Setelah kemarin, saya membagikan posting tentang cerita rakyat dari Bali yang berjudul I Siap Selem, maka sekarang kita terbang jauh ke pulau Sumatera, tepatnya Lampung. Dimana, saya akan membagikan cerita rakyat yang berjudul Si Bungsu. Sebelum melanjutkan ke cerita, saya ingin menginformasikan bahwa saya telah memposting artikel cerita rakyat Legenda Desa Trunyan, cerita rakyat Legenda Putri Cina, dan cerita rakyat I Siap Selem. Nah, sekarang silakan membaca cerita rakyat berjudul Si Bungsu.
***
Alkisah, di sebuah perkampungan di daerah Lampung, Indonesia, hiduplah sepasang suami-istri bersama dengan tujuh putrinya. Untuk menghidupi keluarganya, sang Ayah mencari kayu bakar di hutan dan menjualnya ke pasar. Namun, hasil yang diperoleh tidak cukup untuk mereka makan bersama. Mereka tidak pernah makan sampai kenyang. Agar bisa makan kenyang tanpa diganggu oleh anak-anaknya, sang Ayah dan sang Ibu sering menyisihkan makanan untuk mereka makan pada malam harinya, di saat ketujuh putrinya sedang tertidur lelap.
Pada suatu malam, sang Ayah dan sang Ibu sedang asyik menikmati makan malam berdua. Tanpa disadarinya, si Bungsu terbangun dan melihat mereka sedang makan. Si Bungsu pun segera membangunkan kakaknya yang sedang tertidur pulas.
“Kakak-kakak…!” ucap si Bungsu dengan pelan.
Keenam kakaknya pun terbangun. Saat melihat kedua orang tuanya makan, mereka pun ikut makan, sehingga membuat kedua orang tua mereka tidak kenyang. Hal itu membuat mereka kesal dan berniat untuk membuang ketujuh putrinya.
Pada suatu malam, sepasang suami-istri itu bermusyawarah untuk membuang ketujuh putrinya ke hutan yang jauh dari perkampungan. Namun, lagi-lagi si Bungsu terbangun dan mengetahui rencana mereka. Secara diam-diam, si Bungsu pun menyiapkan buah kemiri yang banyak untuk menandai jalan yang akan mereka tempuh saat menuju ke tengah hutan, sehingga ia bersama kakaknya dapat mengetahui jalan pulang ke rumah.
Keesokan harinya, sang Ayah dan sang Ibu mengajak ketujuh putrinya ke hutan dengan alasan untuk membantu mereka mencari kayu bakar. Setibanya di hutan, diam-diam sang Ayah meminta kawanan kera agar menyahut jika anak-anaknya memanggilnya, dan kepada kawanan burung pagut agar mematuk-matuk pohon agar anak-anak mereka mengira ayah dan ibunya masih berada di dalam hutan. Ketika ketujuh bersaudara itu sedang asyik mengumpulkan kayu bakar, sang Ayah mengajak istrinya untuk meninggalkan mereka secara diam-diam.
“Istriku! Ayo kita tinggal hutan ini selagi mereka sibuk mengumpulkan kayu bakar,” bisik sang Ayah ke istrinya.
Akhirnya, mereka meninggalkan hutan itu tanpa sepengetahuan ketujuh putrinya. Beberapa saat kemudian, terdengarlah suara ketujuh putrinya memanggil.
“Ayah… Ibu…! Kalian di mana?” teriak ketujuh anak itu serentak.
Mendengar teriakan itu, kawanan kera pun menyahut dan burung pugut mematuk-matuk pohon. Ketujuh anak itu pun kembali melanjutkan pekerjaannya, karena mengira ayah dan ibu mereka masih berada di hutan itu. Kawanan kera dan burung pagut tersebut terus menyahut dan mematuk pohon. Lama-kelamaan mereka pun kesal dan capek. Ketika ketujuh anak itu kembali berteriak memanggil kedua orang tua meraka, kawanan kera dan burung pagut tersebut hanya diam. Pada saat itulah, ketujuh anak tersebut menyadari bahwa kedua orang tua mereka telah pergi meninggalkan mereka. Anak yang sulung pun bingung, karena tidak mengetahui jalan pulang ke rumah.
“Adik-adikku! Apakah di antara kalian ada yang masih ingat jalan untuk pulang ke rumah?” tanya si Sulung.
“Saya, Kak!” sahut si Bungsu dengan sigap.
“Bagaimana mungkin kamu bisa mengingat jalan pulang, Bungsu? Bukankah hutan ini sangat lebat?” tanya si Sulung.
“Tenang, Kak! Adik sudah menandai jalan dari rumah sampai ke hutan ini dengan kemiri. Kita tinggal mengikuti arah kemiri yang bertebaran di jalan yang telah kita lalui,” ujar si Bungsu.
“Wah… kamu memang cerdas, Adikku!” puji si Sulung sambil tersenyum.
Ketujuh anak itu pun menyusuri jalan yang telah ditandai dengan kemiri oleh si Bungsu. Akhirnya, mereka pun sampai di rumah. Ketika masuk ke rumah, mereka mendapati kedua orang tua mereka sedang makan. Tanpa diajak, mereka segera ikut makan, sehingga kedua orang tuanya kembali merasa tidak kenyang. Sang Ayah dan sang Ibu pun bertambah kesal. Kehadiran ketujuh putrinya tersebut benar-benar membuat mereka resah.
Beberapa hari kemudian, pasangan suami-istri itu kembali berencana untuk membuang ketujuh putrinya ke tengah hutan. Namun, rencana mereka kembali diketahui oleh putri bungsunya. Ketika mereka berangkat ke hutan, si Bungsu membawa biji jagung untuk menandai jalan yang mereka lalui. Sesampainya di hutan, seperti biasanya kawanan kera menyahut-nyahut dan burung pagut mematuk-matuk pohon, dan pada saat itulah sang Ayah dan sang Ibu meninggalkan anak-anaknya.
Ketika ketujuh bersaudara itu kembali berteriak memanggil kedua orang tuanya, kawanan kera dan burung pagut tersebut hanya diam. Akhirnya, ketujuh anak itu sadar bahwa orang tua mereka telah meninggalkan mereka. Namun sial bagi ketujuh anak tersebut, mereka tidak mengetahui jalan pulang ke rumah, karena biji jagung yang telah ditebar oleh si Bungsu di jalan habis dimakan burung. Akhirnya mereka pun tersesat di tengah hutan.
Ketujuh anak bersaudara tersebut berjalan mengikuti ke mana arah kaki mereka melangkah. Setelah beberapa lama berjalan, mereka pun sampai di sebuah ladang yang dihuni oleh dua raksasa suami-istri. Saat itu, mereka melihat kedua raksasa itu sedang mandi di sungai yang terletak di pinggir ladang.
“Hai, tampaknya raksasa itu jahat. Mereka pasti akan memangsa kita jika melihat kita ada di sini,” kata si Sulung.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya anak yang kedua.
“Tenang, Kak! Adik punya cara untuk menaklukkan raksasa itu,” sahut si Bungsu.
“Bagaimana caranya, Bungsu?” tanya si Sulung.
‘Adik akan membuat air sungai itu menjadi gatal dengan kolang-kaling, sehingga tubuh kedua raksasa itu akan terasa gatal-gatal. Ketika itu, mereka pasti akan berlari ke gubuknya. Tapi sebelumnya, kalian harus melepas tali gubuk itu dan membuat perapian di bawahnya. Nah, ketika kedua rakasa itu menaiki gubuk itu, mereka pasti akan jatuh ke dalam api,” jelas si Bungsu.
Setelah mendengar petunjuk si Bungsu, keenam kakaknya itu segera melepas tali gubuk itu dan membuat perapian di bawahnya. Setelah mereka selesai menjalankan tugas, si Bungsu segera mengambil kolang-kaling lalu menggosok-gosokkannya di hulu sungai. Tak berapa lama kemudian, kedua raksasa yang sedang asyik mandi tersebut tiba-tiba merasakan tubuhnya gatal-gatal. Karena tidak tahan menahan rasa gatal, mereka pun berlari menuju ke gubuknya. Tak ayal lagi, ketika menaiki gubuknya, mereka pun terjatuh ke dalam perapian hingga tewas.
Akhirnya, ketujuh anak bersaudara itu pun memutuskan untuk tinggal di daerah itu. Mereka membuat tujuh gubuk dan membagi ladang milik raksasa itu menjadi tujuh bagian. Mereka menanam padi dan bunga-bunga yang harum baunya di ladang masing-masing. Saat tanaman bunga mereka berbunga, ladang mereka kerap didatangi oleh kenui (sejenis burung elang yang berbadan besar). Burung itu ingin membuat sarang dan bertelur di ladang mereka. Dari ketujuh bersaudara tersebut, hanya si Bungsu yang mengizinkan burung itu bersarang di ladang bunganya. Mendapat izin dari si Bungsu, kenui pun segera membuat sarang. Setelah bertelur, burung kenui itu pergi dan tidak pernah kembali lagi.
Pada suatu hari, sepulang dari ladangnya, si Bungsu melihat asap mengepul di dalam gubuknya. Alangkah terkejutnya ia ketika masuk ke dalam gubuknya. Ia melihat seorang pemuda tampan sedang menanak nasi untuknya.
“Maaf, Tuan! Anda siapa dan berasal dari mana?” tanya si Bungsu.
Pemuda itu pun menceritakan asal-usulnya bahwa dirinya keluar dari telur kenui. Akhirnya, mereka pun berkenalan dan saling menyukai. Beberapa bulan kemudian, mereka menikah dan hidup bahagia. Rupanya, pernikahan si Bungsu dengan pemuda itu membuat keenam saudaranya iri dan berniat untuk mencelakai adiknya.
Pada suatu hari, ketika si Bungsu sedang mencuci pakaian di tepi sungai, keenam saudaranya mendorongnya ke sungai. Si Bungsu pun hanyut terbawa arus dan kemudian ditelan oleh seekor ikan besar. Karena kekenyangan, ikan besar itu beristirahat di tepi sungai. Pada saat itu, seorang nenek yang sedang mandi di tepi sungai melihatnya. Tanpa berpikir panjang, sang Nenek pun segera mengambil goloknya dan menghujamkannya ke tubuh ikan itu. Sungguh ajaib, goloknya tidak dapat melukainya. Karena kesal, sang Nenek pun beristirahat di bawah sebuah pohon sambil berpikir mencari cara agar bisa menangkap ikan itu. Saat sedang asyik beristirahat, tiba-tiba ia mendengar seekor burung bernyanyi.
“Bolidang bolidangi pabeli iwa balak,” demikian nyanyian burung itu.
Mulanya, sang Nenek tidak mengerti arti syair lagu yang dinyanyikan burung itu. Setelah menyimak secara seksama, akhirnya ia pun mengerti bahwa untuk memotong ikan itu harus menggunakan daun belidang. Tanpa berpikir panjang, sang Nenek segera mengambil daun belidang yang banyak terdapat di tepi sungai. Dengan daun belidang itu, ia pun berhasil memotong-motong daging ikan itu. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis cantik yang masih hidup keluar dari tubuh ikan itu.
“Hai, Gadis cantik! Kamu siapa dan kenapa bisa berada di perut ikan ini?” tanya nenek itu heran.
Si Bungsu pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia bisa berada dalam perut ikan itu. Sang Nenek sangat terharu mendengar cerita si Bungsu. Karena iba, sang Nenek pun menjadikan si Bungsu sebagai anak angkatnya. Sejak itu, si Bungsu tinggal bersama nenek itu.
Sementara itu di tempat lain, suami si Bungsu kebingungan mencari istrinya. Ia sudah menanyai keenam saudara istrinya, namun tak seorang pun yang mau memberitahukan keberadaan istrinya. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi mencari istrinya dengan menyusuri tepi sungai. Setelah berbulan-bulan berjalan, akhirnya ia menemukan sebuah gubuk di tepi sungai. Ia pun menghampiri gubuk itu untuk menanyakan keberadaan istrinya kepada si pemilik gubuk.
“Permisi, apakah ada orang di dalam?” teriak suami si Bungsu dari luar gubuk.
Tak berapa lama kemudian, tampaklah seorang nenek sedang membuka pintu. Setelah pintu terbuka, nenek itu bertanya kepadanya.
“Ada yang bisa Nenek bantu, Anak Muda?” tanya nenek itu.
Suami si Bungsu pun menceritakan tentang pengembaraannya mencari istrinya yang hilang. Si Bungsu yang mendengar cerita itu dari dalam gubuk menitikkan air mata, karena terharu melihat kesetiaan suaminya. Nenek itu kemudian memberitahu kepada laki-laki itu bahwa di dalam gubuknya ada seorang wanita cantik yang ditemukan dari perut ikan besar beberapa bulan yang lalu.
“Anak Muda! Nenek mempunyai seorang wanita cantik di dalam gubuk ini. Cobalah lihat, barangkali dialah istrimu yang kamu cari itu!” ujar nenek itu.
Sang Nenek pun memanggil si Bungsu agar keluar dari gubuk. Alangkah terkejut dan bahagianya laki-laki itu saat melihat wanita yang keluar dari gubuk itu adalah istrinya. Tanpa ragu-ragu, ia pun segera memeluk istrinya, dan si Bungsu pun membalas pelukan suaminya dengan erat. Sesaat, suasana di gubuk itu menjadi hening. Tak terasa, air mata si Nenek pun bercucuran karena terharu melihat anak angkatnya bisa bertemu kembali dengan suaminya. Begitu pula suami si Bungsu, ia sangat bahagia karena telah menemukan kembali istrinya. Sebelum membawa pulang istrinya, suami si Bungsu tidak lupa berterima kasih kepada si Nenek, karena telah menyelamatkan nyawa istrinya.
“Terima kasih, Nek! Nenek telah merawat istriku dengan baik,” ucap suami si Bungsu.
Setelah itu, sepasang suami-istri itu berpamitan kepada si Nenek. Sesampainya mereka di gubuk, keenam kakaknya datang meminta maaf kepada si Bungsu. Si Bungsu memaafkan mereka, karena sejak awal ia tidak pernah merasa dendam, meskipun keenam kakaknya telah mencelakainya. Sejak itu, si Bungsu hidup berbahagia bersama suaminya dan hidup rukun bersama keenam kakaknya.
***
Demikianlah cerita rakyat berjudul Si Bungsu. Dongeng anak tersebut memberi kita pelajaran bahwa sifat pemaaf dapat menjaga kerukunan dan menjauhkan munculnya bibit permusuhan antar-sesama. Hal ini tampak pada sikap si Bungsu yang dengan rendah hati dan ikhlas mau memaafkan keenam kakaknya yang telah mengianiayanya. Semoga bermanfaat.
***
Alkisah, di sebuah perkampungan di daerah Lampung, Indonesia, hiduplah sepasang suami-istri bersama dengan tujuh putrinya. Untuk menghidupi keluarganya, sang Ayah mencari kayu bakar di hutan dan menjualnya ke pasar. Namun, hasil yang diperoleh tidak cukup untuk mereka makan bersama. Mereka tidak pernah makan sampai kenyang. Agar bisa makan kenyang tanpa diganggu oleh anak-anaknya, sang Ayah dan sang Ibu sering menyisihkan makanan untuk mereka makan pada malam harinya, di saat ketujuh putrinya sedang tertidur lelap.
Pada suatu malam, sang Ayah dan sang Ibu sedang asyik menikmati makan malam berdua. Tanpa disadarinya, si Bungsu terbangun dan melihat mereka sedang makan. Si Bungsu pun segera membangunkan kakaknya yang sedang tertidur pulas.
“Kakak-kakak…!” ucap si Bungsu dengan pelan.
Keenam kakaknya pun terbangun. Saat melihat kedua orang tuanya makan, mereka pun ikut makan, sehingga membuat kedua orang tua mereka tidak kenyang. Hal itu membuat mereka kesal dan berniat untuk membuang ketujuh putrinya.
Pada suatu malam, sepasang suami-istri itu bermusyawarah untuk membuang ketujuh putrinya ke hutan yang jauh dari perkampungan. Namun, lagi-lagi si Bungsu terbangun dan mengetahui rencana mereka. Secara diam-diam, si Bungsu pun menyiapkan buah kemiri yang banyak untuk menandai jalan yang akan mereka tempuh saat menuju ke tengah hutan, sehingga ia bersama kakaknya dapat mengetahui jalan pulang ke rumah.
Keesokan harinya, sang Ayah dan sang Ibu mengajak ketujuh putrinya ke hutan dengan alasan untuk membantu mereka mencari kayu bakar. Setibanya di hutan, diam-diam sang Ayah meminta kawanan kera agar menyahut jika anak-anaknya memanggilnya, dan kepada kawanan burung pagut agar mematuk-matuk pohon agar anak-anak mereka mengira ayah dan ibunya masih berada di dalam hutan. Ketika ketujuh bersaudara itu sedang asyik mengumpulkan kayu bakar, sang Ayah mengajak istrinya untuk meninggalkan mereka secara diam-diam.
“Istriku! Ayo kita tinggal hutan ini selagi mereka sibuk mengumpulkan kayu bakar,” bisik sang Ayah ke istrinya.
Akhirnya, mereka meninggalkan hutan itu tanpa sepengetahuan ketujuh putrinya. Beberapa saat kemudian, terdengarlah suara ketujuh putrinya memanggil.
“Ayah… Ibu…! Kalian di mana?” teriak ketujuh anak itu serentak.
Mendengar teriakan itu, kawanan kera pun menyahut dan burung pugut mematuk-matuk pohon. Ketujuh anak itu pun kembali melanjutkan pekerjaannya, karena mengira ayah dan ibu mereka masih berada di hutan itu. Kawanan kera dan burung pagut tersebut terus menyahut dan mematuk pohon. Lama-kelamaan mereka pun kesal dan capek. Ketika ketujuh anak itu kembali berteriak memanggil kedua orang tua meraka, kawanan kera dan burung pagut tersebut hanya diam. Pada saat itulah, ketujuh anak tersebut menyadari bahwa kedua orang tua mereka telah pergi meninggalkan mereka. Anak yang sulung pun bingung, karena tidak mengetahui jalan pulang ke rumah.
“Adik-adikku! Apakah di antara kalian ada yang masih ingat jalan untuk pulang ke rumah?” tanya si Sulung.
“Saya, Kak!” sahut si Bungsu dengan sigap.
“Bagaimana mungkin kamu bisa mengingat jalan pulang, Bungsu? Bukankah hutan ini sangat lebat?” tanya si Sulung.
“Tenang, Kak! Adik sudah menandai jalan dari rumah sampai ke hutan ini dengan kemiri. Kita tinggal mengikuti arah kemiri yang bertebaran di jalan yang telah kita lalui,” ujar si Bungsu.
“Wah… kamu memang cerdas, Adikku!” puji si Sulung sambil tersenyum.
Ketujuh anak itu pun menyusuri jalan yang telah ditandai dengan kemiri oleh si Bungsu. Akhirnya, mereka pun sampai di rumah. Ketika masuk ke rumah, mereka mendapati kedua orang tua mereka sedang makan. Tanpa diajak, mereka segera ikut makan, sehingga kedua orang tuanya kembali merasa tidak kenyang. Sang Ayah dan sang Ibu pun bertambah kesal. Kehadiran ketujuh putrinya tersebut benar-benar membuat mereka resah.
Beberapa hari kemudian, pasangan suami-istri itu kembali berencana untuk membuang ketujuh putrinya ke tengah hutan. Namun, rencana mereka kembali diketahui oleh putri bungsunya. Ketika mereka berangkat ke hutan, si Bungsu membawa biji jagung untuk menandai jalan yang mereka lalui. Sesampainya di hutan, seperti biasanya kawanan kera menyahut-nyahut dan burung pagut mematuk-matuk pohon, dan pada saat itulah sang Ayah dan sang Ibu meninggalkan anak-anaknya.
Ketika ketujuh bersaudara itu kembali berteriak memanggil kedua orang tuanya, kawanan kera dan burung pagut tersebut hanya diam. Akhirnya, ketujuh anak itu sadar bahwa orang tua mereka telah meninggalkan mereka. Namun sial bagi ketujuh anak tersebut, mereka tidak mengetahui jalan pulang ke rumah, karena biji jagung yang telah ditebar oleh si Bungsu di jalan habis dimakan burung. Akhirnya mereka pun tersesat di tengah hutan.
Ketujuh anak bersaudara tersebut berjalan mengikuti ke mana arah kaki mereka melangkah. Setelah beberapa lama berjalan, mereka pun sampai di sebuah ladang yang dihuni oleh dua raksasa suami-istri. Saat itu, mereka melihat kedua raksasa itu sedang mandi di sungai yang terletak di pinggir ladang.
“Hai, tampaknya raksasa itu jahat. Mereka pasti akan memangsa kita jika melihat kita ada di sini,” kata si Sulung.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya anak yang kedua.
“Tenang, Kak! Adik punya cara untuk menaklukkan raksasa itu,” sahut si Bungsu.
“Bagaimana caranya, Bungsu?” tanya si Sulung.
‘Adik akan membuat air sungai itu menjadi gatal dengan kolang-kaling, sehingga tubuh kedua raksasa itu akan terasa gatal-gatal. Ketika itu, mereka pasti akan berlari ke gubuknya. Tapi sebelumnya, kalian harus melepas tali gubuk itu dan membuat perapian di bawahnya. Nah, ketika kedua rakasa itu menaiki gubuk itu, mereka pasti akan jatuh ke dalam api,” jelas si Bungsu.
Setelah mendengar petunjuk si Bungsu, keenam kakaknya itu segera melepas tali gubuk itu dan membuat perapian di bawahnya. Setelah mereka selesai menjalankan tugas, si Bungsu segera mengambil kolang-kaling lalu menggosok-gosokkannya di hulu sungai. Tak berapa lama kemudian, kedua raksasa yang sedang asyik mandi tersebut tiba-tiba merasakan tubuhnya gatal-gatal. Karena tidak tahan menahan rasa gatal, mereka pun berlari menuju ke gubuknya. Tak ayal lagi, ketika menaiki gubuknya, mereka pun terjatuh ke dalam perapian hingga tewas.
Akhirnya, ketujuh anak bersaudara itu pun memutuskan untuk tinggal di daerah itu. Mereka membuat tujuh gubuk dan membagi ladang milik raksasa itu menjadi tujuh bagian. Mereka menanam padi dan bunga-bunga yang harum baunya di ladang masing-masing. Saat tanaman bunga mereka berbunga, ladang mereka kerap didatangi oleh kenui (sejenis burung elang yang berbadan besar). Burung itu ingin membuat sarang dan bertelur di ladang mereka. Dari ketujuh bersaudara tersebut, hanya si Bungsu yang mengizinkan burung itu bersarang di ladang bunganya. Mendapat izin dari si Bungsu, kenui pun segera membuat sarang. Setelah bertelur, burung kenui itu pergi dan tidak pernah kembali lagi.
Pada suatu hari, sepulang dari ladangnya, si Bungsu melihat asap mengepul di dalam gubuknya. Alangkah terkejutnya ia ketika masuk ke dalam gubuknya. Ia melihat seorang pemuda tampan sedang menanak nasi untuknya.
“Maaf, Tuan! Anda siapa dan berasal dari mana?” tanya si Bungsu.
Pemuda itu pun menceritakan asal-usulnya bahwa dirinya keluar dari telur kenui. Akhirnya, mereka pun berkenalan dan saling menyukai. Beberapa bulan kemudian, mereka menikah dan hidup bahagia. Rupanya, pernikahan si Bungsu dengan pemuda itu membuat keenam saudaranya iri dan berniat untuk mencelakai adiknya.
Pada suatu hari, ketika si Bungsu sedang mencuci pakaian di tepi sungai, keenam saudaranya mendorongnya ke sungai. Si Bungsu pun hanyut terbawa arus dan kemudian ditelan oleh seekor ikan besar. Karena kekenyangan, ikan besar itu beristirahat di tepi sungai. Pada saat itu, seorang nenek yang sedang mandi di tepi sungai melihatnya. Tanpa berpikir panjang, sang Nenek pun segera mengambil goloknya dan menghujamkannya ke tubuh ikan itu. Sungguh ajaib, goloknya tidak dapat melukainya. Karena kesal, sang Nenek pun beristirahat di bawah sebuah pohon sambil berpikir mencari cara agar bisa menangkap ikan itu. Saat sedang asyik beristirahat, tiba-tiba ia mendengar seekor burung bernyanyi.
“Bolidang bolidangi pabeli iwa balak,” demikian nyanyian burung itu.
Mulanya, sang Nenek tidak mengerti arti syair lagu yang dinyanyikan burung itu. Setelah menyimak secara seksama, akhirnya ia pun mengerti bahwa untuk memotong ikan itu harus menggunakan daun belidang. Tanpa berpikir panjang, sang Nenek segera mengambil daun belidang yang banyak terdapat di tepi sungai. Dengan daun belidang itu, ia pun berhasil memotong-motong daging ikan itu. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis cantik yang masih hidup keluar dari tubuh ikan itu.
“Hai, Gadis cantik! Kamu siapa dan kenapa bisa berada di perut ikan ini?” tanya nenek itu heran.
Si Bungsu pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia bisa berada dalam perut ikan itu. Sang Nenek sangat terharu mendengar cerita si Bungsu. Karena iba, sang Nenek pun menjadikan si Bungsu sebagai anak angkatnya. Sejak itu, si Bungsu tinggal bersama nenek itu.
Sementara itu di tempat lain, suami si Bungsu kebingungan mencari istrinya. Ia sudah menanyai keenam saudara istrinya, namun tak seorang pun yang mau memberitahukan keberadaan istrinya. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi mencari istrinya dengan menyusuri tepi sungai. Setelah berbulan-bulan berjalan, akhirnya ia menemukan sebuah gubuk di tepi sungai. Ia pun menghampiri gubuk itu untuk menanyakan keberadaan istrinya kepada si pemilik gubuk.
“Permisi, apakah ada orang di dalam?” teriak suami si Bungsu dari luar gubuk.
Tak berapa lama kemudian, tampaklah seorang nenek sedang membuka pintu. Setelah pintu terbuka, nenek itu bertanya kepadanya.
“Ada yang bisa Nenek bantu, Anak Muda?” tanya nenek itu.
Suami si Bungsu pun menceritakan tentang pengembaraannya mencari istrinya yang hilang. Si Bungsu yang mendengar cerita itu dari dalam gubuk menitikkan air mata, karena terharu melihat kesetiaan suaminya. Nenek itu kemudian memberitahu kepada laki-laki itu bahwa di dalam gubuknya ada seorang wanita cantik yang ditemukan dari perut ikan besar beberapa bulan yang lalu.
“Anak Muda! Nenek mempunyai seorang wanita cantik di dalam gubuk ini. Cobalah lihat, barangkali dialah istrimu yang kamu cari itu!” ujar nenek itu.
Sang Nenek pun memanggil si Bungsu agar keluar dari gubuk. Alangkah terkejut dan bahagianya laki-laki itu saat melihat wanita yang keluar dari gubuk itu adalah istrinya. Tanpa ragu-ragu, ia pun segera memeluk istrinya, dan si Bungsu pun membalas pelukan suaminya dengan erat. Sesaat, suasana di gubuk itu menjadi hening. Tak terasa, air mata si Nenek pun bercucuran karena terharu melihat anak angkatnya bisa bertemu kembali dengan suaminya. Begitu pula suami si Bungsu, ia sangat bahagia karena telah menemukan kembali istrinya. Sebelum membawa pulang istrinya, suami si Bungsu tidak lupa berterima kasih kepada si Nenek, karena telah menyelamatkan nyawa istrinya.
“Terima kasih, Nek! Nenek telah merawat istriku dengan baik,” ucap suami si Bungsu.
Setelah itu, sepasang suami-istri itu berpamitan kepada si Nenek. Sesampainya mereka di gubuk, keenam kakaknya datang meminta maaf kepada si Bungsu. Si Bungsu memaafkan mereka, karena sejak awal ia tidak pernah merasa dendam, meskipun keenam kakaknya telah mencelakainya. Sejak itu, si Bungsu hidup berbahagia bersama suaminya dan hidup rukun bersama keenam kakaknya.
***
Demikianlah cerita rakyat berjudul Si Bungsu. Dongeng anak tersebut memberi kita pelajaran bahwa sifat pemaaf dapat menjaga kerukunan dan menjauhkan munculnya bibit permusuhan antar-sesama. Hal ini tampak pada sikap si Bungsu yang dengan rendah hati dan ikhlas mau memaafkan keenam kakaknya yang telah mengianiayanya. Semoga bermanfaat.
Silakan ke kumpulan cerita rakyat Indonesia untuk membaca artikel lain.
Tag :
Cerita Rakyat,
Sumatera Selatan
2 Komentar untuk "Cerita Rakyat Indonesia #70: Si Bungsu"
thanks atas artikelnya...
@SEO > masama