Kamar asrama 204.
“Ish…” aku meremas lagi kertas. Entah, kertas ke berapa. Padahal tugas cerpen Indonesia harus dikumpul besok pagi. Padahal sudah jam sebelas malam, aku masih berhadapan dengan kertas kosong. Inspirasi juga belum datang. Ah, gimana nih? Aku coba melamun. Tetap saja tak ada ide apapun.
Aku membuka jendela supaya kamar tidak terasa sumpek oleh panas otakku. Tiba-tiba angin malam berhembus menyapu wajahku. Sekujur tubuhku merinding. Dingin mulai menembus kulitku. Iiih...
“Kriiiiiing...!”
Dari ruang belajar terdengar bunyi telepon. Argh, siapa orang iseng yang menelepon malam-malam. Mengganggu saja. Dengan ogah-ogahan, aku beranjak dari kursiku. Kubuka pintu kamar. Ternyata telepon sudah diangkat Indrajit. Aku balik lagi ke mejaku.
Aku berniat melanjutkan tugas cerpen yang belum jadi-jadi, saat mendadak aku teringat Indrajit. Bukankah ia sedang membeli makan dengan Juna? Jika, Indra sedang membeli makan, lalu siapa yang mengangkat telepon itu?
Ceklek, pintu kamarku terbuka.
Kepala Indrajit melongok dari luar. “Sat?”
“Ahhhhh…” aku terkejut.
“Heh, kenapa kamu?” tanyanya.
Ternyata itu Indrajit yang asli, karena ada Juna di belakangnya.
“Kamu mengejutkanku saja,” kataku.
“Kenapa emangnye, Ki?” tanya Juna.
“Yuk, makan dulu aja,” Indrajit menawarkan peredaan ketegangan.
Di ruang tengah, aku menceritakan kejadian yang baru saja kualami kepada mereka berdua. Bukannya turut prihatin atas kejadian itu mereka malah tertawa-tawa.
“Siakek kalian!” gerutuku.
“Ki, kenape lo nggak membuat cerpen horor aja berdasarkan cerita misteri lo ini?” tanya Juna.
Ide cerita menulis cerpen pun runut berada di dalam kepalaku. Ah, benar juga apa yang dikatakan Juna.
“Ah, makasih kalian berdua,” kataku.
***
Catatan: Gara-gara ibu Arnelis, guru bahasa Indonesia, memberi tugas menulis cerpen. Aku jadi punya cerita misteri, yang kemudian kutuangkan dalam cerpen horor aku. Untung nilainya bagus, jika tidak? Bisa amsyong. Hehehe…
“Ish…” aku meremas lagi kertas. Entah, kertas ke berapa. Padahal tugas cerpen Indonesia harus dikumpul besok pagi. Padahal sudah jam sebelas malam, aku masih berhadapan dengan kertas kosong. Inspirasi juga belum datang. Ah, gimana nih? Aku coba melamun. Tetap saja tak ada ide apapun.
Aku membuka jendela supaya kamar tidak terasa sumpek oleh panas otakku. Tiba-tiba angin malam berhembus menyapu wajahku. Sekujur tubuhku merinding. Dingin mulai menembus kulitku. Iiih...
“Kriiiiiing...!”
Dari ruang belajar terdengar bunyi telepon. Argh, siapa orang iseng yang menelepon malam-malam. Mengganggu saja. Dengan ogah-ogahan, aku beranjak dari kursiku. Kubuka pintu kamar. Ternyata telepon sudah diangkat Indrajit. Aku balik lagi ke mejaku.
Aku berniat melanjutkan tugas cerpen yang belum jadi-jadi, saat mendadak aku teringat Indrajit. Bukankah ia sedang membeli makan dengan Juna? Jika, Indra sedang membeli makan, lalu siapa yang mengangkat telepon itu?
Ceklek, pintu kamarku terbuka.
Kepala Indrajit melongok dari luar. “Sat?”
“Ahhhhh…” aku terkejut.
“Heh, kenapa kamu?” tanyanya.
Ternyata itu Indrajit yang asli, karena ada Juna di belakangnya.
“Kamu mengejutkanku saja,” kataku.
“Kenapa emangnye, Ki?” tanya Juna.
“Yuk, makan dulu aja,” Indrajit menawarkan peredaan ketegangan.
Di ruang tengah, aku menceritakan kejadian yang baru saja kualami kepada mereka berdua. Bukannya turut prihatin atas kejadian itu mereka malah tertawa-tawa.
“Siakek kalian!” gerutuku.
“Ki, kenape lo nggak membuat cerpen horor aja berdasarkan cerita misteri lo ini?” tanya Juna.
Ide cerita menulis cerpen pun runut berada di dalam kepalaku. Ah, benar juga apa yang dikatakan Juna.
“Ah, makasih kalian berdua,” kataku.
***
Catatan: Gara-gara ibu Arnelis, guru bahasa Indonesia, memberi tugas menulis cerpen. Aku jadi punya cerita misteri, yang kemudian kutuangkan dalam cerpen horor aku. Untung nilainya bagus, jika tidak? Bisa amsyong. Hehehe…
Tag :
Cerpen,
Cerpen Horor
0 Komentar untuk "Pengalaman Menulis Cerpen Horor Berdasarkan Cerita Misteri di Kamar Asrama"