Seorang pria terbangun dari komanya. Begitu saja, dia tiba-tiba membuka mata.
Pria itu, yang kondisinya tampak mengenaskan, segera menyadari tempatnya berada. Ruang putih, bau obat-obatan, tubuh yang sulit sekali digerakkan. Dia berhasil menebaknya: ‘Ini pasti ruang perawatan,’ gumamnya, ‘Tapi apa yang terjadi padaku?’
Kening pria itu mengernyit. Mencoba mengingat-ingat apa penyebab dirinya bisa berada di tempat sekarang dalam kondisi seperti sekarang. Bukan keping-keping ingatan yang berhasil didapatkannya, melainkan rasa pusing, yang makin lama makin terasa memusingkan. Seolah-olah ada pusara arus besar di gelombang ingatannya.
Seorang wanita cantik masuk ke kamar perawatan tempat pria itu dirawat. Pria itu mengenali wanita itu sebagai wanita yang dicintainya. Yang jadi pertanyaan dirinya: ‘Kenapa dia disini?’ Seingatnya wanita itu sudah memilih pria lain sebagai calon suaminya. Dan itu bukan dirinya.
“Kau membunuhnya!” seru wanita itu ketika sudah tiba di tepi tempat pria itu berbaring.
Pria itu mengernyitkan dahi. “Siapa?” tanyanya kemudian sebagai bentuk reaksi atas pernyataan si wanita.
“Suamiku!”
Pria itu memutar bola matanya. “Suamimu? Kapan kau menikah?” tanyanya.
Si wanita terdiam. Matanya nyalang menatap mata si pria. Membuat pria itu kikuk, salah tingkah.
“Maaf, aku tak ingat,” komentar pria itu, “Apa bukti aku melakukan pembunuhan terhadap suamimu? Jangankan manusia, aku bergidik membunuh tikus.”
“Lalu apa kau juga mau bilang tak ingat apa yang terjadi dengan dirimu?”
“Hmm, kecelakaan?” tanya pria itu, lebih tepatnya menebak, dengan hati-hati.
“Hei, kau tak mengingatnya ya?” Wanita itu mengambil tasnya. Mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Begitu muncul, benda itu terlihat mengilap.
‘Pisau?’ tutur pria itu dengan mata yang menunjukkan keterkejutan. ‘Apa yang mau dia lakukan dengan pisau itu?’
Seolah bisa membaca isi hati pria itu, wanita itu berujar, “Jika kau telah melupakan kejadian itu, aku akan membantumu mengingatnya. Di neraka!”
Wanita itu melompat ke ranjang pria itu, selanjutnya duduk di perut pria itu. Tanpa menunggu lagi, dia memekik: “Laki-laki bangsat! Mati saja kau! Membusuklah di neraka!’’ Wanita itu menaikkan pisau ke atas kepala dengan kedua tangannya.
Pria itu tak berkutik, seluruh tubuhnya tak mau bergerak mengikuti instruksi pikiran. Jadi dia hanya memejamkan mata, berharap bisa mengetahui dosa pembunuhan yang dilakukannya atau setidaknya kematian dirinya bisa berlangsung cepat tanpa dilihatnya.
Namun Tuhan sepertinya mengabulkan harapan pertamanya. Dalam sepersekian detik, ketika lengan wanita itu terayun hendak menghujam dadanya, waktu berhenti. Kemudian waktu membalik.
***
Pria itu menemukan dirinya berada beberapa rumah dari rumah wanita itu.
Pria itu melihat rumah wanita itu ada tenda biru. Pria itu tahu, wanita itu akan menikah dengan pria selain dirinya.
Di kejauhan, pria itu melihat dirinya sendiri. Duduk diatas motor. Tampak terpekur sendirian meratapi nasib yang tak berpihak padanya.
Ketika akhirnya wanita itu dan prianya datang, diri sendiri dari pria itu bereaksi. Menenggak minuman untuk memacu adrenalin. Setelah menyalakan mesin motor diri sendiri dari pria itu segera ngegas dan menabrakkan motor pada pria selain dirinya yang akan menikahi wanita itu. Pria selain dirinya mati seketika. Sementara diri sendiri dari pria itu menabrak pagar rumah orang tapi masih hidup.
Pria itu mengerti sekarang. Waktu menyedot pria itu kembali ke masa sekarang.
***
“Kau membunuhnya!” seru wanita itu ketika sudah tiba di tepi tempat pria itu berbaring.
“Ya, aku membunuhnya,” kata pria itu, “Apa kau datang untuk menuntut balas?”
Wanita itu menangis. Air matanya keluar. Meleleh basahi pipi. “Kau menghilangkan masa depanku.”
Pria itu terdiam. Perasaan bersalah menyelimuti diri. Cinta yang berlebihan membuat orang yang dicintai kesakitan. “Kau bisa membunuhku untuk membalaskan dendam suamimu sekaligus menuntaskan amarahmu. Tak ada yang akan menyalahkanmu. Keluargaku pun tidak. Aku akan membuat pernyataan tertulis mengenai itu.”
Tapi pertanyaan yang dilontarkan wanita itu sungguh di luar dugaan. “Apa kau masih mencintaiku?”
Dengan mata berbinar, pria itu mengiyakan. “Kau tetap menjadi impian masa depanku.”
“Kalau begitu,” kata wanita itu sembari meletakkan tasnya dilantai, “Biar aku hancurkan impian itu. Biar aku bisa berkumpul bersama suamiku lagi.”
Wanita itu melompat keluar jendela kamar perawatan. Terdengar jeritan beberapa orang. Tak lama kemudian, suara sirene terdengar meraung-raung.
Pria itu menatap eternit kamar perawatan. Haruskah dirinya merasa bersyukur, masih diberikan kehidupan?[]
0 Komentar untuk "Jodoh"