Aku duduk dekat jendela di bangku penumpang nomor 13 A di gerbong 5, sesekali aku kembali memandangi kotak biru yang terbungkus pita biru itu. Sebuah kotak biru yang kupegang dengan erat, sebab akan kuberikan pada seseorang nanti, sesampainya aku di Yogya. Kereta berangkat dari Stasiun Senen. Pada awalnya bergerak lamat-lamat namun semakin cepat dan semakin cepat. Aku melihat jam Seiko yang melekat di pergelangan tanganku, yang menunjuk pukul 7.30 pagi. Aku tahu kereta belum akan mempercepat kecepatannya sebelum melewati Stasiun Bekasi Kota.
Makanya, aku berharap Stasiun Bekasi Kota cepat dilewati kereta apiku. Untuk selanjutnya melaju menuju Stasiun Tugu Yogyakarta. Meski aku tetap harus bersabar selama kurang lebih 10 jam. Rindu yang sudah menggelora di hatiku terasa sekali. Menyakitkan juga indah. Aku benar-benar ingin segera menemuinya. Aku sadar sedang berada di awang-awang sekarang. Seluruh pandangku menembus jendela kereta, menggambarkan keindahan yang tak tereja dengan kata-kata. Seolah-olah... aku melihat sawah-sawah.
Apa yang kuharapkan tentang ini semua? Sebuah pertanyaan sadar yang kuyakin akan dapat kubeberkan saat aku bicara padamu nanti. Tanpa kata. Tanpa Suara. Saat aku memberikan kotak biru ini padamu. Hadiah yang akan membuat engkau bahagia. Bagaimana keadaanmu? Tiga bulan sudah kita tak bersua. Aku sudah lupa raut wajahmu, karena aku tak menyimpan fotomu selembarpun. Bukan karena aku tak ingin mengingatmu. Aku memiliki kebiasaan buruk, untuk selalu lupa wajah seseorang apabila membayangkan orang yang kukasihi.
Gerbong 5 tempatku duduk tidak dipenuhi oleh penumpang, kecuali diramaikan oleh laju aktivitas para pedagang, yang sibuk menawarkan barang-barang jualannya. Menawarkan barang yang bisa memenuhi hasrat. Yang bisa melegakan perasaan, sekedar kawan diam bagi yang sendiri sepertiku, atau kawan kebersamaan bagi yang naik kereta dengan teman-temannya. Biasanya aktivitas mereka agak mengangguku, tapi kali ini saat ini, aktivitas itu sama sekali tak menggangguku. Aku lebih berfokus pada kotak biruku.
Namun demikian diam-diam, aku menganggumi semangat mereka. Yang berani menawarkan sesuatu tanpa henti tanpa lelah. Dari gerbong satu ke gerbong lainnya. Aku tahu kalau mereka hanya bolak-balik dari gerbong depan ke gerbong belakang, dari gerbong belakang ke gerbong depan. Sampai tempat tujuan para penumpang atau tempat asal mereka saja. Suara sumbang mereka, teriakan mereka, bau mereka, dan barang-barang serta gaya pakaiannya sudah kuhafal betul-betul di luar kepala. Tentu saja mereka tak bisa dipisahkan dari tata cara hidup seperti itu bukan? Atau aku yang tak bisa melakukan apapun?
Kereta yang kutumpangi ini jenis kereta rakyat kelas 2. Atau, dalam kasta perkeretaapian negeriku, lazim disebut kereta api bisnis. Tak begitu mahal, tak begitu murah, ada di tengah-tengah. Menggambarkan keadaanku yang berpenghasilan pas-pasan. Untuk naik ekonomi terus terang saja, aku takut, karena di sana rawan sekali. Ya rawan kecelakaan. Ya rawan kehilangan. Ya rawan roda kereta api keluar rel. Namun untuk naik kelas eksekutif aku juga takut. Takut sama harganya. Tapi lagi-lagi, kali ini aku tak begitu peduli. Tak apalah, asal kereta ini dapat terus melaju ke arah Yogya. Tanpa halangan sesuatu apapun. Menemukan rinduku.
Tiba-tiba rasa kantuk mulai menyerang mataku. Terasa berat sekali mata ini. Kulihat lagi jam Seiko di pergelangan tanganku. Masih kurang 9,5 jam lagi sebelum kereta memasuki areal Stasiun Tugu Yogyakarta. Terasa lama sekali kereta melaju. Waktu sepertinya melambat. Kereta baru memasuki Stasiun Jatinegara saat ini. Ah, sial, tapi baiklah aku menunggu dengan sabar. Menunggu dengan penuh harap. Menunggu bertemu rinduku. Namun rasa kantuk tengah menguasaiku dengan lebih hebat lagi. Kemudian aku lelap, setelah menatap mantap kotak biru yang terbungkus pita biru.
***
Tanganku terasa bergerak-gerak tanpa mendapat perintah dariku. Pelan-pelan kubuka mataku, melihat apa yang tengah terjadi. Seorang bocah kecil berusaha mengambil kotak biruku diam-diam. Belum sempat kupertahankan kotak biruku, bocah itu keburu mengambilnya dan berlari. “Hei, bocah!” aku spontan berteriak disertai makian yang tak karu-karuan. Kontan mata penumpang lain tajam mengarah padaku, yang hanya menoleh tanpa melakukan apapun. Selain bisu.
Aku mengejar bocah tersebut, yang telah berlari menyusuri gerbong belakang, dan semakin ke belakang. Posisiku saat ini ada di gerbong 5. Bocah pencuri itu begitu cepat dan lincah larinya. Seperti kancil. Kurang ajar, pekikku dalam hati, aku baru menyadari kalau kereta akan memasuki stasiun kecil dan berhenti sejenak.
Aku segera bertekad untuk menemukan bocah itu, jika tidak aku tak berani membayangkannya. Kotak biruku tentu akan raib! Selang beberapa lama saatnya, aku tetap tak mampu menemukannya. Para penumpang memperhatikanku dengan penuh selidik curiga, seolah-olah aku ini pencuri barang yang siap beraksi. Mereka semakin mendekap barang bawaan mereka lebih erat daripada sebelumnya. Huh, dasar, pikirku. Padahal aku ini adalah korban pencurian. Aku tak mempedulikan sikap mereka. Saat ini tujuanku hanya satu, mendapatkan kotak biruku kembali. Titik.
Dan shit!!! Saat kereta sampai di stasiun. Tak kutemukan jua bocah kecil itu. Dasar setan kecil. Aku menggeram dalam diam. Kepalaku panas oleh rasa marah. Kududuk melesot di dekat pintu belakang gerbong terakhir dengan perasaan bingung. Entah, harus mengganti dengan apa kotak biruku itu? Hanya itu satu-satunya yang bisa kuberikan buatnya. Uangku sudah ludes buat membeli barang itu. Barang terindah dan termahal yang pernah kubelikan untuk seorang wanita.
Ketika aku sedang berada dalam gundah gulana dan kereta hendak melanjutkan perjalanannya kembali. Kulihat bocah setan itu menampakkan batang hidungnya. Mengendap-endap di antara belukar stasiun. Tanpa pikir panjang, aku segera melompat turun, dan terguling-guling di tanah. Disertai suara yang lumayan keras. Membuat bocah itu menengok ke arahku karena mendengar suaranya. Melihatku ia segera bergegas berlari cabut menghindari pandangan mataku. Aku mencoba mengejarnya, walaupun dengan tergopoh-gopoh. Karena penguasaannya terhadap medan, ia berhasil menyusup di antara tempat-tempat yang tak bisa dilalui manusia yang baru pertama kali mengenal medan ini. Gila! Medan ini luar biasa sulit dilewati. Bayangkan aku harus masuk kolong. Keluar kolong. Melewati tempat-tempat yang jorok. Becek dan kotor. Lelah aku mengejarnya. Tapi inilah usahaku. Usaha untuk mendapatkan perhatian dari seseorang yang kupuja-puja.
***
Akhirnya, kudapati juga kotak biruku. Bocah setan itu telah meninggalkannya begitu saja ditempat yang agak luas. Kuhampiri kotak biru itu, tapi aduh, kotak itu sudah terbuka. Dan Kosong. Hanya tertinggal bungkusnya saja. Aku ngejogrok di tempat. Merenungi kejadian itu. Apa kesalahanku? Mengapa begitu sulit, menyampaikan sesuatu yang ingin kuberikan?
Kemudian terbersit ide gila di dalam kepalaku. Kuambil pisau lipatku. Dan langsung crash. Aku menancapkan pisau itu di bagian tubuhku dan memotongnya. Kumasukkan bagian yang telah kupotong itu dalam bungkusanku yang masih agak bagus. Lalu aku kembali ke stasiun dan berniat menyambung kereta tujuan Yogya. Tanpa perasaan apapun. Tak sedikit pun aku terluka. Hanya gamang saja.
***
Aku tak ingin apapun selain sebuah senyum yang menghiasi wajahmu. Demikian ungkapan yang kukatakan padanya saat kuberikan hadiahku. Tapi dia diam saja melihatku, bahkan seperti melihat keanehan. Karena didiamkan saja. Tak diajak bicara apa-apa aku berniat pulang, daripada keberadaanku semakin aneh di depannya. Setelah berpamitan, aku pulang. Tanpa sebuah hati. Hati? Hatiku telah kubungkuskan padanya. Sebagai pengganti barang yang dicuri oleh bocah setan tadi di tengah jalan. Lagipula aku sudah tak membutuhkannya. Rasanya tak ada rasanya. Aku hanya berjalan menyusuri jalan membelakangi rumahnya. Dan tiba-tiba sebuah mobil yang melaju kencang menabrak diriku. Saat itu kudengar, satu panggilan dari suara yang kukenal samar-samar. Itu suaranya. Benar itu suaranya. Lalu mendapati diriku yang sudah tak berdaya, ia menangis kencang-kencang. Tapi tak kudengar betul pastinya. Apakah benar ia akan menangis? Oh, Tuhan, mengapa terlambat aku mengetahuinya. Aku pergi ke titik hitam. Bercahaya terang.[]
----------
Penulis: L | Ditulis di Jakarta Pusat, Jalan Veteran no. 1, 15 November 2007.
Makanya, aku berharap Stasiun Bekasi Kota cepat dilewati kereta apiku. Untuk selanjutnya melaju menuju Stasiun Tugu Yogyakarta. Meski aku tetap harus bersabar selama kurang lebih 10 jam. Rindu yang sudah menggelora di hatiku terasa sekali. Menyakitkan juga indah. Aku benar-benar ingin segera menemuinya. Aku sadar sedang berada di awang-awang sekarang. Seluruh pandangku menembus jendela kereta, menggambarkan keindahan yang tak tereja dengan kata-kata. Seolah-olah... aku melihat sawah-sawah.
Apa yang kuharapkan tentang ini semua? Sebuah pertanyaan sadar yang kuyakin akan dapat kubeberkan saat aku bicara padamu nanti. Tanpa kata. Tanpa Suara. Saat aku memberikan kotak biru ini padamu. Hadiah yang akan membuat engkau bahagia. Bagaimana keadaanmu? Tiga bulan sudah kita tak bersua. Aku sudah lupa raut wajahmu, karena aku tak menyimpan fotomu selembarpun. Bukan karena aku tak ingin mengingatmu. Aku memiliki kebiasaan buruk, untuk selalu lupa wajah seseorang apabila membayangkan orang yang kukasihi.
Gerbong 5 tempatku duduk tidak dipenuhi oleh penumpang, kecuali diramaikan oleh laju aktivitas para pedagang, yang sibuk menawarkan barang-barang jualannya. Menawarkan barang yang bisa memenuhi hasrat. Yang bisa melegakan perasaan, sekedar kawan diam bagi yang sendiri sepertiku, atau kawan kebersamaan bagi yang naik kereta dengan teman-temannya. Biasanya aktivitas mereka agak mengangguku, tapi kali ini saat ini, aktivitas itu sama sekali tak menggangguku. Aku lebih berfokus pada kotak biruku.
Namun demikian diam-diam, aku menganggumi semangat mereka. Yang berani menawarkan sesuatu tanpa henti tanpa lelah. Dari gerbong satu ke gerbong lainnya. Aku tahu kalau mereka hanya bolak-balik dari gerbong depan ke gerbong belakang, dari gerbong belakang ke gerbong depan. Sampai tempat tujuan para penumpang atau tempat asal mereka saja. Suara sumbang mereka, teriakan mereka, bau mereka, dan barang-barang serta gaya pakaiannya sudah kuhafal betul-betul di luar kepala. Tentu saja mereka tak bisa dipisahkan dari tata cara hidup seperti itu bukan? Atau aku yang tak bisa melakukan apapun?
Kereta yang kutumpangi ini jenis kereta rakyat kelas 2. Atau, dalam kasta perkeretaapian negeriku, lazim disebut kereta api bisnis. Tak begitu mahal, tak begitu murah, ada di tengah-tengah. Menggambarkan keadaanku yang berpenghasilan pas-pasan. Untuk naik ekonomi terus terang saja, aku takut, karena di sana rawan sekali. Ya rawan kecelakaan. Ya rawan kehilangan. Ya rawan roda kereta api keluar rel. Namun untuk naik kelas eksekutif aku juga takut. Takut sama harganya. Tapi lagi-lagi, kali ini aku tak begitu peduli. Tak apalah, asal kereta ini dapat terus melaju ke arah Yogya. Tanpa halangan sesuatu apapun. Menemukan rinduku.
Tiba-tiba rasa kantuk mulai menyerang mataku. Terasa berat sekali mata ini. Kulihat lagi jam Seiko di pergelangan tanganku. Masih kurang 9,5 jam lagi sebelum kereta memasuki areal Stasiun Tugu Yogyakarta. Terasa lama sekali kereta melaju. Waktu sepertinya melambat. Kereta baru memasuki Stasiun Jatinegara saat ini. Ah, sial, tapi baiklah aku menunggu dengan sabar. Menunggu dengan penuh harap. Menunggu bertemu rinduku. Namun rasa kantuk tengah menguasaiku dengan lebih hebat lagi. Kemudian aku lelap, setelah menatap mantap kotak biru yang terbungkus pita biru.
***
Tanganku terasa bergerak-gerak tanpa mendapat perintah dariku. Pelan-pelan kubuka mataku, melihat apa yang tengah terjadi. Seorang bocah kecil berusaha mengambil kotak biruku diam-diam. Belum sempat kupertahankan kotak biruku, bocah itu keburu mengambilnya dan berlari. “Hei, bocah!” aku spontan berteriak disertai makian yang tak karu-karuan. Kontan mata penumpang lain tajam mengarah padaku, yang hanya menoleh tanpa melakukan apapun. Selain bisu.
Aku mengejar bocah tersebut, yang telah berlari menyusuri gerbong belakang, dan semakin ke belakang. Posisiku saat ini ada di gerbong 5. Bocah pencuri itu begitu cepat dan lincah larinya. Seperti kancil. Kurang ajar, pekikku dalam hati, aku baru menyadari kalau kereta akan memasuki stasiun kecil dan berhenti sejenak.
Aku segera bertekad untuk menemukan bocah itu, jika tidak aku tak berani membayangkannya. Kotak biruku tentu akan raib! Selang beberapa lama saatnya, aku tetap tak mampu menemukannya. Para penumpang memperhatikanku dengan penuh selidik curiga, seolah-olah aku ini pencuri barang yang siap beraksi. Mereka semakin mendekap barang bawaan mereka lebih erat daripada sebelumnya. Huh, dasar, pikirku. Padahal aku ini adalah korban pencurian. Aku tak mempedulikan sikap mereka. Saat ini tujuanku hanya satu, mendapatkan kotak biruku kembali. Titik.
Dan shit!!! Saat kereta sampai di stasiun. Tak kutemukan jua bocah kecil itu. Dasar setan kecil. Aku menggeram dalam diam. Kepalaku panas oleh rasa marah. Kududuk melesot di dekat pintu belakang gerbong terakhir dengan perasaan bingung. Entah, harus mengganti dengan apa kotak biruku itu? Hanya itu satu-satunya yang bisa kuberikan buatnya. Uangku sudah ludes buat membeli barang itu. Barang terindah dan termahal yang pernah kubelikan untuk seorang wanita.
Ketika aku sedang berada dalam gundah gulana dan kereta hendak melanjutkan perjalanannya kembali. Kulihat bocah setan itu menampakkan batang hidungnya. Mengendap-endap di antara belukar stasiun. Tanpa pikir panjang, aku segera melompat turun, dan terguling-guling di tanah. Disertai suara yang lumayan keras. Membuat bocah itu menengok ke arahku karena mendengar suaranya. Melihatku ia segera bergegas berlari cabut menghindari pandangan mataku. Aku mencoba mengejarnya, walaupun dengan tergopoh-gopoh. Karena penguasaannya terhadap medan, ia berhasil menyusup di antara tempat-tempat yang tak bisa dilalui manusia yang baru pertama kali mengenal medan ini. Gila! Medan ini luar biasa sulit dilewati. Bayangkan aku harus masuk kolong. Keluar kolong. Melewati tempat-tempat yang jorok. Becek dan kotor. Lelah aku mengejarnya. Tapi inilah usahaku. Usaha untuk mendapatkan perhatian dari seseorang yang kupuja-puja.
***
Akhirnya, kudapati juga kotak biruku. Bocah setan itu telah meninggalkannya begitu saja ditempat yang agak luas. Kuhampiri kotak biru itu, tapi aduh, kotak itu sudah terbuka. Dan Kosong. Hanya tertinggal bungkusnya saja. Aku ngejogrok di tempat. Merenungi kejadian itu. Apa kesalahanku? Mengapa begitu sulit, menyampaikan sesuatu yang ingin kuberikan?
Kemudian terbersit ide gila di dalam kepalaku. Kuambil pisau lipatku. Dan langsung crash. Aku menancapkan pisau itu di bagian tubuhku dan memotongnya. Kumasukkan bagian yang telah kupotong itu dalam bungkusanku yang masih agak bagus. Lalu aku kembali ke stasiun dan berniat menyambung kereta tujuan Yogya. Tanpa perasaan apapun. Tak sedikit pun aku terluka. Hanya gamang saja.
***
Aku tak ingin apapun selain sebuah senyum yang menghiasi wajahmu. Demikian ungkapan yang kukatakan padanya saat kuberikan hadiahku. Tapi dia diam saja melihatku, bahkan seperti melihat keanehan. Karena didiamkan saja. Tak diajak bicara apa-apa aku berniat pulang, daripada keberadaanku semakin aneh di depannya. Setelah berpamitan, aku pulang. Tanpa sebuah hati. Hati? Hatiku telah kubungkuskan padanya. Sebagai pengganti barang yang dicuri oleh bocah setan tadi di tengah jalan. Lagipula aku sudah tak membutuhkannya. Rasanya tak ada rasanya. Aku hanya berjalan menyusuri jalan membelakangi rumahnya. Dan tiba-tiba sebuah mobil yang melaju kencang menabrak diriku. Saat itu kudengar, satu panggilan dari suara yang kukenal samar-samar. Itu suaranya. Benar itu suaranya. Lalu mendapati diriku yang sudah tak berdaya, ia menangis kencang-kencang. Tapi tak kudengar betul pastinya. Apakah benar ia akan menangis? Oh, Tuhan, mengapa terlambat aku mengetahuinya. Aku pergi ke titik hitam. Bercahaya terang.[]
----------
Penulis: L | Ditulis di Jakarta Pusat, Jalan Veteran no. 1, 15 November 2007.
Tag :
Cerpen,
Cerpen Sedih
1 Komentar untuk "Cerpen Sedih: Kado Biru Untukmu"
nice blog..visit back yah