Cerita Rakyat Indonesia berasal dari Nusa Tenggara Timur
Suatu hari, Raja Laku Leik hendak mengadakan perjalanan jauh bersama para pengawalnya. Mereka akan pergi berburu ke hutan yang berada di wilayah kerajaannya. Perjalanan itu tentu saja akan memakan waktu yang cukup lama. Sebelum berangka, raja berpesan kepada permaisurinya, bernama Naifeto, yang sedang hamil tua.
“Hai, permaisuriku! Aku akan meninggalkan istana ini dalam beberapa hari. Jika kelak kamu melahirkan seorang anak perempuan, rawatlah ia baik-baik. Tapi, jika bayi itu laki-laki, maka habisilah nyawanya dan kuburkan mayatnya di bawah tangga istana ini,” titah Raja Laku Leik.
“Baik, Kanda,” jawab Naifeto.
Sebenarnya, Naifeto tidak setuju dengan permintaan suaminya itu, tentu ia tidak akan sampai hati menghabisi nyawa anak kandungnya sendiri. Namun karena takut kepada suaminya yang kejam itu, ia terpaksa mengiyakan pesan tersebut.
Tidak lama setelah Raja pergi, Naifeto melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan dan sehat. Bayi itu dinamainya Onu Muti. Betapa senang hatinya memiliki anak itu. Ia ingin sekali merawat dan membesarkankannya. Namun, di sisi lain ia harus melaksanakan pesan suaminya. Dalam keadaan bimbang, ia pun berdoa meminta petunjuk kepada Tuhan.
“Ya Tuhan, berikanlah hamba petunjuk-Mu atas permasalahan ini,” pinta Naifeto.
Naifeto kemudian termenung sejenak. Setelah berpikir keras, akhirnya ia menemukan jalan keluar.
“Hmmm... aku tahu caranya. Sebaiknya, putraku kuganti dengan seekor anjing yang akan kukubur di bawah tangga," pikirnya.
Naifeto pun segera menangkap seekor anjing, lalu menguburnya di bawah tangga istana. Sementara Onu Muti ia serahkan kepada adik Raja Laku Leik yang bernama Feto Ikun untuk diasuh.
“Tolong rawatlah Onu Muti, tapi jangan sampai Raja mengetahui rahasia ini! Jika Raja tahu masalah ini, maka nyawa Onu Muti akan terancam,” ujar Naifeto.
“Baiklah. Aku berjanji akan menjaga rahasia ini,” ucap Feto Ikun.
Sejak itulah, Onu Muti tinggal di rumah bibinya. Beberapa minggu kemudian, Raja Laku Leik telah kembali dari berburu. Karena tahu bahwa sang permaisuri telah melahirkan, ia pun langsung menanyakannya.
“Di mana anak kita, Permaisuriku?” tanya sang Raja.
“Maaf, Kanda. Anak kita laki-laki,” jawab Naifeto, “Sesuai dengan pesan Kanda, anak itu sudah Dinda kuburkan di bawah tangga.”
Mendengar keterangan itu, cepat-cepatlah sang Raja pergi memeriksa ke bawah tangga. Tampaklah olehnya sebuah tumpukan tanah yang ditandai dengan sebuah nisan di atasnya. Raja itu pun percaya jika nisan itu adalah makam putranya. Demikian rahasia itu terus tersimpan hingga Onu Muti beranjak remaja.
Suatu hari, Onu Muti bersama temannya, One Mea, sedang bermain gasing di dekat istana. Tanpa disengaja, gasing Onu Muti terlempar jauh dan mengenai kepala seorang nenek yang sedang menjemur kacang hijau. Nenek itu pun menjadi marah.
“Dasar kau anak terbuang!” hardik nenek itu seraya pergi.
Nenek itu ternyata pergi ke istana untuk mengadu kepada sang Raja. Setiba di istana, ia pun membuka rahasia tentang kebohongan Naifeto selama ini.
“Ampun, Baginda Raja,” hormat nenek itu.
“Ada apa gerangan?” tanya Raja Laku Leik.
“Sebenarnya, Baginda telah dibohongi oleh Permaisuri,” lapor nenek itu.
“Apa maksud, Nenek?” Raja Laku Leik kembali bertanya dengan bingung.
Nenek itu pun menceritakan keberadaan Onu Muti kepada sang Raja. Mendengar cerita itu, sang Raja pun menjadi murka. Namun, ia tidak berani langsung bertindak karena segan terhadap adiknya, Feto Ikun. Maka itu, ia mengadakan sidang tertutup dengan beberapa pengawal setianya untuk membuat siasat. Dalam sidang itu disepakati bahwa mereka merencanakan suatu perburuan dengan mengajak Onu Muti dan One Mea. [baca cerita rakyat Indonesia lainnya]
Pada hari yang telah ditentukan, Onu Muti dan One Mea pun datang ke istana dengan membawa peralatan berburu. Kedua anak itu juga masing-masing membawa seekor ayam jantan. Setiba di istana, keduanya pun berbaur dengan rombongan sang Raja menuju ke hutan. Setiba di hutan, mereka mulai berburu hingga sore hari. Hasil yang mereka peroleh lumayan banyak.
Saat hari mulai gelap, sang Raja menyuruh Onu Muti untuk beristirahat di dalam sebuah pondok kecil yang telah disiapkan oleh pengawal raja. Sementara itu, One Mea serta raja dan rombongannya tidur di luar. Ketika semua sudah terlelap, Raja Laku Leik perlahan-lahan merangkak masuk ke dalam pondok, lalu memenggal kepala Onu Muti. Kepala anak yang tidak berdosa itu pun terpisah dari tubuhnya.
Keesokan harinya, semua orang panik, terutama One Mea. Ia berteriak histeris begitu melihat kepala temannya terpenggal. Setelah mayat Onu Muti dimakamkan, rombongan sang Raja kembali melanjutkan perburuan. Sementara itu, One Mea secara diam-diam mengikat ayam jantan milik Onu Muti di misan makam itu lalu cepat-cepat pulang untuk melapor kepada ibu angkat Onu Muti, Feto Ikun.
“Bibi..., Bibi... Bibi Feto!” teriaknya dengan tergopoh-gopoh, “Onu Muti telah mati!”
Alangkah terkejutnya Feto Ikun mendengan berita duka itu. Ia tahu bahwa pastilah Raja Laku Leik pelakunya.
“Lalu, di mana mayatnya sekarang?” tanya Feto Ikun.
“Mayatnya sudah dimakamkan di dalam hutan,” ungkap One Mea, “Saya telah mengikatkan seekor ayam pada nisan makam itu sebelum pulang ke sini, namun saya lupa di mana tepatnya.”
Mendengar keterangan itu, Feto Ikun segera berdoa kepada Tuhan untuk memohon petunjuk mengenai keberadaan makam itu. Berkat doanya yang khusyuk, petunjuk itu pun datang melalui mimpi pada malam harinya. Maka, pada keesokan harinya, Feto Ikun mengajak saudara-saudaranya untuk mencari makam Onu Muti di hutan. Setelah menemukan makam itu, mereka kemudian berdoa kepada Tuhan agar mayat Onu Muti dibangkitkan kembali.
Setelah mereka 4 kali berdoa, Onu Muti hidup kembali. Semua itu bisa terjadi berkat kuasa Tuhan. Feto Ikun pun merawat pangeran kecil itu dengan sangat hati-hati agar tidak ketahuan sang Raja. Hingga beberapa tahun kemudian, Onu Muti pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah.
Sementara itu, Raja Laku Leik yang kian tua semakin lupa daratan. Kelakuannya semakin menjadi-jadi. Kebiasaan berjudi dengan menyabung ayam tak pernah berhenti. Ia selalu menantang lawan-lawannya dengan taruhan yang tinggi.
Suatu hari, datanglah Onu Muti ke istana membawa ayam jagonya untuk menantang sang Raja. Ia menyamar sebagai pangeran yang kaya-raya dari negeri seberang. Raja Laku Leik pun menerima tantangan itu.
“Hai, Pangeran Muda. Berapa banyak harta yang engkau miliki? Berani-beraninya kau menantangku!” tanya Raja Laku Leik dengan nada meremehkan.
“Ampun, Baginda. Harta yang hamba miliki saat ini sebanyak harta yang akan Baginda pertaruhkan,” jawab Onu Muti.
Betapa terkejutnya Raja Laku Leik mendengar jawaban anak muda itu. Tidak mau dipermalukan di hadapan rakyatnya, ia pun menerima tantangan itu. Sang Raja segera memerintahkan prajuritnya untuk menyiapkan ayam jagonya untuk diadu dengan ayam jago milik Onu Muti. Seluruh rakyat negeri itu pun berbondong-bondong memadati halaman istana untuk menyaksikan pertandingan tersebut.
Setelah semuanya siap, pertandingan sabung ayam pun dimulai. Kedua ayam jago segera dilepas di tengah arena. Tak berapa lama kemudian, keduanya saling menyerang. Namun, baru saja pertarungan itu berlangsung, ayam jago milik Raja Laku Leik sudah kalah. Tak mau dipermalukan, Raja Laku Leik kembali menatang dengan taruhan yang lebih besar lagi. Akan tetapi, selalu saja kalah. Demikian seterusnya, selama pertarungan itu, kemenangan selalu ada di pihak Onu Muti.
Raja yang bengis itu pun bangkrut, hidupnya melarat, dan akhinya mati. Seluruh wilayah kerajaan, termasuk istananya sudah habis dipertaruhkan. Sebaliknya, Onu Muti menjadi kaya-raya. Kerjaaan itu pun sudah menjadi miliknya. Seluruh rakyat negeri itu menyambut gembira atas kemenangan itu. Mereka pun menobatkan Onu Muti menjadi raja untuk menggantikan ayahnya yang bengis. Berbeda dengan ayahnya, Onu Muti memimpin negeri itu dengan arif dan bijaksana. Rakyatnya pun hidup makmur dan sejahtera.
Demikian cerita rakyat Indonesia dikisahkan secara turun-temurun.[]
Kebengisan Raja Laku Leik
Dahulu, di daerah Belu, Nusa Tenggara Timur, terdapat sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja bernama Laku Leik. Ia adalah raja yang bengis dan kejam. Ia tidak segan-segan menganiaya, bahkan menghabisi nyawa orang lain demi memenuhi semua kemauannya. Ia juga gemar berjudi dan memiliki sifat serakah. Ia ingin menjadi raja untuk selama-lamanya dan tidak mau mempunyai anak laki-laki.Suatu hari, Raja Laku Leik hendak mengadakan perjalanan jauh bersama para pengawalnya. Mereka akan pergi berburu ke hutan yang berada di wilayah kerajaannya. Perjalanan itu tentu saja akan memakan waktu yang cukup lama. Sebelum berangka, raja berpesan kepada permaisurinya, bernama Naifeto, yang sedang hamil tua.
“Hai, permaisuriku! Aku akan meninggalkan istana ini dalam beberapa hari. Jika kelak kamu melahirkan seorang anak perempuan, rawatlah ia baik-baik. Tapi, jika bayi itu laki-laki, maka habisilah nyawanya dan kuburkan mayatnya di bawah tangga istana ini,” titah Raja Laku Leik.
“Baik, Kanda,” jawab Naifeto.
Sebenarnya, Naifeto tidak setuju dengan permintaan suaminya itu, tentu ia tidak akan sampai hati menghabisi nyawa anak kandungnya sendiri. Namun karena takut kepada suaminya yang kejam itu, ia terpaksa mengiyakan pesan tersebut.
Tidak lama setelah Raja pergi, Naifeto melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan dan sehat. Bayi itu dinamainya Onu Muti. Betapa senang hatinya memiliki anak itu. Ia ingin sekali merawat dan membesarkankannya. Namun, di sisi lain ia harus melaksanakan pesan suaminya. Dalam keadaan bimbang, ia pun berdoa meminta petunjuk kepada Tuhan.
“Ya Tuhan, berikanlah hamba petunjuk-Mu atas permasalahan ini,” pinta Naifeto.
Naifeto kemudian termenung sejenak. Setelah berpikir keras, akhirnya ia menemukan jalan keluar.
“Hmmm... aku tahu caranya. Sebaiknya, putraku kuganti dengan seekor anjing yang akan kukubur di bawah tangga," pikirnya.
Naifeto pun segera menangkap seekor anjing, lalu menguburnya di bawah tangga istana. Sementara Onu Muti ia serahkan kepada adik Raja Laku Leik yang bernama Feto Ikun untuk diasuh.
“Tolong rawatlah Onu Muti, tapi jangan sampai Raja mengetahui rahasia ini! Jika Raja tahu masalah ini, maka nyawa Onu Muti akan terancam,” ujar Naifeto.
“Baiklah. Aku berjanji akan menjaga rahasia ini,” ucap Feto Ikun.
Sejak itulah, Onu Muti tinggal di rumah bibinya. Beberapa minggu kemudian, Raja Laku Leik telah kembali dari berburu. Karena tahu bahwa sang permaisuri telah melahirkan, ia pun langsung menanyakannya.
“Di mana anak kita, Permaisuriku?” tanya sang Raja.
“Maaf, Kanda. Anak kita laki-laki,” jawab Naifeto, “Sesuai dengan pesan Kanda, anak itu sudah Dinda kuburkan di bawah tangga.”
Mendengar keterangan itu, cepat-cepatlah sang Raja pergi memeriksa ke bawah tangga. Tampaklah olehnya sebuah tumpukan tanah yang ditandai dengan sebuah nisan di atasnya. Raja itu pun percaya jika nisan itu adalah makam putranya. Demikian rahasia itu terus tersimpan hingga Onu Muti beranjak remaja.
Suatu hari, Onu Muti bersama temannya, One Mea, sedang bermain gasing di dekat istana. Tanpa disengaja, gasing Onu Muti terlempar jauh dan mengenai kepala seorang nenek yang sedang menjemur kacang hijau. Nenek itu pun menjadi marah.
“Dasar kau anak terbuang!” hardik nenek itu seraya pergi.
Nenek itu ternyata pergi ke istana untuk mengadu kepada sang Raja. Setiba di istana, ia pun membuka rahasia tentang kebohongan Naifeto selama ini.
“Ampun, Baginda Raja,” hormat nenek itu.
“Ada apa gerangan?” tanya Raja Laku Leik.
“Sebenarnya, Baginda telah dibohongi oleh Permaisuri,” lapor nenek itu.
“Apa maksud, Nenek?” Raja Laku Leik kembali bertanya dengan bingung.
Nenek itu pun menceritakan keberadaan Onu Muti kepada sang Raja. Mendengar cerita itu, sang Raja pun menjadi murka. Namun, ia tidak berani langsung bertindak karena segan terhadap adiknya, Feto Ikun. Maka itu, ia mengadakan sidang tertutup dengan beberapa pengawal setianya untuk membuat siasat. Dalam sidang itu disepakati bahwa mereka merencanakan suatu perburuan dengan mengajak Onu Muti dan One Mea. [baca cerita rakyat Indonesia lainnya]
Pada hari yang telah ditentukan, Onu Muti dan One Mea pun datang ke istana dengan membawa peralatan berburu. Kedua anak itu juga masing-masing membawa seekor ayam jantan. Setiba di istana, keduanya pun berbaur dengan rombongan sang Raja menuju ke hutan. Setiba di hutan, mereka mulai berburu hingga sore hari. Hasil yang mereka peroleh lumayan banyak.
Saat hari mulai gelap, sang Raja menyuruh Onu Muti untuk beristirahat di dalam sebuah pondok kecil yang telah disiapkan oleh pengawal raja. Sementara itu, One Mea serta raja dan rombongannya tidur di luar. Ketika semua sudah terlelap, Raja Laku Leik perlahan-lahan merangkak masuk ke dalam pondok, lalu memenggal kepala Onu Muti. Kepala anak yang tidak berdosa itu pun terpisah dari tubuhnya.
Keesokan harinya, semua orang panik, terutama One Mea. Ia berteriak histeris begitu melihat kepala temannya terpenggal. Setelah mayat Onu Muti dimakamkan, rombongan sang Raja kembali melanjutkan perburuan. Sementara itu, One Mea secara diam-diam mengikat ayam jantan milik Onu Muti di misan makam itu lalu cepat-cepat pulang untuk melapor kepada ibu angkat Onu Muti, Feto Ikun.
“Bibi..., Bibi... Bibi Feto!” teriaknya dengan tergopoh-gopoh, “Onu Muti telah mati!”
Alangkah terkejutnya Feto Ikun mendengan berita duka itu. Ia tahu bahwa pastilah Raja Laku Leik pelakunya.
“Lalu, di mana mayatnya sekarang?” tanya Feto Ikun.
“Mayatnya sudah dimakamkan di dalam hutan,” ungkap One Mea, “Saya telah mengikatkan seekor ayam pada nisan makam itu sebelum pulang ke sini, namun saya lupa di mana tepatnya.”
Mendengar keterangan itu, Feto Ikun segera berdoa kepada Tuhan untuk memohon petunjuk mengenai keberadaan makam itu. Berkat doanya yang khusyuk, petunjuk itu pun datang melalui mimpi pada malam harinya. Maka, pada keesokan harinya, Feto Ikun mengajak saudara-saudaranya untuk mencari makam Onu Muti di hutan. Setelah menemukan makam itu, mereka kemudian berdoa kepada Tuhan agar mayat Onu Muti dibangkitkan kembali.
Setelah mereka 4 kali berdoa, Onu Muti hidup kembali. Semua itu bisa terjadi berkat kuasa Tuhan. Feto Ikun pun merawat pangeran kecil itu dengan sangat hati-hati agar tidak ketahuan sang Raja. Hingga beberapa tahun kemudian, Onu Muti pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah.
Sementara itu, Raja Laku Leik yang kian tua semakin lupa daratan. Kelakuannya semakin menjadi-jadi. Kebiasaan berjudi dengan menyabung ayam tak pernah berhenti. Ia selalu menantang lawan-lawannya dengan taruhan yang tinggi.
Suatu hari, datanglah Onu Muti ke istana membawa ayam jagonya untuk menantang sang Raja. Ia menyamar sebagai pangeran yang kaya-raya dari negeri seberang. Raja Laku Leik pun menerima tantangan itu.
“Hai, Pangeran Muda. Berapa banyak harta yang engkau miliki? Berani-beraninya kau menantangku!” tanya Raja Laku Leik dengan nada meremehkan.
“Ampun, Baginda. Harta yang hamba miliki saat ini sebanyak harta yang akan Baginda pertaruhkan,” jawab Onu Muti.
Betapa terkejutnya Raja Laku Leik mendengar jawaban anak muda itu. Tidak mau dipermalukan di hadapan rakyatnya, ia pun menerima tantangan itu. Sang Raja segera memerintahkan prajuritnya untuk menyiapkan ayam jagonya untuk diadu dengan ayam jago milik Onu Muti. Seluruh rakyat negeri itu pun berbondong-bondong memadati halaman istana untuk menyaksikan pertandingan tersebut.
Setelah semuanya siap, pertandingan sabung ayam pun dimulai. Kedua ayam jago segera dilepas di tengah arena. Tak berapa lama kemudian, keduanya saling menyerang. Namun, baru saja pertarungan itu berlangsung, ayam jago milik Raja Laku Leik sudah kalah. Tak mau dipermalukan, Raja Laku Leik kembali menatang dengan taruhan yang lebih besar lagi. Akan tetapi, selalu saja kalah. Demikian seterusnya, selama pertarungan itu, kemenangan selalu ada di pihak Onu Muti.
Raja yang bengis itu pun bangkrut, hidupnya melarat, dan akhinya mati. Seluruh wilayah kerajaan, termasuk istananya sudah habis dipertaruhkan. Sebaliknya, Onu Muti menjadi kaya-raya. Kerjaaan itu pun sudah menjadi miliknya. Seluruh rakyat negeri itu menyambut gembira atas kemenangan itu. Mereka pun menobatkan Onu Muti menjadi raja untuk menggantikan ayahnya yang bengis. Berbeda dengan ayahnya, Onu Muti memimpin negeri itu dengan arif dan bijaksana. Rakyatnya pun hidup makmur dan sejahtera.
Demikian cerita rakyat Indonesia dikisahkan secara turun-temurun.[]
Tag :
Cerita Rakyat,
Nusa Tenggara Timur
0 Komentar untuk "Cerita Rakyat Indonesia #121: Kebengisan Raja Laku Leik"