Kesusasteraan Indonesia di ranah cerita rakyat memang sangat kaya. Postingan kali ini merupakan cerita rakyat dari tanah Papua. Yang mengisahkan tentang seorang pemuda bernama Mamle. Bagaimana kisahnya?
***
Di tanah Papua, ada seorang anak bernama Mamle. Dia dikenal sebagai anak yang rajin dan patuh kepada ibunya. Menyiangi rumput, mencari kayu, membuka ladang baru, hanyalah sebagian kecil dari kegiatannya sehari-hari. Walaupun terbantu dengan kehadiran Mamle, ibunya merasa was-was tiap kali Mamle pergi ke hutan sendiri. Maklum saja, hutan Papua masih banyak yang "p*rawan". Namun, Mamle selalu berhasil meyakinkan ibunya bahwa ia akan baik-baik saja. Sifat ini terus berlanjut hingga Mamle dewasa.
Yang menjadi pukulan paling berat bagi Mamle adalah kematian ibunya di suatu pagi. Selama berhari-hari, Mamle murung. Ia sebatang kara sekarang. Ayahnya sudah tiada sejak ia masih didalam kandungan.
Melihat keponakannya galau hati, paman Mamle datang memberi penghiburan. Ia mengatakan bahwa ada hal baik yang dapat dilakukan Mamle di dunia ini selain galau. Kata-kata pamannya masuk ke dalam sanubari Mamle sehingga ia pun move on. Salah satu hal yang pertama dilakukan Mamle adalah membetulkan honai peninggalan orang tuanya. Kemudian mengadakan pesta.
Banyak pemuda-pemudi datang ke rumah Mamle. Diantara para tamu ada dua orang dari Suku Sandrafe. Mereka diam-diam menaruh hati pada Mamle, sayangnya mereka bersaudara. Dan seperti adat disana, tidak boleh ada perkawinan satu saudara. Mamle tidak menghiraukan hal itu, karena memang tidak ada hati ia untuk kedua gadis itu.
Tapi tidak bagi pemuda yang menaruh hati pada salah seorang diantara gadis Suku Sandrafe. Gara-gara itu, Mamle diserang di tengah-tengah pesta. Merasa tidak bersalah, Mamle pergi ke dalam hutan. Para pemuda itu pun juga mengejar mereka. Karena posisi yang tidak enak, Mamle mencari akal untuk meloloskan dirinya.
Dipanjatlah pohon nira dan menoreh getahnya. Tidak lupa juga mengambil air niranya. Getah dan air nira tersebut ditampung ke dalam bambu untuk menghasilkan efek mabuk.
Ketika para pemuda yang emosi itu datang, Mamle berpura-pura menyerahkan diri dan mengajukan damai dengan minuman nira. Entah kebodohan, entah kehausan. Yang jelas para pemuda itu menerima ajakan damai dari Mamle.
Begitu minum, mabuklah mereka. Mamle pun hendak membunuh mereka. Tapi, tidak jantan berhadapan dengan lawan yang tidak sadarkan diri. Dengan hati nurani yang memberontak, Mamle pergi menjauh dari para pemuda itu.
***
Ya, demikianlah cerita rakyat dari tanah Papua ini. Pada awalnya saya merasa janggal dengan cerita ini. Pertama, alur cerita ini tidak nyambung. Kedua, apa ada cerita rakyat Papua seperti ini, saya baru membacanya [source]. Tapi, lantaran hal yang kedua tidak bisa saya buktikan. Maka, saya lebih memilih untuk memercayai bahwa ada cerita rakyat seperti ini, hanya saya membenahi beberapa alur yang sempat membuat kening saya berkernyit-kernyit. Semoga membantu.
***
Di tanah Papua, ada seorang anak bernama Mamle. Dia dikenal sebagai anak yang rajin dan patuh kepada ibunya. Menyiangi rumput, mencari kayu, membuka ladang baru, hanyalah sebagian kecil dari kegiatannya sehari-hari. Walaupun terbantu dengan kehadiran Mamle, ibunya merasa was-was tiap kali Mamle pergi ke hutan sendiri. Maklum saja, hutan Papua masih banyak yang "p*rawan". Namun, Mamle selalu berhasil meyakinkan ibunya bahwa ia akan baik-baik saja. Sifat ini terus berlanjut hingga Mamle dewasa.
Yang menjadi pukulan paling berat bagi Mamle adalah kematian ibunya di suatu pagi. Selama berhari-hari, Mamle murung. Ia sebatang kara sekarang. Ayahnya sudah tiada sejak ia masih didalam kandungan.
Melihat keponakannya galau hati, paman Mamle datang memberi penghiburan. Ia mengatakan bahwa ada hal baik yang dapat dilakukan Mamle di dunia ini selain galau. Kata-kata pamannya masuk ke dalam sanubari Mamle sehingga ia pun move on. Salah satu hal yang pertama dilakukan Mamle adalah membetulkan honai peninggalan orang tuanya. Kemudian mengadakan pesta.
Banyak pemuda-pemudi datang ke rumah Mamle. Diantara para tamu ada dua orang dari Suku Sandrafe. Mereka diam-diam menaruh hati pada Mamle, sayangnya mereka bersaudara. Dan seperti adat disana, tidak boleh ada perkawinan satu saudara. Mamle tidak menghiraukan hal itu, karena memang tidak ada hati ia untuk kedua gadis itu.
Tapi tidak bagi pemuda yang menaruh hati pada salah seorang diantara gadis Suku Sandrafe. Gara-gara itu, Mamle diserang di tengah-tengah pesta. Merasa tidak bersalah, Mamle pergi ke dalam hutan. Para pemuda itu pun juga mengejar mereka. Karena posisi yang tidak enak, Mamle mencari akal untuk meloloskan dirinya.
Dipanjatlah pohon nira dan menoreh getahnya. Tidak lupa juga mengambil air niranya. Getah dan air nira tersebut ditampung ke dalam bambu untuk menghasilkan efek mabuk.
Ketika para pemuda yang emosi itu datang, Mamle berpura-pura menyerahkan diri dan mengajukan damai dengan minuman nira. Entah kebodohan, entah kehausan. Yang jelas para pemuda itu menerima ajakan damai dari Mamle.
Begitu minum, mabuklah mereka. Mamle pun hendak membunuh mereka. Tapi, tidak jantan berhadapan dengan lawan yang tidak sadarkan diri. Dengan hati nurani yang memberontak, Mamle pergi menjauh dari para pemuda itu.
***
Ya, demikianlah cerita rakyat dari tanah Papua ini. Pada awalnya saya merasa janggal dengan cerita ini. Pertama, alur cerita ini tidak nyambung. Kedua, apa ada cerita rakyat Papua seperti ini, saya baru membacanya [source]. Tapi, lantaran hal yang kedua tidak bisa saya buktikan. Maka, saya lebih memilih untuk memercayai bahwa ada cerita rakyat seperti ini, hanya saya membenahi beberapa alur yang sempat membuat kening saya berkernyit-kernyit. Semoga membantu.
Tag :
Cerita Rakyat,
Papua
1 Komentar untuk "Cerita Rakyat Indonesia #88: Mamle"
ohh ternyata begitu ya.. keren dah papua