Seorang laki-laki bernama Lahilote tinggal tak jauh dari mata air. Pekerjaannya adalah pencari rotan di hutan. Suatu hari, dia melihat tujuh bidadari mandi di sungai. Suara canda tawa mereka terdengar sampai kejauhan. Saat mereka sedang mandi, Lahilote mengambil selendang salah satu bidadari, lalu menyembunyikannya di suatu tempat.
Ketuju bidadari itu menyadari ada seseorang yang mengintipnya. Lalu, mereka bergegas mengambil selendang masing-masing dan terbang ke kahyangan. Namun, satu di antara mereka tidak menemukan selendangnya karena disembunyikan Lahilote.
Lahilote mendekati bidadari yang kehilangan selendangnya dan menawarkan bantuannya supaya si bidadari tinggal di rumahnya. Lama mereka tinggal bersama, akhirnya keduanya saling jatuh cinta dan menikah.
Namun, beberapa waktu setelah mereka menikah, istri Lahilote menemukan selendangnya dalam sebuah tabung bambu. Gembira betul dia. Kemudian, dia pun terbang ke kahyangan.
Sementara itu, Lahilote yang baru pulang dari mencari rotan di hutan terkejut istri dan selendang dalam bambu sudah tidak ada lagi. Dia benar-benar gundah. Seorang Polahi, suku yang tinggal di tengah hutan hadir di hadapannya - lalu datang membawa sebuah rotan hutiya mala. Polahi berkata, "Rotan ini akan memandung ke kahyangan. Temukan istrimu di sana."
Lahilote pergi ke kahyangan dan bertemu istrinya. Di kahyangan mereka berdua kembali bersatu. Pada suatu kesempatan mereka berdua sedang asyik berbicara. Lahilote duduk di sebatang kayu, sementara istrinya sibuk mencari kutu di kepala Lahilote. Saat itulah, dia terkejut melihat uban di kepala suaminya. Dia ingat aturan bahwa seorang yang beruban tidak boleh tinggal di istana. Lahilote bertanya, "Kenapa tidak boleh apa alasannya? Bukankah kamu mencintaiku?"
"Apalah arti cinta kalau kamu sudah beruban? Apalah artinya sebuah kahyangan kalau kamu tinggal bayangan?"
Lahilote tidak menyangka akibat yang diterima sungguh berat. Dia pun turun ke bumi dengan sebilah papan. Dia benar-benar terpukul atas peristiwa itu. Maka, dia bersumpah, "Sampai senja usiaku, berbatas pantai Pohe berujung kain kafan, telapak kakiku akan terpatri di sana sepanjang zaman." [CJ]
Ketuju bidadari itu menyadari ada seseorang yang mengintipnya. Lalu, mereka bergegas mengambil selendang masing-masing dan terbang ke kahyangan. Namun, satu di antara mereka tidak menemukan selendangnya karena disembunyikan Lahilote.
Lahilote mendekati bidadari yang kehilangan selendangnya dan menawarkan bantuannya supaya si bidadari tinggal di rumahnya. Lama mereka tinggal bersama, akhirnya keduanya saling jatuh cinta dan menikah.
Namun, beberapa waktu setelah mereka menikah, istri Lahilote menemukan selendangnya dalam sebuah tabung bambu. Gembira betul dia. Kemudian, dia pun terbang ke kahyangan.
Sementara itu, Lahilote yang baru pulang dari mencari rotan di hutan terkejut istri dan selendang dalam bambu sudah tidak ada lagi. Dia benar-benar gundah. Seorang Polahi, suku yang tinggal di tengah hutan hadir di hadapannya - lalu datang membawa sebuah rotan hutiya mala. Polahi berkata, "Rotan ini akan memandung ke kahyangan. Temukan istrimu di sana."
Lahilote pergi ke kahyangan dan bertemu istrinya. Di kahyangan mereka berdua kembali bersatu. Pada suatu kesempatan mereka berdua sedang asyik berbicara. Lahilote duduk di sebatang kayu, sementara istrinya sibuk mencari kutu di kepala Lahilote. Saat itulah, dia terkejut melihat uban di kepala suaminya. Dia ingat aturan bahwa seorang yang beruban tidak boleh tinggal di istana. Lahilote bertanya, "Kenapa tidak boleh apa alasannya? Bukankah kamu mencintaiku?"
"Apalah arti cinta kalau kamu sudah beruban? Apalah artinya sebuah kahyangan kalau kamu tinggal bayangan?"
Lahilote tidak menyangka akibat yang diterima sungguh berat. Dia pun turun ke bumi dengan sebilah papan. Dia benar-benar terpukul atas peristiwa itu. Maka, dia bersumpah, "Sampai senja usiaku, berbatas pantai Pohe berujung kain kafan, telapak kakiku akan terpatri di sana sepanjang zaman." [CJ]
Tag :
Cerita Rakyat,
Sulawesi Utara
0 Komentar untuk "Cerita Rakyat Indonesia #9 - Batu Tapak Kaki Lahilote"