Cerpen romantis: surat cinta merah muda

Hidup telah berubah untukku. Aku tak pernah menyadarinya. Berjalan di bawah sinar bulan berubah menjadi rapat bisnis hingga larut malam. Makan malam dengan cahaya lilin berubah menjadi pertemuan bisnis. Panggilan telepon yang manis dan pendek darinya terasa bak telekonferensi berjam-jam yang menjemukan. Hadiah tidak lagi menjadi prioritas sekarang - harus ada pengembalian nyata apa pun yang kita investasikan. Bahkan, sekadar menghabiskan waktu membeli bunga di Hari Valentine sepertinya sudah tidak berarti lagi - aku akan kehilangan waktu minimal setengah jam hanya untuk mencari tempat parkir di toko bunga.

Secara keseluruhan tidak ada jeda dari kantor yang sibuk dan perencanaan masa depan. Setiap kali istriku mencoba mengungkapkan perasaannya, aku telah memiliki template jawaban sebagai tameng yang  sudah ditentukan sebelumnya, "Aku melakukan ini semua demi kita, Sayang".  Dan istriku, setelah mendengar jawaban itu, takkan berbicara macam-macam lagi selama sebulan atau lebih.


Baru-baru ini, aku harus pergi ke Belanda untuk perjalanan bisnis selama seminggu. Aku sedang mengerjakan tugas penting. Aku bahkan tidak punya waktu lima menit untuk berbicara dengan orangtuaku yang menelponku dari rumah.

Aku memberitahu kepada istriku bahwa aku berangkat malam itu. Ini bukan hal baru baginya. Itu terjadi berkali-kali, dan setiap kali, di malam hari, aku menemukannya berdiri di pintu, tersenyum, dengan koper yang penuh dengan semua barang yang diperlukan.

Aku check-in ke Crown Inn di Eindhoven. Waktu masih menunjukkan pukul 3 sore. Aku ingin melatih presentasiku sebelum bertemu manajemen senior. Aku yakin istriku telah menyiapkan materi itu.

Sebelum-belumnya, dia sama sekali tidak pernah melewatkan apa yang kubutuhkan, tidak pernah. Tetapi, emosiku langsung naik, saat membuka tas kerjaku ternyata materi itu tidak ada di sana. Aku berpindah dengan mencari file itu di koper. Kukeluarkan atau lebih tepatnya kulempar pakaian satu per satu di lantai Crown Inn yang nyaman. Dan akhirnya, "Ini dia" phewwww ... sungguh melegakan." Aku menghela nafas. Aku tahu istriku sama tidak pernah melewatkan kebutuhanku, bahkan kebutuhan kecil sekalipun.

Saat aku membuka file itu, aku menemukan sebuah amplop merah muda. Sesuatu yang mirip dengan yang kami gunakan untuk berkomunikasi, dulu saat kami masih berpacaran. Saat itu, internet belum semassif seperti sekarang, dan cinta masih mengandalkan hal-hal manual berbentuk fisik. Itu sudah lebih dari dua belas tahun rupanya.

Aku membuka amplop. Ada foto keluarga kami - aku, istriku, dan dua anak kecil kami. Kami semua tersenyum. Ada kartu ucapan merah muda dengan hati merah tercetak di atasnya. Di dalam kartu, tertulis, "Kami merindukanmu, ayah! Dan aku merindukanmu, beruang maduku!" Hal itu membuat mataku berkaca-kaca. Sekelebat demi sekelebat tahun-tahun yang kami lewati bersama muncul dalam ingatanku.

Di bandara Sukarno-Hatta, ketika turun dari pesawat, aku menyeringai. Akhirnya, setelah bertahun-tahun aku membelikan sesuatu untuknya ... hanya untuknya ... sepasang anting-anting berlian. Dan aku menjadi sangat merindukannya, tidak seperti sebelumnya.[end]
Tag : Cerpen
0 Komentar untuk "Cerpen romantis: surat cinta merah muda"

Back To Top