. Ya udah, gue ke kelas dulu, nanti malem gue ke rumah lo.”
“Ko, lo nggak pesen cokelat?”
Iko menggeleng dan segera berlalu. Pikiran gue menangkap peluang bahwa Iko belum punya pacar – ya minimal gebetan. Terbukti dia nggak pesen cokelat sama gue. Gue inget pertanyaan Sabrina. Dan cepat gue putuskan kalau gue bakal ngasih cokelat untuk Iko.
***
Tepat di malam Minggu, Iko bertandang ke rumah gue. Uh, jadi ngerasa ada yang ngapelin. Walaupun, niatnya, tentu saja cuma pinjam novel Anak Kos Dodol, dan cuma gue yang merasakannya.
“Lo, nggak malming, Mel?” tanya Iko membuka pembicaraan.
Gue menggeleng. Dalam hati gue berkata, ‘Cowok yang mau gue ajakin malming itu lo, Iko!”
“Bukan karena kedatangan gue kan, lo nggak malming?”
“Nggak, biasa aja. Tenang lo nggak ngganggu apapun, Ko. Lagian keluar sama siapa?”
“Lha malah nanya sama gue,” Iko berkata sambil menyesap es sirup buatanku,”Lo kan bisa jalan sama temen atau sama siapa gitu.”
Hati gue bergumam, ‘Ah, Iko, gue kan maunya malem Mingguan sama lo. Andai aja lo ngajak gue jalan, rela nggak nolak deh gue.’
Sementara hati gue cenat-cenut, Iko kemudian asyik memilah-milah novel yang mau dipinjamnya di rak buku. Dua jam kemudian, dia pamit pulang. Novel Anak Kos Dodol yang mau dipinjamnya pun sudah di tangan. Gue mengantarkan dia sampai ke depan. Terus ngelihat dia capcus naik motor. Sampai punggungnya hilang di balik tingkungan pertama, gue baru masuk ke rumah. Nggak ada yang bisa gue perbuat, selain berharap tiap malam Minggu Iko selalu main ke rumah. Ngapelin gue, becandaan sama gue, baca dan nonton film barengan. Siapa tahu dengan begitu Iko jadi menyukai gue? Ya, siapa tahu? Cinta kan bisa datang karena terbiasa.
***
Keesokan harinya, dengan mata yang masih lengket, gue sama bang Doni menyiapkan seluruh pesanan cokelat teman-teman sekolah gue. Karena hari Senin besok mau gue bawa ke sekolah – kan valentine. Gue juga sedang menyiapkan setoples cokelat spesial untuk Iko. Cokelat valentine ala chef Imel. Ketika sedang berbangga dengan cokelat spesial itu, mata gue tertumbuk pada satu toples cokelat yang janggal. Cokelat-cokelat yang ada di dalamnya berbentuk bintang dan hati. Mirip betul sama logo salah satu partai, hihihi…
“Di daftar gue, nggak ada cokelat ini nih. Punya siapa, Bang Don?”
“Oh, itu punya Iko. Kemarin dia pesennya.”
Kening gue mengernyit. ‘Iko pesen cokelat langsung ke Bang Doni. Waktu gue tawarin kemarin, dia nggak mau. Apa dia mau ngasih cokelat untuk gebetannya ya? Tapi, kenapa dia nggak pesen ke gue aja? Jangan-jangan, gebetannya dia itu gue, hihihi…’
“Kenapa mesam-mesem begitu?” tanya Bang Doni.
“Nggak apa-apa. Urusan abg labil…” sahut gue, sok ketus.
***
‘Gue yakin banget, Iko bakal ngasih cokelat itu buat gue.’ Makanya, ketika datang ke sekolah, gue pede banget. Sebelum bel masuk berbunyi, gue sudah menuntaskan pekerjaan dengan memberikan ke masing-masing pembeli cokelat pesanan mereka masing-masing. Tinggal cokelat pesanan Iko, yang masih di tangan gue. Dan sebuah cokelat valentine spesial dari gue buat Iko.
Dengan hati yang dag-dig-dug-der-Daia, gue sambangi kelas Iko, dan memanggil cowok itu dengan keras.
“Ko!”
Suara gue yang mirip kondektur metro mini, sukses membuat Iko menoleh. Dia pun datang menghampiri gue yang berdiri di depan pintu kelasnya.
“Nih, dari Bang Doni. Pesanan cokelat lo. Katanya, dia nggak bisa nganterin. Jadi menyuruh kurirnya untuk memberikannya sama lo. Oiya, gue juga ada…” belum juga kata-kata gue utuh, Iko menghentikannya.
“Mel, bentar ya,” pamit Iko.
Kemudian, gue yang masih berdiri di depan kelas Iko melihat dia masuk ke dalam. Dia menghampiri seorang cewek dan memberikan sekotak cokelat yang dia pesan sama cewek itu. Kemudian, cipika cipiki.
Gue langsung capcus balik ke kelas tanpa menunggu apa-apa lagi. Sekarang gue tahu, Iko emang udah punya pacar. Seharusnya sejak awal gue nggak boleh berharap apapun. Dada gue rasanya terhimpit jabal uhud, sesak betul.
Gue lalu ingat Sabrina. Terus menghampirinya, dan memberikan cokelat valentine gue untuknya. “Nih, buat lo.”
Sabrina bengong, tampak bimbang.
“Buat gue? Duit gue abis, Mel?”
“Gue yang traktir, nggak usah bayar.”
“Ciyus lo?”
Gue mengangguk dan tersenyum.
“Iya…”
Sabrina dengan cepat mengambil beberapa buah. Gue duduk di sampingnya, menjumput cokelat dari toples yang sama. Mungkin Iko bukanlah cowok yang tepat untuk gue saat ini. Entahlah, kelak apakah kita bakal berjodoh atau tidak. Biarlah nasib yang menentukannya. Lebih baik gue melupakannya, dan menjalin persahabatan dengan banyak orang. Tentu semua akan indah pada waktunya.[nd]
Tentang Penulis: Putri Pratiwi lahir di Jakarta 1991 dan saat ini sedang menggalau di kampus negeri Yogyakarta. Ingin berkenalan dengannya, sila bertandang ke Facebook-nya.
Cerita pendek lainnya, silakan pilih di kategori cerpen
Tag :
Cerpen,
Cerpen Cinta
0 Komentar untuk "Cerpen Cinta: Cokelat Valentine"