Cerita Rakyat Indonesia #107: Kisah Telu Pak

Cerita rakyat Indonesia yang hendak saya kisahkan berikut ini berkutat di seorang tokoh bernama Buyung. Selama hidupnya, Buyung selalu hidup enak dan segala kebutuhannya terpenuhi. Namun, itu justru menjadikannya pemalas dan manja sehingga ia tidak bisa bekerja, selain memboros-boroskan uang orangtuanya. Ketika orangtuanya meninggal, baru Buyung menyadari kalau gara-gara boros, hidupnya menjadi menderita. Lebih-lebih ketika duit yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya mulai menipis. Bagaimana kelanjutan dari cerita rakyat ini?

Cerita Rakyat Telu Pak

Tersebutlah dulu di daerah Lampung pernah hidup seorang anak manja bernama Buyung. Semua yang diinginkan Buyung selalu dituruti oleh kedua orang tuanya. Alhasil, ia menjadi anak pemalas dan manja. Sifat ini terus berlanjut sampai Buyung dewasa dan menikah dengan seorang perempuan cantik. Tapi, karena masih memiliki kedua orangtua, Buyung tetap tenang.

Permasalahannya, kedua orangtua Buyung tidak hidup selamanya. Suatu ketika mereka meninggal dunia lantaran sakit. Tak tanggung-tanggung, penyakit tersebut menyerang kedua orangtuanya sekaligus. Jadilah, Buyung ditinggal mereka berdua sekaligus. Saat itu Buyung tetap tenang. Toh, sebagai anak tunggal, ia mewarisi seluruh harta kedua orangtuanya dan berpikiran bahwa harta peninggalan orangtuanya tidak akan habis dimakan tujuh turunan.

Dasar si Buyung. Setelah kematian kedua orangtuanya pun, ia tetap tidak melakukan apapun untuk menambah atau setidaknya mempertahankan harta orangtuanya. Yang dilakukan justru membuang-buang uang saja. Alhasil, harta yang seharusnya cukup dimakan tujuh turunan, ludes tanpa sisa dalam beberapa tahun. Inilah yang kemudian membuat si Buyung bingung bukan alang kepalang.

Istri si Buyung berbincang dengan suaminya, dan memberikan solusi kepadanya untuk berguru. “Sebaiknya Abang pergi merantau dan berguru kepada orang-orang pandai. Siapa tahu mereka dapat membantu kita bisa keluar dari penderitaan ini.”

Buyung pun menyetujui usulan tersebut. Apa yang dikatakan istrinya benar. Maka, ia pun merantau untuk berguru pada seseorang di luar daerahnya. Sesampainya di rumah seorang guru, ia sampaikan permasalahan hidup yang tengah membelitnya. Sang guru memberinya satu nasihat yang harus ia jalankan.

“Angon sukhhok bidi cutiku. Artinya, kalau mengerjakan sesuatu yang baik, meskipun hati enggan, kamu harus memaksakan diri melakukannya. Pelajaran ini harus kamu terapkan selama tiga bulan dan niscaya hidupmu akan berubah.”

Setelah mendapat nasihat tersebut si Buyung pulang ke kampung halaman dan mempraktikkan nasihat sang guru. Tapi, setelah tiga bulan, hidup Buyung tetap sama. Ia kecewa, tapi sang istri mendorongnya untuk pergi berguru ke tempat lain. Pergilah, ia ke guru yang lain.

Ia pun mendapat nasihat dari guru keduanya, “Angon tilansu sepak cutik. Artinya, jangan terlalu berangan-angan pada sesuatu yang tidak masuk akal.”

Sama seperti guru pertama, guru kedua itu menyuruhnya mempraktikkan nasihatnya selama tiga bulan. Setelah itu, hidup si Buyung tetap sama. Sang istri memintanya untuk berguru lagi.

Pada guru ketiga, si Buyung diberi nasihat. “Cawani babai mak dapok titukhutkan, bila ditukhut kon cadang pendirianmu. Artinya, perkataan perempuan sebaiknya jangan dituruti, bila semua dituruti akan rusak pendirianmu,” titah gurunya yang ketiga.

Tapi, tetap saja tidak ada perubahan berarti pada hidup si Buyung. Karena, ingin berubah hidupnya, si Buyung berguru lagi pada guru keempat. Oleh guru keempatnya, ia mendapat nasihat. “Kiwat kilu tulung tengah bingi semawas mak dapok ditulak. Artinya, jika ada orang yang meminta pertolongan pada tengah malam atau dini hari sekalipun, jangan ditolak,” kata sang guru, “Jika kamu mengamalkan ajaran ini dengan sungguh-sungguh, niscaya hidupmu akan bahagia. Tapi ingat, setelah berguru kepadaku, kuharap kamu tidak berguru lagi kepada orang lain. ”

Buyung pun kembali ke kampungnya dengan perasaan yakin—yakin berhasil dengan apa yang telah didapatnya selama ini. Sejak saat itu, ia memutuskan untuk mengganti namanya menjadi Telu Pak (Telu = tiga, Pak = empat), yang berarti ia orang yang telah berguru kepada tiga sampai empat orang guru. 

Telu Pak Menemukan Sinar

Di suatu tengah malam, saat Telu Pak dan istrinya tertidur pulas, seseorang datang ke rumahnya. Ternyata yang datang adalah seorang prajurit istana, yang membawa seonggok jenazah. Ia meminta Telu Pak untuk menguburkannya dengan layak, sementara ia kembali ke istana. Awalnya, Telu Pak enggan, namun teringat nasihat gurunya yang terakhir dan langsung mengiyakan. Sambil menggerutu, Telu Pak mencari tanah lapang untuk menguburkan jenazah. Dalam beberapa kali cangkulan, dari dalam tanah memancar sinar yang terang sekali. Sinar tersebut dipakai Telu Pak untuk membantunya dalam penerangan. Setelah selesai, ia membawa pulang sinar tersebut dan diletakkannya di bawah jendela di depan rumah.

Sesampainya di rumah, sang istri yang melihat Telu Pak membawa sinar segera bertanya, “Apa itu, Pak?”

“Entahlah, aku menemukan ini saat aku menguburkan jenazah tadi,” sahut Telu Pak.

Sang istri segera melihat sinar dari tangan Telu Pak. “Ini kan batu intan! Harganya pasti mahal.”

“Benarkah?”

“Kalau tidak percaya, besok kita bawa ke pedagang untuk dinilai.”

***

Keesokan harinya, Telu Pak beserta istrinya menemui seorang pedagang dan bertanya mengenai sinar yang ditemukannya semalam. Si pedagang meyakini bahwa sinar tersebut adalah intan.

“Saya mau menukar intan itu dengan toko milik saya ini,” tawar si pedagang itu.

Telu Pak dan istrinya senang mendengar hal tersebut. Namun, ia mesti meminta tandatangan kesepakatan kepada rajanya. Kedua pihak tersebut sama-sama mendatangi Sang Raja. Di istana, Telu Pak ditanyai oleh Sang Raja.

“Wahai Telu Pak, saya mendengar kamu memiliki batu intan, benarkah itu?”

“Benar, Paduka. Hal inilah yang menjadi maksud kedatangan hamba kemari.”

“Saya memiliki batu yang serupa dengan batu intan milikmu. Ketahuilah bahwa batu itu hanyalah anak, dan punya saya adalah ibunya. Jadi, bisa dipastikan kalau batu yang kamu miliki adalah milik saya.”

“Maaf, Paduka, saya tidak mencuri milik Paduka. Saya mendapatkan batu intan ini di tempat yang jauh dari istana. Jadi, mana mungkin batu intan ini milik Paduka? Tapi, jika Paduka tidak mempercayainya, marilah kita letakkan bersama-sama batu ini di lantai. Jika batu milik saya mendekat ke batu milik paduka, silakan ambil batu tersebut. Sebaliknya, jika batu milik saya tidak mendekat ke batu milik Paduka, tolong tandatangani kesepakatan antara saya dengan pedagang ini.”

Raja setuju usulan tersebut. Kedua orang itu sama-sama meletakkan batunya masing-masing di lantai. Apa yang terjadi? Tidak terjadi apa-apa. Dua batu tetap diam tak bergerak.

“Baiklah, Paduka, saya rasa cukup. Batu saya tidak tertarik ke batu Paduka. Sehingga, dalam hal ini, saya benar dan menang.”

Dengan muka yang masam, Raja akhirnya menandatangani kesepakatan antara Telu Pak dengan pedagang. Akhirnya, Telu Pak memiliki sebuah toko. Berbekal nasihat-nasihat dari guru-gurunya yang lain, Telu Pak menjalankan tokonya hingga besar.

Baca lainnya dari kumpulan cerita rakyat Indonesia…
0 Komentar untuk "Cerita Rakyat Indonesia #107: Kisah Telu Pak"

Back To Top