Medio awal pergerakan (1900-1920), Hindia Belanda mulai bergeliat hendak melakukan perubahan, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh kebijakan politik etis pemerintah Hindia Belanda. Meskipun demikian arus ini tidak lantas segera berkembang besar. Setahap demi setahap para tokoh yang bermain di dalamnya melakukan berbagai upaya untuk membangun pondasi kebangsaan. Banyak yang masih malu-malu atau takut oleh pemerintah, namun beberapa lainnya berani melakukannya. Bahkan berteriak dengan lantang menyerukan kemerdekaan!
Sebut saja, artikel Soewardi Soerjaningrat yang berjudul “Als Ik Nederland Was..” (Andai Aku Seorang Belanda) yang dimuat di harian De Express. Ia mengkritik kebijakan pemerintah yang akan merayakan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis dan menolak dengan tegas perayaan tersebut diadakan di Hindia Belanda. Demi membantu sahabatnya itu, sehari kemudian Tjipto Mangoenkoesoemo mendukung pernyataan Soewardi di harian yang sama. Keduanya segera digiring ke penjara atas tuduhan penghasutan melawan pemerintah. Tertangkapnya kedua tokoh itu membuat Douwes Dekker membelanya dengan menyebutnya sebagai pahlawan. Empat hari kemudian Douwes Dekker turut diciduk aparat pemerintahan. Pada Agustus 1913 ketiganya dibuang ke Belanda.
Pembuangan tersebut membawa keuntungan bagi ketiganya. Di Belanda mereka meneruskan sekolah lagi dan tetap aktif di gelanggang politik. Douwes Dekker melanjutkan studinya bidang ilmu sosial dan politik di Universitas Zurich, Belanda, yang berhasil diluluskannya hanya dalam tempo 10 bulan dengan perolehan cumlaude. Soewardi melanjutkan ke ilmu pedagogie (pendidikan) hingga mendapat sertifikasi mengajar. Tjipto sendiri tidak melanjutkan pendidikannya karena dia hanya beberapa bulan saja berada di sana kemudian pulang karena sakit. Setelah itu ia aktif kembali di kancah politik Hindia Belanda dengan diangkat sebagai anggota Volksraad oleh pemerintah. [baca kumpulan biografi tokoh Indonesia lainnya]
Sekembalinya dari pembuangan, tiga serangkai tetap berupaya membangun kekuatan IP yang telah berubah menjadi Insulinde (1914). Namun karena Misbach yang menggerakkannya adalah tokoh radikal, maka Insulinde Surakarta berkembang lepas dari kontrol ketiganya. Akibatnya pemerintah melakukan penekanan terhadap partai ini. Pungkasnya terjadi pada 1923, ketika Insulinde telah berganti nama menjadi Nationaal Indische Partai-Sarekat Hindia (NIP-SH), pemerintah melakukan penekanan hingga orang-orang Indo yang bernaung di dalamnya merasa ketakutan dan membubarkannya.
Pada 1923 ketika NIP-SH (perubahan nama IP) bubar, tiga serangkai lebih banyak menghabiskannya dengan terjun di dunia pendidikan. Douwes Dekker, yang telah bekerja sebagai guru di Sekolah Rendah pada September 1922, sepenuhnya sudah aktif dalam dunia pendidikan. Pada 1 Juli 1924 ia mengubah Preanger Instituut menjadi Schoolvereniging het Ksatriaan Instituut dan didaulat sebagai kepala sekolahnya. Tjipto semasa 1914, sekembalinya dari Belanda dan aktif di Volksraad, sempat bergeliat dalam pendirian Kartini Club di Solo. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya ia tidak banyak berkecimpung dalam dunia pendidikan, akibat kesehatannya yang memburuk. Sedangkan Soewardi Soerjaningrat aktif dalam dunia pendidikan dan mendirikan Taman Siswa sebagai jawaban atas kegelisahannya dengan dunia pendidikan Barat. Tiga semboyan yang terkenal darinya yaitu ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani.
------
Referensi
I. Buku
Taufik Rahzen, dkk., Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: I-Boekoe, 2007.
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan (Balai Pustaka), 1993.
MC. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Grafiti Press, 1997.
II. Internet
http://id.wikipedia.org
http://luckymulyadisejarah.wordpress.com
http://www.mail-archive.com
http://www.tokohindonesia.com
http://www.labkom.fk.ui.ac.id
http://tamansiswa.org
Biografi Tiga Serangkai
Adalah E.F.E. Douwes Dekker (1879-1950), Soewardi Soerjaningrat (1889-1959) dan Tjipto Mangoenkoesoemo (1886-1943), yang kerap dikenal dengan sebutan tiga serangkai. Ketiganya merupakan tokoh sentral di dalam Indische Partij (IP) yang berslogan “Hindia untuk Bangsa Hindia”. Dengan tuntutan merdeka dari negeri induknya yaitu Belanda. Tak hanya itu ketiganya merupakan tokoh-tokoh yang secara tajam mengkritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda hingga membuat telinga pemerintah panas-memerah dan mencak-mencak.Sebut saja, artikel Soewardi Soerjaningrat yang berjudul “Als Ik Nederland Was..” (Andai Aku Seorang Belanda) yang dimuat di harian De Express. Ia mengkritik kebijakan pemerintah yang akan merayakan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis dan menolak dengan tegas perayaan tersebut diadakan di Hindia Belanda. Demi membantu sahabatnya itu, sehari kemudian Tjipto Mangoenkoesoemo mendukung pernyataan Soewardi di harian yang sama. Keduanya segera digiring ke penjara atas tuduhan penghasutan melawan pemerintah. Tertangkapnya kedua tokoh itu membuat Douwes Dekker membelanya dengan menyebutnya sebagai pahlawan. Empat hari kemudian Douwes Dekker turut diciduk aparat pemerintahan. Pada Agustus 1913 ketiganya dibuang ke Belanda.
Pembuangan tersebut membawa keuntungan bagi ketiganya. Di Belanda mereka meneruskan sekolah lagi dan tetap aktif di gelanggang politik. Douwes Dekker melanjutkan studinya bidang ilmu sosial dan politik di Universitas Zurich, Belanda, yang berhasil diluluskannya hanya dalam tempo 10 bulan dengan perolehan cumlaude. Soewardi melanjutkan ke ilmu pedagogie (pendidikan) hingga mendapat sertifikasi mengajar. Tjipto sendiri tidak melanjutkan pendidikannya karena dia hanya beberapa bulan saja berada di sana kemudian pulang karena sakit. Setelah itu ia aktif kembali di kancah politik Hindia Belanda dengan diangkat sebagai anggota Volksraad oleh pemerintah. [baca kumpulan biografi tokoh Indonesia lainnya]
Sekembalinya dari pembuangan, tiga serangkai tetap berupaya membangun kekuatan IP yang telah berubah menjadi Insulinde (1914). Namun karena Misbach yang menggerakkannya adalah tokoh radikal, maka Insulinde Surakarta berkembang lepas dari kontrol ketiganya. Akibatnya pemerintah melakukan penekanan terhadap partai ini. Pungkasnya terjadi pada 1923, ketika Insulinde telah berganti nama menjadi Nationaal Indische Partai-Sarekat Hindia (NIP-SH), pemerintah melakukan penekanan hingga orang-orang Indo yang bernaung di dalamnya merasa ketakutan dan membubarkannya.
Pada 1923 ketika NIP-SH (perubahan nama IP) bubar, tiga serangkai lebih banyak menghabiskannya dengan terjun di dunia pendidikan. Douwes Dekker, yang telah bekerja sebagai guru di Sekolah Rendah pada September 1922, sepenuhnya sudah aktif dalam dunia pendidikan. Pada 1 Juli 1924 ia mengubah Preanger Instituut menjadi Schoolvereniging het Ksatriaan Instituut dan didaulat sebagai kepala sekolahnya. Tjipto semasa 1914, sekembalinya dari Belanda dan aktif di Volksraad, sempat bergeliat dalam pendirian Kartini Club di Solo. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya ia tidak banyak berkecimpung dalam dunia pendidikan, akibat kesehatannya yang memburuk. Sedangkan Soewardi Soerjaningrat aktif dalam dunia pendidikan dan mendirikan Taman Siswa sebagai jawaban atas kegelisahannya dengan dunia pendidikan Barat. Tiga semboyan yang terkenal darinya yaitu ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani.
------
Referensi
I. Buku
Taufik Rahzen, dkk., Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: I-Boekoe, 2007.
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan (Balai Pustaka), 1993.
MC. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Grafiti Press, 1997.
II. Internet
http://id.wikipedia.org
http://luckymulyadisejarah.wordpress.com
http://www.mail-archive.com
http://www.tokohindonesia.com
http://www.labkom.fk.ui.ac.id
http://tamansiswa.org
Tag :
Biografi
0 Komentar untuk "Biografi Tiga Serangkai: Kritis karena Benar!"