“HATINYA hilang, hatinya hilang, hatinya hilang,” teriak mereka.
Aku tak mampu apa-apa lagi, seluruh tubuhku kelu. Berat sekali. Dan sebentar kemudian, mataku merapat. Dan, badanku menjadi ringan. Aku terbang. Menuju hitam. Aku bebas.
Duduk aku di pantai ini, menatap jingganya sunset yang sebentar lagi akan tergantikan oleh gelap. Lembut belaian angin sepoi menerpa tubuhku. Ombak tergulung. Dan, camar-camar beterbangan. Ingin pulang nuju sarang.
Sepinya pantai ini. Sejauh mataku memandang, tak ada siapa-siapa. Hanya aku seorang dan seorang hitam, yang berada agak jauh dariku. Tak tahu siapa. Menatapku. Lain tidak, kecuali memang makhluk-makhluk yang berhabitat di sini. Namun, aku tak ambil peduli dengan itu semua. Aku heran, kenapa aku ada di sini? Entah. Perasaanku sepertinya ingin menikmati saat ini. Menikmati ini, sendiri saja.
Kuingat dirimu di sana. Kekasihku. Jauh. Berada di seberang lautan nun jauh dari pelupuk mataku. Butuh kapal atau sekadar perahu untuk sampai ke tempatmu. Tapi, terus terang aku tak punya. Jadi, kunikmati saja kerinduan ini. Kerinduan yang telah sampai ke atas ubun-ubunku. Sambil menatap senja.
Hei! Sedang apa kau di sana? Ah, mungkin bersama kekasih barumu? Membuainya dengan kata-kata mesra yang sama, seperti yang pernah kau katakan kepadaku.
“Hei, aku rindu!”
Sepatah kata itu akhirnya terucap pelan dari bibirku yang kelu menahannya. Sebuah ungkapan kerinduan hati yang tertahan selama ini. Besok adalah hari ulang tahunmu, ya, aku ingat besok adalah hari yang sangat penting bagi dirimu. Entah, aku akan memberikanmu apa. Mungkin kau tak ingin apa-apa dariku, seorang hilang ini. Tapi, sungguh aku ingin memberikannya tanpa bermaksud apa-apa lagi.
Senja memerah dengan jingganya. Pun laut telah menghitam. Semua hampir tergantikan kegelapan malam. Aku ingin pulang. Selang beberapa saat, datang ide bagiku untuk mengambil beberapa ornamen dari pantai ini sebelum pulang. Ya, untuk kujadikan kado buat kamu. Kamu seorang saja. Agar, kau tahu kerinduanku ini sudah menjamur di padang-padang pengembaraan panjangku.
Segera mulai kupunguti pasir, kerang, dan sedikit air laut yang kumasukkan ke dalam botol. Juga tak lupa kuabadikan sunset yang masih memerah, sebuah sunset yang dulu pernah menjadi saksi antara kita, di dalam HP-ku—HP berkamera digital. Dan, klik. Semuanya sudah kujadikan satu dalam kantong plastik. Seterusnya, hari sudah mulai gelap, matahari sudah tak tampak lagi, termakan ufuk barat, pun cahyanya yang kemerah-merahan sudah hilang. Malam datang. Aku pulang.
***
MATAHARI membumbung tinggi. Pagi. Kutonton dari balik jendelaku, burung-burung gereja bernyanyi ceria di antara dedaunan dan dahan-dahan pohon. Merdu sekali. Semerdu suaramu. Kurasai. Menjadi teringat benakku lantunan lagu Eric Clapton dulu, sewaktu kita pergi ke suatu pesta.
Aku begitu bersemangat untuk cepat-cepat ke kantor pos. Mengirimkan kado untukmu dengan paket kilat khusus, yang esok akan kau terima. Sebuah kado spesial buat kamu.
Aku berjalan. Hari ceria. 10 menit aku terus berjalan, tiba-tiba langit menjadi gelap. Seluruh awan putih berarak ke utara. Digantikan awan hitam dari selatan. Angin menerpa dengan tiupannya yang keras. Matahari telah tertutup awan tebal. Kelabu. Hujan sebentar turun. Masih 20 menit sampai ke kantor pos. Aku berlari. Berlari kencang. Toko-toko sudah tutup. Aku berlari. Berlari kencang. Takut, kalau-kalau kantor pos sudah tutup. Aku berlari lebih kencang.
Hujan turun dengan derasnya. Aku tetap berlari. Kubungkus kado untukmu dengan plastik agar terhindar dari guyuran hujan. Biar tak rusak saat kau menerimanya. Bukankah guyuran hujan mengandung asam yang dapat merusakkan benda-benda, katamu dulu.
Aku berlari. Berlari terus. Sudah 16 menit aku berlari. Berlari. Dan, di kejauhan, aku melihat seorang hitam. Aku tak acuhkan. Aku tak peduli. Yang penting bagiku sekarang, adalah aku berhasil mengirimkan kado ini untukmu. “Kantor pos!” kuucapkan dalam hati. Aku melebarkan senyum pada diriku sendiri. Makin kupercepat langkah kakiku.
Dengan napas tersengal, aku sampai. Kupandangi kantor pos itu dari depan pintunya. Belum tutup. Ah, betapa lega hati ini. Tersenyum. Kubayangkan dirimu tersenyum di sana menyambut kado kirimanku ini. Aku begitu bahagianya.
Tiba-tiba, seseorang menepuk bahuku. Spontan saja kutolehkan mukaku dengan maksud untuk berbagi kebahagiaan dengannya. Dan, jlep, jlep, jlep, tiga lubang bersarang tepat di tubuhku. Aku rubuh.
***
SAMAR kulihat orang itu. Dia meringis. Gembira? Bahagia? Sedih? Kecewa? Entah. Aku tak tahu. Tapi, aih terasa perih tubuhku. Sekujurnya kaku, tak bisa kugerakkan sedikit pun. Lalu kurasai tubuhku terguncang-guncang. Aku tak berdaya. Kudengar dia terbahak. Tak jelas, telingaku sakit. Merah bercecer. Namun, tak ada siapa-siapa. Aku sendirian.
Kufokuskan mataku. Ingin tahu. Aku memang sudah tak kuat lagi. Tetapi, paling tidak aku bisa tahu siapa dia supaya aku tak penasaran. Dan, menjadi hantu yang berkeliaran mengganggu ketenangan orang-orang tak berdosa.
Wajahnya hitam. Seluruh tubuhnya juga hitam. Dan, ingatanku melayang menuju pantai kemarin. Ya, sosok hitam itu, persis seperti dia. Seorang hitam di pantai yang bersamaku. Dan juga, seseorang yang kulihat di jalan tadi. Mirip seperti dia. Apakah dia itu?
“Hei! Kau kurang ini!” katanya. Dia mengacung-acungkan tangannya ke mukaku. “Akan kukirimkan. Akan kukirimkan,” lanjutnya lagi.
Lalu, ia berjalan pergi membawa paket untukmu dan segumpal daging bersamanya. Masih mengucurkan darah segar.
Aku sendirian. Sepi. Sepi. Hujan masih membasahi bumi dengan derasnya. Tiba-tiba, tubuhku terasa ringan. Aku melayang. Kulihat jasadku dikerumuni banyak orang.
“Hatinya hilang, hatinya hilang, hatinya hilang!” ujar kerumunan itu.
Aku menuju hitam. Aku lepas jasad.[]
----------
Penulis: Lilih Prilian Ari Pranowo | Kontak penulis: lilih.yogyakarta@gmail.com atau lihat blognya di http://lilihprilian.blogspot.com | Cerpen sedih ini pernah dimuat di Sriwijaya Post, tanggal 16 Januari 2005.
Aku tak mampu apa-apa lagi, seluruh tubuhku kelu. Berat sekali. Dan sebentar kemudian, mataku merapat. Dan, badanku menjadi ringan. Aku terbang. Menuju hitam. Aku bebas.
Duduk aku di pantai ini, menatap jingganya sunset yang sebentar lagi akan tergantikan oleh gelap. Lembut belaian angin sepoi menerpa tubuhku. Ombak tergulung. Dan, camar-camar beterbangan. Ingin pulang nuju sarang.
Sepinya pantai ini. Sejauh mataku memandang, tak ada siapa-siapa. Hanya aku seorang dan seorang hitam, yang berada agak jauh dariku. Tak tahu siapa. Menatapku. Lain tidak, kecuali memang makhluk-makhluk yang berhabitat di sini. Namun, aku tak ambil peduli dengan itu semua. Aku heran, kenapa aku ada di sini? Entah. Perasaanku sepertinya ingin menikmati saat ini. Menikmati ini, sendiri saja.
Kuingat dirimu di sana. Kekasihku. Jauh. Berada di seberang lautan nun jauh dari pelupuk mataku. Butuh kapal atau sekadar perahu untuk sampai ke tempatmu. Tapi, terus terang aku tak punya. Jadi, kunikmati saja kerinduan ini. Kerinduan yang telah sampai ke atas ubun-ubunku. Sambil menatap senja.
Hei! Sedang apa kau di sana? Ah, mungkin bersama kekasih barumu? Membuainya dengan kata-kata mesra yang sama, seperti yang pernah kau katakan kepadaku.
“Hei, aku rindu!”
Sepatah kata itu akhirnya terucap pelan dari bibirku yang kelu menahannya. Sebuah ungkapan kerinduan hati yang tertahan selama ini. Besok adalah hari ulang tahunmu, ya, aku ingat besok adalah hari yang sangat penting bagi dirimu. Entah, aku akan memberikanmu apa. Mungkin kau tak ingin apa-apa dariku, seorang hilang ini. Tapi, sungguh aku ingin memberikannya tanpa bermaksud apa-apa lagi.
Senja memerah dengan jingganya. Pun laut telah menghitam. Semua hampir tergantikan kegelapan malam. Aku ingin pulang. Selang beberapa saat, datang ide bagiku untuk mengambil beberapa ornamen dari pantai ini sebelum pulang. Ya, untuk kujadikan kado buat kamu. Kamu seorang saja. Agar, kau tahu kerinduanku ini sudah menjamur di padang-padang pengembaraan panjangku.
Segera mulai kupunguti pasir, kerang, dan sedikit air laut yang kumasukkan ke dalam botol. Juga tak lupa kuabadikan sunset yang masih memerah, sebuah sunset yang dulu pernah menjadi saksi antara kita, di dalam HP-ku—HP berkamera digital. Dan, klik. Semuanya sudah kujadikan satu dalam kantong plastik. Seterusnya, hari sudah mulai gelap, matahari sudah tak tampak lagi, termakan ufuk barat, pun cahyanya yang kemerah-merahan sudah hilang. Malam datang. Aku pulang.
***
MATAHARI membumbung tinggi. Pagi. Kutonton dari balik jendelaku, burung-burung gereja bernyanyi ceria di antara dedaunan dan dahan-dahan pohon. Merdu sekali. Semerdu suaramu. Kurasai. Menjadi teringat benakku lantunan lagu Eric Clapton dulu, sewaktu kita pergi ke suatu pesta.
We go to a party and everyone turns to see
This beautiful lady that’s walking aroung with me
And then she asks me, ”Do you feel all right?”
And I say, “Yes, I feel wonderful tonight.”
Aku begitu bersemangat untuk cepat-cepat ke kantor pos. Mengirimkan kado untukmu dengan paket kilat khusus, yang esok akan kau terima. Sebuah kado spesial buat kamu.
Aku berjalan. Hari ceria. 10 menit aku terus berjalan, tiba-tiba langit menjadi gelap. Seluruh awan putih berarak ke utara. Digantikan awan hitam dari selatan. Angin menerpa dengan tiupannya yang keras. Matahari telah tertutup awan tebal. Kelabu. Hujan sebentar turun. Masih 20 menit sampai ke kantor pos. Aku berlari. Berlari kencang. Toko-toko sudah tutup. Aku berlari. Berlari kencang. Takut, kalau-kalau kantor pos sudah tutup. Aku berlari lebih kencang.
Hujan turun dengan derasnya. Aku tetap berlari. Kubungkus kado untukmu dengan plastik agar terhindar dari guyuran hujan. Biar tak rusak saat kau menerimanya. Bukankah guyuran hujan mengandung asam yang dapat merusakkan benda-benda, katamu dulu.
Aku berlari. Berlari terus. Sudah 16 menit aku berlari. Berlari. Dan, di kejauhan, aku melihat seorang hitam. Aku tak acuhkan. Aku tak peduli. Yang penting bagiku sekarang, adalah aku berhasil mengirimkan kado ini untukmu. “Kantor pos!” kuucapkan dalam hati. Aku melebarkan senyum pada diriku sendiri. Makin kupercepat langkah kakiku.
Dengan napas tersengal, aku sampai. Kupandangi kantor pos itu dari depan pintunya. Belum tutup. Ah, betapa lega hati ini. Tersenyum. Kubayangkan dirimu tersenyum di sana menyambut kado kirimanku ini. Aku begitu bahagianya.
Tiba-tiba, seseorang menepuk bahuku. Spontan saja kutolehkan mukaku dengan maksud untuk berbagi kebahagiaan dengannya. Dan, jlep, jlep, jlep, tiga lubang bersarang tepat di tubuhku. Aku rubuh.
***
SAMAR kulihat orang itu. Dia meringis. Gembira? Bahagia? Sedih? Kecewa? Entah. Aku tak tahu. Tapi, aih terasa perih tubuhku. Sekujurnya kaku, tak bisa kugerakkan sedikit pun. Lalu kurasai tubuhku terguncang-guncang. Aku tak berdaya. Kudengar dia terbahak. Tak jelas, telingaku sakit. Merah bercecer. Namun, tak ada siapa-siapa. Aku sendirian.
Kufokuskan mataku. Ingin tahu. Aku memang sudah tak kuat lagi. Tetapi, paling tidak aku bisa tahu siapa dia supaya aku tak penasaran. Dan, menjadi hantu yang berkeliaran mengganggu ketenangan orang-orang tak berdosa.
Wajahnya hitam. Seluruh tubuhnya juga hitam. Dan, ingatanku melayang menuju pantai kemarin. Ya, sosok hitam itu, persis seperti dia. Seorang hitam di pantai yang bersamaku. Dan juga, seseorang yang kulihat di jalan tadi. Mirip seperti dia. Apakah dia itu?
“Hei! Kau kurang ini!” katanya. Dia mengacung-acungkan tangannya ke mukaku. “Akan kukirimkan. Akan kukirimkan,” lanjutnya lagi.
Lalu, ia berjalan pergi membawa paket untukmu dan segumpal daging bersamanya. Masih mengucurkan darah segar.
Aku sendirian. Sepi. Sepi. Hujan masih membasahi bumi dengan derasnya. Tiba-tiba, tubuhku terasa ringan. Aku melayang. Kulihat jasadku dikerumuni banyak orang.
“Hatinya hilang, hatinya hilang, hatinya hilang!” ujar kerumunan itu.
Aku menuju hitam. Aku lepas jasad.[]
----------
Penulis: Lilih Prilian Ari Pranowo | Kontak penulis: lilih.yogyakarta@gmail.com atau lihat blognya di http://lilihprilian.blogspot.com | Cerpen sedih ini pernah dimuat di Sriwijaya Post, tanggal 16 Januari 2005.
Tag :
Cerpen,
Cerpen Sedih
0 Komentar untuk "Cerpen Sedih: Senja yang Sudah Mati"