Ada yang tahu dengan Watu Maladong?
Menurut sumber yang saya baca, Watu Maladong ada di sebuah pantai Nusa Tenggara Timur. Foto-foto yang saya browsing batu ini sangatlah menarik. Batu-batu itu memiliki cerita rakyat indonesia tersendiri. Bagaimana cerita rakyat Indonesia tentang Watu Maladong? Baca saja yuk...
***
Di Sumba, Nusa Tenggara Timur, ada seorang petani. Sebut saja petani ini, Pak Tani (lebih memudahkan kita :)). Sudah berapa malam ini Pak Tani kesal. Bagaimana tidak? Tanaman yang dengan segenap hati telah dirawatnya ditemukan dalam keadaan rusak acak-acakan. Saat mengamati, ia tahu kalau ini kelakuan babi hutan. Padahal, kebun Pak Tani sudah dibuatkan pagar pembatas tinggi supaya tidak ada pengganggu. Makanya, Pak Tani memutuskan untuk menunggui kebun pada malam harinya, berbekal tongkat sakti warisan leluhur bernama Numbu Ranggata.
Dugaan Pak Tani memang benar. Tepat tengah malam, sekawanan babi datang. Anehnya, mereka mampu menembus pagar pembatas kebun seperti jalan biasa. Pak Tani masih menunggu di balik tempat persembunyiannya. Begitu makan babi itu makan, Pak Tani keluar sambil membidik salah satu babi dengan Numbu Ranggata. Tembuslah perut si babi. Bukannya menggelepar, si babi lari terus. Celakanya, Numbu Ranggata terbawa oleh si babi.
Pak Tani mengikuti jejak darah yang tertinggal di tanah. Sampai di pinggir pantai, jejak darah yang tertinggal di tanah. Sampai di pinggir pantai, jejak darah tersebut menghilang. Pak Tani sempat kebingunan ke mana lari si babi. Di saat seperti itu, seekor penyu berusia ratusan tahun menghampiri Pak Tani.
"Sedang apa kamu?" tanya si Penyu.
"Apa kamu melihat sekawanan babi liar di sekitar sini?" sahut Pak Tani.
"Naiklah ke punggungku, biar kubawa kamu ke tempat mereka."
Pak Tani naik ke punggung si Penyu dan diantar ke pulau seberang. Bertemulah ia dengan seorang nenek. Kepada nenek itu, Pak Tani menceritakan apa yang menjadi ihwal ia ke pulau tersebut.
Si nenek mengatakan bahwa ia mengetahui si babi, yang ternyata adalah babi jadi-jadian. "Mereka sekelompok manusia berilmu gaib," kata si nenek, "Orang-orang itu yang menguasai pulau ini."
Sayangnya, Pak Tani merasa tidak siap dengan ilmu-ilmuan. Tombak Numbu Ranggata tidak berada di tangannya. Beruntung si nenek, bersedia menurunkan beberapa ilmunya.
***
Kepala suku penguasa pulau dikabarkan tengah sakit. Perutnya terus mengeluarkan darah. Pak Tani yang mendengar hal tersebut segera datang menemui kepala suku. Dan ia meminta izin untuk mengobati perut kepala suku.
"Aku akan menyembuhkanmu dengan dua syarat!" kata Pak Tani.
"Apa itu?" tanya kepala suku.
"Kembalikan tombak yang mengenai perutmu, itu tombakku yang diwariskan secara turun-temurun."
Kepala suku terkejut mendengar hal tersebut, ia tidak menyangka Pak Tani mengetahui tentang hal tersebut.
"Kedua, aku minta watu maladong milikmu, karena rakyat kami membutuhkannya untuk menanam palawija dan membuat mata air."
Tambah terkejutlah kepala suku. Tapi, sebagai seorang pemimpin ia mencoba bersikap tenang. Dalam ketenangannya itu, ia berkata, "Untuk yang pertama, aku akan memberikannya setelah kamu mengobati lukaku. Untuk yang kedua, aku akan memberikannya setelah kamu beradu kesaktian denganku."
"Baiklah," ujar Pak Tani menyanggupi penawaran itu.
Pak Tani pun menyembuhkan kepala suku tersebut dengan ramuan ajaib. Dan setelah sembuh, kepala suku memberikan tombak Numbu Ranggata. Pertarungan sengit di antara keduanya pun terjadi. Namun, akhirnya kepala suku kalah dan menyerahkan watu maladong miliknya.
***
Demikianlah cerita rakyat Indonesia tentang Watu Maladong.
Tag :
Cerita Rakyat,
Nusa Tenggara Timur
0 Komentar untuk "Cerita Rakyat Indonesia #94: Watu Maladong"