Senja menjelang. Sinar matahari yang mulai lelah menerobos masuk melalui celah-celah ventilasi dan membentuk bayang dari lipatan-lipatan kelambu jendela kamarku. Mataku menyipit. Silau. Aih, matahari sudah hendak tidur. Sudah berapa lama aku melamun sendiri?
Sepertinya lamunanku sudah bermil-mil jauhnya. Sementara suara tenor lembut milik Andrea Bocelli* masih tetap mengalun dari laptopku. Entah sudah berapa kali lagu-lagu itu me-repeat. Lagu-lagu penuh falsetto** yang mengiringi perjalanan lamunanku yang panjang. Dan lagu-lagu itu mengantarku pada satu titik yang membuatku ingin menemukan lorong waktu untuk kembali ke masa lalu. Aku ingin berlari melintasinya. Berlari dengan kencang. Secepatnya menolongmu sebelum kau terjatuh. Dan terbebas dari utang penyesalan hari ini.
Ah, Awan. Mengapa siang tadi kita harus bertemu?
***
Siang hari yang di sebuah kafe ber-wifi. Ketika aku menapaki teras kafe itu aku melihatmu duduk sendiri melamun di meja pojok ruangan dengan segelas Lemon Tea. Melihatmu, membuat saraf refleksku memberikan komando untuk segera menyapa. Tapi kemudian aku terpaku sejenak. Ada perasaan yang menahan. Kuputuskan untuk mengambil tempat yang strategis agar bisa mengamatimu lebih lama tanpa ketahuan olehmu. Dan aku memilih meja yang berseberangan denganmu. Agak jauh sedikit,tapi mataku masih jelas menangkapmu dari balik laptopku.
Kulihat ada sedikit perubahan pada sosokmu. Rambut hitammu kau selingi dengan cat merah tembaga. Dan ada anting perak kecil di kedua telingamu. Kau menindik telingamu. Selebihnya tidak ada yang berubah. Gaya necis-mu dalam berpakaian masih seperti dulu. Wajahmu masih tetap selalu segar dan terawat. Raut wajah itu juga sama. Masih mengguratkan keramahan. Bibir yang sama. Bibir tipis yang seolah selalu tampak tersenyum. Mata itupun masih memancarkan kelembutan dan begitu teduh. Tetapi tatapan itu... Tatapan yang sama saat terakhir aku melihatmu di bangku SMU. Tatapan yang menerawang jauh, bias, dan nanar. Tatapan yang selalu membuatku merasa bersalah pada diriku sendiri.
Kau tersadar dari lamunanmu ketika handphonemu berbunyi. Ada telepon. Dan aku kenal dengan lagu yang kau jadikan ringtone. Itu bagian chorus ‘Con te Partiro’ milik Andrea Bocelli. Aku senang kau masih menyukainya. Setidaknya aku tidak kehilangan teman untuk berbagi.
“Halo? Oh! 30 menit lagi? Ok, aku tunggu di kafe biasa!” Suaramu terdengar samar. Tetapi aku bisa mendengarnya. Kau menunggu seseorang. Tiga puluh menit lagi. Masih cukup lama untuk sebuah penantian. Kumatikan laptop dan kubawa segelas float yang kupesan ke mejamu. Aku ingin sedikit bernostalgia. Mungkin saja kali ini aku mendapatkan jalan untuk mengobati rasa bersalahku. Mungkin saja pertemuan ini membawa kabar gembira.
“Hai! Boleh join sebentar?”
“Kamu???” kau tercengang dan mencoba menebak-nebak siapa aku. Hei! Waktu tiga tahun sudah membuatmu lupa namaku!
“Aku Malika! Dulu kita pernah satu kelas di SMU.”
“Oh! Iya,aku ingat! Malika...”
“Jadi bagaimana? Boleh aku duduk di sini sebentar saja? Aku tahu kau menunggu seseorang, jadi aku tidak akan lama-lama,” aku mencoba memastikan.
“Tentu, silakan!” jawabmu ceria. Nada bicaramu dari dulu memang menyenangkan dan hangat.
“Thanks!”
“Jadi... tahu darimana aku menunggu seseorang?” tanyamu.
“Maaf, sebelumnya. Tadi aku mendengarmu bicara di telepon. Tapi bukan itu yang membuatku sadar kalau ternyata ada kamu disini,” jawabku sedikit bergeragap.
“Oh, begitu. Lalu apa?”
“Chorus ‘Con Te Partiro’ yang jadi ringtone-mu. Ternyata kau tetap menyukainya,” jawabku sambil menyendok sedikit float.
“Ah! Aku ingat! Dulu kita sering berbagi cerita tentang lagu-lagu seriosa Andrea Bocelli. Sepertinya satu sekolah hanya kamu dan aku yang suka mendengarkan lagu seperti itu, hahaha...!” Hmm, kau tertawa. Akhirnya kudengar lagi tawa renyah itu.
Ternyata kau masih ingat. Cerita tentang lagu. Itulah awalnya. Awal aku mengenalmu. Awal aku menyimpan perasaan padamu. Waktu itu aku tidak menyangka bila kita mempunyai kesukaan yang sama. Kesukaan yang unik dan berbeda. Hanya kau teman berbagi cerita tentang lagu-lagu seriosa yang serius dan lagu-lagu ‘tua’ yang lainnya. Dan waktu itu juga aku tahu kita punya selera yang sama dengan musik. Menurutmu, lagu-lagu zaman sekarang membosankan dan tidak everlasting. Liriknya juga dangkal. Menurutku juga begitu. Dan kau bilang paling suka dengan lagu-lagu seriosa ‘tua’ penuh nada falsetto yang dinyanyikan kembali Andrea Bocelli. Senang sekali menemukan teman berbagi sepertimu. Aku masih ingat binar di matamu saat kau bercerita tentang ‘Con te Partiro’ yang dibuat versi duet dengan Sarah Brightman menjadi ‘Time to Say Goodbye’***. Kau juga bilang bahwa kau begitu takjub dengan falsetto yang ada di akhir lagu itu.
“Malika? Kamu melamun ya?”
“Ehm... oh! Tidak juga. Aku hanya jadi teringat, hahaha…” jawabku gugup.
Tetapi hanya itu saja waktu yang aku punya bersamamu. Kau hanya datang padaku ketika kita membicarakan lagu-lagu lawas. Ketika kebetulan kau mendengar lagu-lagu lama mengalun dari ponselku saat jam istirahat. Aku memang lebih suka diam di kelas, mendengarkan lagu-lagu yang ‘idealis’. Dan ketika kau melewati bangkuku, kau akan mampir dan bercerita tentang lagu yang tengah kuputar. Suatu kebahagiaan tersendiri bagiku saat berbicara denganmu sepanjang jam istirahat, di bangku kayu yang penuh coretan, dan terik matahari siang yang menembus kaca jendela kelas. Saat-saat yang selalu kunantikan.
“Hei, hei... kamu terdiam lagi? Heran ya, melihat penampilanku yang aneh?”
“Bukan itu yang kupikirkan tadi. Tapi penampilanmu memang berubah. Terutama anting dan cat merah di rambutmu...” kau membuatku gelagapan, dan bingung harus menjawab apa.
“Hhhh...” kau menghela napas. Sinar wajahmu meredup.
“Maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu,” agh...! Apakah aku salah bicara?
“Ya, beginilah aku. Dan aku rasa kamu sudah tahu semuanya. Semua perubahan yang terjadi padaku,” katamu. Tidak, tolong jangan teruskan lagi! Karena aku akan merasa sangat bersalah.
Ya, sejak saat itu kau ‘berubah’. Awalnya kau tidak pernah lagi menghampiriku untuk berbincang tentang lagu-lagu itu. Mereka bilang, kau tengah menjalin hubungan dengan seorang adik kelas yang cantik. Perasaanku bertepuk sebelah tangan. Ada bagian dari diriku yang ‘patah’. Ketika aku tahu bagaimana gadis itu, aku semakin merasa tersudut. Dia cantik dan anggun, dengan tubuh mungil yang putih juga wajah bak boneka barbie. Pantas saja kau tertarik. Dibandingkan dengannya, aku bukan apa-apa. Aku harus berusaha melupakanmu. Menghapus rasa untukmu. Perasaan yang belum sempat kuungkapkan. Awan, akhirnya aku kembali menikmati lagu-lagu itu seorang diri...
“Awan, aku...” aku bingung harus berkata apa? Arggh!! Skak mat!
“Kamu tahu, Malika...” ujarnya datar.
“Yah, tapi kurasa hal seperti itu tidak perlu kita bicarakan saat ini, lagipula itu sudah berlalu...” kataku ragu. Berlalu? Semoga saja memang sudah benar-benar berlalu.
“Hhhh...” kau menghela napas lagi, lalu tersenyum. Senyummu terasa pahit.
“Kamu memang sudah tahu...” katamu lagi.
Ck! Jelas saja aku tahu! Mustahil aku tidak tahu sendiri, sementara seisi sekolah waktu itu sudah tahu. Saat itu kudengar kau sudah putus dari si cantik itu. Dan mereka bilang, gadis itu telah menyakitimu. Semua mata jadi tertuju padamu, dengan pandangan-pandangan yang sinis dan menyudutkanmu. Semua mulut berbicara tentangmu, menuturkan tentang kabar miring yang mengucilkanmu. Kau jadi penyendiri. Aku sering memergokimu duduk termenung dengan wajah redup juga tatapan yang kosong dan nanar. Tak jarang aku melihatmu dengan mata merah berkaca-kaca. Tatapan itu membuatku terpukul. Kau sakit hati, patah hati. Tapi kau memilih cara yang ‘gila’ untuk sebuah pelarian. Cara yang membuatmu ‘terjatuh’. Sebenarnya aku ingin sekali mendekatimu, mengajakmu bicara, mencoba menghiburmu, berharap menjadi sahabatmu dan mungkin bisa lebih dari itu. Masih mungkin, dan sebuah kemungkinan yang kecil pada saat itu, mengingat kau sudah ‘terjatuh’. Tapi kau selalu menjauh, seolah merasa tak nyaman dengan keramaian. Aku yang waktu itu masih belum bisa berpikir dewasa pun tidak ingin membuat kontroversi dengan mendekatimu yang sudah terlanjur ‘diasingkan’. Inilah salahku; menjadi seorang pengecut, tidak bisa sedikit berpikir lebih dewasa. Mungkin usia 17 tahun masih terlalu muda untuk bisa berlaku dewasa.
Dan siang ini aku jadi merasa terhakimi. Olehmu, oleh diriku sendiri.
“Aku sudah jadi bagian dari mereka. Kaum yang marginal. Hidup yang aku jalani telah menjadi suatu pengasingan,” lanjutmu. Apakah kau mencoba untuk sekadar mencurahkan isi hatimu padaku? Tapi saat ini curahan hati itu lebih terasa seperti suatu penghakiman bagiku.
Tiga tahun yang lalu, aku seringkali terlibat dalam pembicaraan tentangmu. Saat-saat jam istirahat tidak lagi bisa aku nikmati untuk mendengarkan lagu-lagu itu. Mereka sering kali mengajakku berkumpul dengan membawa ‘kabar baru’ tentang dirimu. Aku lebih banyak mendengarkan, daripada ikut bicara. Ada yang bilang kau jadi seperti itu karena sudah bawaan, katanya kau memang ‘abnormal’. Ada juga yang bilang, kau begitu gara-gara hanya ingin cari sensasi. Tapi mereka juga bilang, kalau kau kurang kasih sayang keluarga dan sakit hati karena disakiti. Berbagai sebab yang mereka tuturkan tanpa sumber yang jelas. Aku lebih setuju dengan dua sebab terakhir. Karena dengan begitu, menurutku kau masih bisa ‘sembuh’. Menurutku? Cih! Aku bahkan tidak bisa menyebuhkanmu waktu itu! Bukan tidak bisa, sebenarnya. Aku hanya tidak berani, karena aku pengecut.
“Lalu... bagaimana dirimu sekarang?” tanyaku dengan perasaan was-was. Aku harap aku mendengar kabar yang lebih baik.
“Yeahh… aku masih tetap kuliah sekarang, hanya itu sih, kesibukanku hahaha…” jawabmu. Hei! Bukan itu yang hendak aku tanyakan! Tak perlu kau jawab pun, aku sudah tahu kalau kau kuliah. Apa karena pertanyaanku yang ambigu? Atau, kau pura-pura tidak tahu maksudku?
“Oh, begitu ya? Aku dengar kamu mengambil jurusan seni grafis?” tanyaku, mulai berbasa-basi. Lebih baik daripada harus membicarakan hal yang riskan seperti tadi. Walaupun kali ini pembicaraan terasa agak dingin dan kaku.
Belum sempat kau menjawab,tiba-tiba suara Andrea Bocelli terdengar lagi. Ada yang menghubungimu. Pasti orang yang kau tunggu itu. Sayang sekali, kalau begitu. Pertemuan ini harus berakhir tanpa kudapatkan kejelasan.
“Halo, Clara...” sapamu di telepon. Apa? Clara? Tidak salah dengar? Apakah dia adalah Clara yang sama seperti gosip yang kerap ku dengar dulu? Clara yang...
“Kamu menunggu di depan? Ok, baiklah... aku segera keluar,” katamu, menyudahi pembicaraan di telepon.
Ah, ternyata siang ini aku mendapatkan kejelasan. Kejelasan yang bukan kabar gembira. Kejelasan yang semakin membuat rasa bersalah dan penyesalanku kian bertumpuk. Kau belum ‘sembuh’. Atau tidak akan pernah ‘sembuh’ kembali?
“Malika, maaf sepertinya aku harus pergi, dia menungguku di luar,’’ tukasmu terburu sambil bersiap untuk berdiri.
“Awan, tunggu!” kali ini aku tidak ingin berbasa-basi. Sepertinya langkah yang kuambil terkesan impulsif, ya?
“Aku minta maaf...” ujarku lirih. Kau terhenti sejenak dan duduk kembali. Kau memandang diriku dengan keheranan yang membias di tatapanmu.
“Aku tidak mengerti. Kenapa harus minta maaf?” tanyamu.
“Clara. Itu Clara yang dulu kan?” aku coba memastikan. Kau tidak menjawabnya dengan kata yang lugas. Kau malah menjawabnya dengan wajah yang tertunduk. Sepertinya aku benar. Dan tiba-tiba aku merasa begitu sedih...
Ternyata semuanya belum berlalu, Awan.
“Maaf, dulu aku hanya bisa diam dan berlagak seperti seorang penakut. Aku terlambat menolongmu... Sepertinya aku kalah cepat dengan Clara itu...” mengatakan hal ini membuat lidahku terasa begitu kelu. Hatiku sakit. Perasaan bersalah itu seperti memukul-mukul hatiku.
“Malika, kau... apakah kau…?” perlahan kau menengadahkan kepala. Tertegun. Kau ragu untuk meneruskan perkataanmu.
Kali ini aku yang terdiam dan memalingkan muka. Malu. Tampaknya kau bisa menangkap maksudku.
“Terimakasih,” katamu. Aku melirik ada seberkas senyum di wajah itu.
“Kau hanya merasa bersalah pada dirimu sendiri. Bukan kau yang menyebabkan aku seperti ini. Aku sendiri yang memilih jalan ini,” ungkapmu. Kau kembali berdiri dan bersiap untuk pergi. Sementara aku masih duduk dan terdiam. Mencoba menenangkan diri. Menghirup napas panjang.
“Terimakasih atas niat baikmu itu....” lanjutmu. Kemudian kau melangkah pergi. Aku hanya bisa memandangi sosokmu yang terus menjauh dengan tatapan nanar.
Apalagi yang harus kulakukan di sini? Kejadian ini membuat niatku untuk menghabiskan waktu santai sambil berselancar di dunia maya pupus. Aku ingin cepat pulang dan menenangkan diri. Kukemasi laptopku, dan membayar bill di kasir. Aku bergegas pergi. Tetapi lagi-lagi langkahku terpaku di teras kafe. Aku masih melihatmu di parking area. Bersama seorang wanita berambut panjang sepunggung dengan cat pirang. ‘Wanita?’ Postur dan wajahnya bahkan tampak ganjil untuk seorang wanita! Ada otot yang sedikit menonjol di lengan yang terbuka itu, membuatnya terlihat kekar. Dan wajahnya kaku dengan rahang lebar yang tersaput bedak tebal. Dia memakai celana pendek, memperlihatkan betisnya yang kokoh. Bajunya yang minim menunjukkan kulit yang gelap. Lebih gelap dari kulit putihmu. Kalian saling berbicara dengan bahasa tubuh layaknya sepasang kekasih. Tak lama kemudian memasuki mobil. Dan pergi. Itukah dia? ‘Wanita’ bernama Clara itu? Aku bahkan berani bilang bahwa aku lebih cantik berkali lipat daripada dia. Tapi, kenapa kau malah memilihnya? Tampaknya lubang tempat kau terjatuh memang begitu dalam. Lubang itu menjatuhkanmu di dunia yang berbeda. Dunia dalam suatu ke-marginalan...
***
Hari beranjak gelap. Sinar matahari senja hanya tinggal seberkas tipis menyembul di antara warna lembayung yang menggelayut di awan. Awan. Aih, Aku melamun tentangmu lagi, rupanya. Kali ini lengking lembut falsetto di akhir lagu ‘Con Te Partiro ‘ itu yang membuyarkan lamunanku. Falsetto. Ya, falsetto. Agaknya aku tahu analogi falsetto bagimu. Dia adalah nada falsetto dalam bait-bait balada hidupmu. Suara yang palsu, dibuat-buat, dan tidak wajar. Tetapi tetap terdengar begitu indah...
***
Sepertinya ada kata-kata yang lupa aku sampaikan padamu siang tadi. “Con te Partiro, Awan”. Lirih aku mengucapnya,sementara lagu itu telah sampai pada chorus-nya lagi.
----------
[*] Penyanyi pop tenor tunanetra berkebangsaan Italia, lahir di Lajatico, Toscana, 22 September 1958.
[*] Suara buatan bernada tinggi, suara yang tidak wajar; palsu.
[***] Versi duet dari ‘Con te Partiro’ yang dinyanyikan Andrea Bocelli dengan penyanyi sopran Sarah Brightman. ‘Time to Say Goodbye’sendiri adalah arti bahasa Inggris dari ‘Con te Partiro’.
Penulis: Meme, seorang wanita yang tinggal di Jember, Jawa Timur, Indonesia. Punya genre musik favorit jazz, pop, evergreen, dan ballad | Mau berkenalan dengannya, kunjungi blognya di http://a-logia.blogspot.com.
----------
Baca cerpen cinta lainnya di bagian kategori sidebar blog Cerita Rakyat Indonesia
Sepertinya lamunanku sudah bermil-mil jauhnya. Sementara suara tenor lembut milik Andrea Bocelli* masih tetap mengalun dari laptopku. Entah sudah berapa kali lagu-lagu itu me-repeat. Lagu-lagu penuh falsetto** yang mengiringi perjalanan lamunanku yang panjang. Dan lagu-lagu itu mengantarku pada satu titik yang membuatku ingin menemukan lorong waktu untuk kembali ke masa lalu. Aku ingin berlari melintasinya. Berlari dengan kencang. Secepatnya menolongmu sebelum kau terjatuh. Dan terbebas dari utang penyesalan hari ini.
Ah, Awan. Mengapa siang tadi kita harus bertemu?
***
Siang hari yang di sebuah kafe ber-wifi. Ketika aku menapaki teras kafe itu aku melihatmu duduk sendiri melamun di meja pojok ruangan dengan segelas Lemon Tea. Melihatmu, membuat saraf refleksku memberikan komando untuk segera menyapa. Tapi kemudian aku terpaku sejenak. Ada perasaan yang menahan. Kuputuskan untuk mengambil tempat yang strategis agar bisa mengamatimu lebih lama tanpa ketahuan olehmu. Dan aku memilih meja yang berseberangan denganmu. Agak jauh sedikit,tapi mataku masih jelas menangkapmu dari balik laptopku.
Kulihat ada sedikit perubahan pada sosokmu. Rambut hitammu kau selingi dengan cat merah tembaga. Dan ada anting perak kecil di kedua telingamu. Kau menindik telingamu. Selebihnya tidak ada yang berubah. Gaya necis-mu dalam berpakaian masih seperti dulu. Wajahmu masih tetap selalu segar dan terawat. Raut wajah itu juga sama. Masih mengguratkan keramahan. Bibir yang sama. Bibir tipis yang seolah selalu tampak tersenyum. Mata itupun masih memancarkan kelembutan dan begitu teduh. Tetapi tatapan itu... Tatapan yang sama saat terakhir aku melihatmu di bangku SMU. Tatapan yang menerawang jauh, bias, dan nanar. Tatapan yang selalu membuatku merasa bersalah pada diriku sendiri.
Kau tersadar dari lamunanmu ketika handphonemu berbunyi. Ada telepon. Dan aku kenal dengan lagu yang kau jadikan ringtone. Itu bagian chorus ‘Con te Partiro’ milik Andrea Bocelli. Aku senang kau masih menyukainya. Setidaknya aku tidak kehilangan teman untuk berbagi.
“Halo? Oh! 30 menit lagi? Ok, aku tunggu di kafe biasa!” Suaramu terdengar samar. Tetapi aku bisa mendengarnya. Kau menunggu seseorang. Tiga puluh menit lagi. Masih cukup lama untuk sebuah penantian. Kumatikan laptop dan kubawa segelas float yang kupesan ke mejamu. Aku ingin sedikit bernostalgia. Mungkin saja kali ini aku mendapatkan jalan untuk mengobati rasa bersalahku. Mungkin saja pertemuan ini membawa kabar gembira.
“Hai! Boleh join sebentar?”
“Kamu???” kau tercengang dan mencoba menebak-nebak siapa aku. Hei! Waktu tiga tahun sudah membuatmu lupa namaku!
“Aku Malika! Dulu kita pernah satu kelas di SMU.”
“Oh! Iya,aku ingat! Malika...”
“Jadi bagaimana? Boleh aku duduk di sini sebentar saja? Aku tahu kau menunggu seseorang, jadi aku tidak akan lama-lama,” aku mencoba memastikan.
“Tentu, silakan!” jawabmu ceria. Nada bicaramu dari dulu memang menyenangkan dan hangat.
“Thanks!”
“Jadi... tahu darimana aku menunggu seseorang?” tanyamu.
“Maaf, sebelumnya. Tadi aku mendengarmu bicara di telepon. Tapi bukan itu yang membuatku sadar kalau ternyata ada kamu disini,” jawabku sedikit bergeragap.
“Oh, begitu. Lalu apa?”
“Chorus ‘Con Te Partiro’ yang jadi ringtone-mu. Ternyata kau tetap menyukainya,” jawabku sambil menyendok sedikit float.
“Ah! Aku ingat! Dulu kita sering berbagi cerita tentang lagu-lagu seriosa Andrea Bocelli. Sepertinya satu sekolah hanya kamu dan aku yang suka mendengarkan lagu seperti itu, hahaha...!” Hmm, kau tertawa. Akhirnya kudengar lagi tawa renyah itu.
Ternyata kau masih ingat. Cerita tentang lagu. Itulah awalnya. Awal aku mengenalmu. Awal aku menyimpan perasaan padamu. Waktu itu aku tidak menyangka bila kita mempunyai kesukaan yang sama. Kesukaan yang unik dan berbeda. Hanya kau teman berbagi cerita tentang lagu-lagu seriosa yang serius dan lagu-lagu ‘tua’ yang lainnya. Dan waktu itu juga aku tahu kita punya selera yang sama dengan musik. Menurutmu, lagu-lagu zaman sekarang membosankan dan tidak everlasting. Liriknya juga dangkal. Menurutku juga begitu. Dan kau bilang paling suka dengan lagu-lagu seriosa ‘tua’ penuh nada falsetto yang dinyanyikan kembali Andrea Bocelli. Senang sekali menemukan teman berbagi sepertimu. Aku masih ingat binar di matamu saat kau bercerita tentang ‘Con te Partiro’ yang dibuat versi duet dengan Sarah Brightman menjadi ‘Time to Say Goodbye’***. Kau juga bilang bahwa kau begitu takjub dengan falsetto yang ada di akhir lagu itu.
“Malika? Kamu melamun ya?”
“Ehm... oh! Tidak juga. Aku hanya jadi teringat, hahaha…” jawabku gugup.
Tetapi hanya itu saja waktu yang aku punya bersamamu. Kau hanya datang padaku ketika kita membicarakan lagu-lagu lawas. Ketika kebetulan kau mendengar lagu-lagu lama mengalun dari ponselku saat jam istirahat. Aku memang lebih suka diam di kelas, mendengarkan lagu-lagu yang ‘idealis’. Dan ketika kau melewati bangkuku, kau akan mampir dan bercerita tentang lagu yang tengah kuputar. Suatu kebahagiaan tersendiri bagiku saat berbicara denganmu sepanjang jam istirahat, di bangku kayu yang penuh coretan, dan terik matahari siang yang menembus kaca jendela kelas. Saat-saat yang selalu kunantikan.
“Hei, hei... kamu terdiam lagi? Heran ya, melihat penampilanku yang aneh?”
“Bukan itu yang kupikirkan tadi. Tapi penampilanmu memang berubah. Terutama anting dan cat merah di rambutmu...” kau membuatku gelagapan, dan bingung harus menjawab apa.
“Hhhh...” kau menghela napas. Sinar wajahmu meredup.
“Maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu,” agh...! Apakah aku salah bicara?
“Ya, beginilah aku. Dan aku rasa kamu sudah tahu semuanya. Semua perubahan yang terjadi padaku,” katamu. Tidak, tolong jangan teruskan lagi! Karena aku akan merasa sangat bersalah.
Ya, sejak saat itu kau ‘berubah’. Awalnya kau tidak pernah lagi menghampiriku untuk berbincang tentang lagu-lagu itu. Mereka bilang, kau tengah menjalin hubungan dengan seorang adik kelas yang cantik. Perasaanku bertepuk sebelah tangan. Ada bagian dari diriku yang ‘patah’. Ketika aku tahu bagaimana gadis itu, aku semakin merasa tersudut. Dia cantik dan anggun, dengan tubuh mungil yang putih juga wajah bak boneka barbie. Pantas saja kau tertarik. Dibandingkan dengannya, aku bukan apa-apa. Aku harus berusaha melupakanmu. Menghapus rasa untukmu. Perasaan yang belum sempat kuungkapkan. Awan, akhirnya aku kembali menikmati lagu-lagu itu seorang diri...
“Awan, aku...” aku bingung harus berkata apa? Arggh!! Skak mat!
“Kamu tahu, Malika...” ujarnya datar.
“Yah, tapi kurasa hal seperti itu tidak perlu kita bicarakan saat ini, lagipula itu sudah berlalu...” kataku ragu. Berlalu? Semoga saja memang sudah benar-benar berlalu.
“Hhhh...” kau menghela napas lagi, lalu tersenyum. Senyummu terasa pahit.
“Kamu memang sudah tahu...” katamu lagi.
Ck! Jelas saja aku tahu! Mustahil aku tidak tahu sendiri, sementara seisi sekolah waktu itu sudah tahu. Saat itu kudengar kau sudah putus dari si cantik itu. Dan mereka bilang, gadis itu telah menyakitimu. Semua mata jadi tertuju padamu, dengan pandangan-pandangan yang sinis dan menyudutkanmu. Semua mulut berbicara tentangmu, menuturkan tentang kabar miring yang mengucilkanmu. Kau jadi penyendiri. Aku sering memergokimu duduk termenung dengan wajah redup juga tatapan yang kosong dan nanar. Tak jarang aku melihatmu dengan mata merah berkaca-kaca. Tatapan itu membuatku terpukul. Kau sakit hati, patah hati. Tapi kau memilih cara yang ‘gila’ untuk sebuah pelarian. Cara yang membuatmu ‘terjatuh’. Sebenarnya aku ingin sekali mendekatimu, mengajakmu bicara, mencoba menghiburmu, berharap menjadi sahabatmu dan mungkin bisa lebih dari itu. Masih mungkin, dan sebuah kemungkinan yang kecil pada saat itu, mengingat kau sudah ‘terjatuh’. Tapi kau selalu menjauh, seolah merasa tak nyaman dengan keramaian. Aku yang waktu itu masih belum bisa berpikir dewasa pun tidak ingin membuat kontroversi dengan mendekatimu yang sudah terlanjur ‘diasingkan’. Inilah salahku; menjadi seorang pengecut, tidak bisa sedikit berpikir lebih dewasa. Mungkin usia 17 tahun masih terlalu muda untuk bisa berlaku dewasa.
Dan siang ini aku jadi merasa terhakimi. Olehmu, oleh diriku sendiri.
“Aku sudah jadi bagian dari mereka. Kaum yang marginal. Hidup yang aku jalani telah menjadi suatu pengasingan,” lanjutmu. Apakah kau mencoba untuk sekadar mencurahkan isi hatimu padaku? Tapi saat ini curahan hati itu lebih terasa seperti suatu penghakiman bagiku.
Tiga tahun yang lalu, aku seringkali terlibat dalam pembicaraan tentangmu. Saat-saat jam istirahat tidak lagi bisa aku nikmati untuk mendengarkan lagu-lagu itu. Mereka sering kali mengajakku berkumpul dengan membawa ‘kabar baru’ tentang dirimu. Aku lebih banyak mendengarkan, daripada ikut bicara. Ada yang bilang kau jadi seperti itu karena sudah bawaan, katanya kau memang ‘abnormal’. Ada juga yang bilang, kau begitu gara-gara hanya ingin cari sensasi. Tapi mereka juga bilang, kalau kau kurang kasih sayang keluarga dan sakit hati karena disakiti. Berbagai sebab yang mereka tuturkan tanpa sumber yang jelas. Aku lebih setuju dengan dua sebab terakhir. Karena dengan begitu, menurutku kau masih bisa ‘sembuh’. Menurutku? Cih! Aku bahkan tidak bisa menyebuhkanmu waktu itu! Bukan tidak bisa, sebenarnya. Aku hanya tidak berani, karena aku pengecut.
“Lalu... bagaimana dirimu sekarang?” tanyaku dengan perasaan was-was. Aku harap aku mendengar kabar yang lebih baik.
“Yeahh… aku masih tetap kuliah sekarang, hanya itu sih, kesibukanku hahaha…” jawabmu. Hei! Bukan itu yang hendak aku tanyakan! Tak perlu kau jawab pun, aku sudah tahu kalau kau kuliah. Apa karena pertanyaanku yang ambigu? Atau, kau pura-pura tidak tahu maksudku?
“Oh, begitu ya? Aku dengar kamu mengambil jurusan seni grafis?” tanyaku, mulai berbasa-basi. Lebih baik daripada harus membicarakan hal yang riskan seperti tadi. Walaupun kali ini pembicaraan terasa agak dingin dan kaku.
Belum sempat kau menjawab,tiba-tiba suara Andrea Bocelli terdengar lagi. Ada yang menghubungimu. Pasti orang yang kau tunggu itu. Sayang sekali, kalau begitu. Pertemuan ini harus berakhir tanpa kudapatkan kejelasan.
“Halo, Clara...” sapamu di telepon. Apa? Clara? Tidak salah dengar? Apakah dia adalah Clara yang sama seperti gosip yang kerap ku dengar dulu? Clara yang...
“Kamu menunggu di depan? Ok, baiklah... aku segera keluar,” katamu, menyudahi pembicaraan di telepon.
Ah, ternyata siang ini aku mendapatkan kejelasan. Kejelasan yang bukan kabar gembira. Kejelasan yang semakin membuat rasa bersalah dan penyesalanku kian bertumpuk. Kau belum ‘sembuh’. Atau tidak akan pernah ‘sembuh’ kembali?
“Malika, maaf sepertinya aku harus pergi, dia menungguku di luar,’’ tukasmu terburu sambil bersiap untuk berdiri.
“Awan, tunggu!” kali ini aku tidak ingin berbasa-basi. Sepertinya langkah yang kuambil terkesan impulsif, ya?
“Aku minta maaf...” ujarku lirih. Kau terhenti sejenak dan duduk kembali. Kau memandang diriku dengan keheranan yang membias di tatapanmu.
“Aku tidak mengerti. Kenapa harus minta maaf?” tanyamu.
“Clara. Itu Clara yang dulu kan?” aku coba memastikan. Kau tidak menjawabnya dengan kata yang lugas. Kau malah menjawabnya dengan wajah yang tertunduk. Sepertinya aku benar. Dan tiba-tiba aku merasa begitu sedih...
Ternyata semuanya belum berlalu, Awan.
“Maaf, dulu aku hanya bisa diam dan berlagak seperti seorang penakut. Aku terlambat menolongmu... Sepertinya aku kalah cepat dengan Clara itu...” mengatakan hal ini membuat lidahku terasa begitu kelu. Hatiku sakit. Perasaan bersalah itu seperti memukul-mukul hatiku.
“Malika, kau... apakah kau…?” perlahan kau menengadahkan kepala. Tertegun. Kau ragu untuk meneruskan perkataanmu.
Kali ini aku yang terdiam dan memalingkan muka. Malu. Tampaknya kau bisa menangkap maksudku.
“Terimakasih,” katamu. Aku melirik ada seberkas senyum di wajah itu.
“Kau hanya merasa bersalah pada dirimu sendiri. Bukan kau yang menyebabkan aku seperti ini. Aku sendiri yang memilih jalan ini,” ungkapmu. Kau kembali berdiri dan bersiap untuk pergi. Sementara aku masih duduk dan terdiam. Mencoba menenangkan diri. Menghirup napas panjang.
“Terimakasih atas niat baikmu itu....” lanjutmu. Kemudian kau melangkah pergi. Aku hanya bisa memandangi sosokmu yang terus menjauh dengan tatapan nanar.
Apalagi yang harus kulakukan di sini? Kejadian ini membuat niatku untuk menghabiskan waktu santai sambil berselancar di dunia maya pupus. Aku ingin cepat pulang dan menenangkan diri. Kukemasi laptopku, dan membayar bill di kasir. Aku bergegas pergi. Tetapi lagi-lagi langkahku terpaku di teras kafe. Aku masih melihatmu di parking area. Bersama seorang wanita berambut panjang sepunggung dengan cat pirang. ‘Wanita?’ Postur dan wajahnya bahkan tampak ganjil untuk seorang wanita! Ada otot yang sedikit menonjol di lengan yang terbuka itu, membuatnya terlihat kekar. Dan wajahnya kaku dengan rahang lebar yang tersaput bedak tebal. Dia memakai celana pendek, memperlihatkan betisnya yang kokoh. Bajunya yang minim menunjukkan kulit yang gelap. Lebih gelap dari kulit putihmu. Kalian saling berbicara dengan bahasa tubuh layaknya sepasang kekasih. Tak lama kemudian memasuki mobil. Dan pergi. Itukah dia? ‘Wanita’ bernama Clara itu? Aku bahkan berani bilang bahwa aku lebih cantik berkali lipat daripada dia. Tapi, kenapa kau malah memilihnya? Tampaknya lubang tempat kau terjatuh memang begitu dalam. Lubang itu menjatuhkanmu di dunia yang berbeda. Dunia dalam suatu ke-marginalan...
***
Hari beranjak gelap. Sinar matahari senja hanya tinggal seberkas tipis menyembul di antara warna lembayung yang menggelayut di awan. Awan. Aih, Aku melamun tentangmu lagi, rupanya. Kali ini lengking lembut falsetto di akhir lagu ‘Con Te Partiro ‘ itu yang membuyarkan lamunanku. Falsetto. Ya, falsetto. Agaknya aku tahu analogi falsetto bagimu. Dia adalah nada falsetto dalam bait-bait balada hidupmu. Suara yang palsu, dibuat-buat, dan tidak wajar. Tetapi tetap terdengar begitu indah...
***
Sepertinya ada kata-kata yang lupa aku sampaikan padamu siang tadi. “Con te Partiro, Awan”. Lirih aku mengucapnya,sementara lagu itu telah sampai pada chorus-nya lagi.
----------
[*] Penyanyi pop tenor tunanetra berkebangsaan Italia, lahir di Lajatico, Toscana, 22 September 1958.
[*] Suara buatan bernada tinggi, suara yang tidak wajar; palsu.
[***] Versi duet dari ‘Con te Partiro’ yang dinyanyikan Andrea Bocelli dengan penyanyi sopran Sarah Brightman. ‘Time to Say Goodbye’sendiri adalah arti bahasa Inggris dari ‘Con te Partiro’.
Penulis: Meme, seorang wanita yang tinggal di Jember, Jawa Timur, Indonesia. Punya genre musik favorit jazz, pop, evergreen, dan ballad | Mau berkenalan dengannya, kunjungi blognya di http://a-logia.blogspot.com.
----------
Baca cerpen cinta lainnya di bagian kategori sidebar blog Cerita Rakyat Indonesia
Tag :
Cerpen,
Cerpen Cinta
0 Komentar untuk "Cerpen Cinta: Falseto"