Cerita Rakyat Indonesia berasal dari Sumatera Selatan.
“Dinda tidak tahu harus berbuat apa lagi, Kanda. Dinda tidak tega jika harus meninggalkan Aria Tebing, adik Dinda satu-satunya,” kata Sitti kepada suaminya.
“Kalau begitu, bagaimana jika Aria Tebing kita ajak untuk tinggal bersama di istana?” usul Pangeran Serunting.
Sitti pun menerima saran tersebut. Namun, ketika hal itu disampaikan kepada Aria Tebing, adiknya itu justru menolak. Ia lebih senang hidup bebas di desa daripada tinggal di istana yang penuh dengan aturan. Akhirnya, Sitti dan Aria Tebing bermufakat untuk membagi dua kebun warisan dari orangtua mereka. Kebun yang menjadi bagian Sitti secara tidak langsung juga sudah menjadi milik Pangeran Serunting. Agar tidak terjadi perselisihan di antara mereka, Pangeran Serunting pun menyarankan agar kebun mereka diberi pembatas.
“Lebih baik di tengah-tengah ladang itu diberi pembatas agar kelak tidak terjadi perselisihan di antara kita,” ujar Pangeran Serunting.
“Saran yang bagus, Kanda,” kata Aria Tebing.
Keesokan harinya, Aria Tebing bersama Serunting berangkat ke kebun itu dengan membawa sebatang kayu pembatas. Setiba di sana, kayu pembatas itu mereka tanam dalam-dalam di tengah ladang.
Beberapa hari kemudian, pada kayu pembatas itu tumbuh tanaman cendawan atau jamur. Namun, cendawan yang tumbuh pada batang kayu itu jauh berbeda. Cendawan yang mengarah ke kebun Serunting hanya cendawan biasa, sedangkan cendawan yang mengarah ke kebun Aria Tebing berupa cendawan emas. Aria Tebing pun menjual cendawan emas tersebut dan ia menjadi kaya raya. Rupanya, Serunting iri hati melihat nasib baik dialami oleh adik iparnya itu.
Suatu hari, Serunting mendatangi Aria Tebing yang sedang memetik jamur emas di ladangnya. Ia sudah tidak kuat menahan perasaan iri yang menyelimuti hatinya.
“Hai, Aria Tebing! Apa yang kau lakukan terhadap tanaman cendawanku?” tanya Pangeran Serunting.
“Apa maksud, Kanda? Aku tidak melakukan apa-apa terhadap cendawan Kanda,” jawab Aria Tebing dengan heran.
“Ah, bohong kamu! Pasti kamu telah berbuat curang kepadaku,” tuduh Pangeran Serunting, “Engkau telah membalik kayu pembatas itu sehingga cendawan emas itu mengarah ke ladangmu!”
Aria Tebing semakin bingung dengan tuduhan yang ditujukan kepadanya. Ia merasa tidak pernah membalik kayu pembatas itu. Cendawan emas itu tumbuh dengan sendirinya. Meskipun ia sudah meminta maaf dan menjelaskan keadaan yang sebenarnya, Pangeran Serunting tidak mau terima. Bahkan, ia menantang Aria Tebing untuk berkelahi.
“Hai, Aria Tebing. Kamu tidak usah banyak alasan. Jika kamu berani, lawan aku! Aku menantangmu!” tantang Pangeran Serunting.
Aria Tebing bingung untuk menjawab tantangan itu. Ia menyadari bahwa dirinya akan mungkin mampu menghadapi kakak iparnya sakti mandraguna itu. Tapi, jika ia menolak tantangan itu, Pangeran Serunting pasti akan membunuhnya.
“Baiklah, Kanda. Aku akan terima tantangan Kanda, tapi berilah aku waktu 2 hari untuk berpikir!” pinta Aria Tebing.
“Baik, kalau itu maumu. Jika perlu, latihlah kemampuanmu sebelum waktu itu tiba!” seru Pangeran Serunting dengan nada melecehkan.
Sejak itu, Aria Tebing sulit memejamkan matanya. Ia bingung mencari cara agar bisa mengalahkan Pangeran Serunting. Sehari sebelum pertarungan itu dimulai, ia akhirnya menemukan jalan keluarnya.
“Ahhaaa... aku tahu cara sekarang,” gumam Aria Tebing. “Kak Sitti pasti tahu kelemahan Pangeran Serunting.”
Aria Tebing menemui kakaknya secara sembunyi-sembunyi. Ia kemudian meminta kepada kakaknya agar mau memberitahu kelemahan Pangeran Serunting.
“Kak Sitti, tolong kasih tahu aku mengenai kelemahan Pangeran Serunting!” bujuk Aria Tebing, “Kalau tidak, ia pasti akan membunuhku.”
Sitti tidak menjawab. Hatinya sedang bingung. Ia tidak ingin adiknya mati, tapi ia pun tidak mampu mengkhianati suaminya.
“Maafkan aku, adikku. Aku tidak bisa mengkhianati suamiku,” kata Sitti kepada adiknya.
“Tolonglah aku, Kakak,” rengek Aria Tebing, “Jika pun aku mengetahui kelemahan Pangeran Serunting, aku tidak akan membunuhhnya, sedangkan ia pasti akan membunuhku. Apakah Kakak rela melihat aku tewas di tangan suami Kakak sendiri?” [baca cerita rakyat Indonesia lainnya]
Sitti kembali terdiam. Ia tersentuh dengan perkataan adiknya.
“Baiklah, Dik. Aku akan memberitahukannya, tapi kamu harus berjanji untuk tidak membunuhnya,” ujar Sitti.
“Baik, aku janji. Aku tidak akan membunuhnya,” kata Aria Tebing.
Akhirnya, Sitti pun membocorkan rahasia kelamahan suaminya kepada Aria Tebing.
“Rahasia kesaktian suamiku ada pada rumput ilalang yang selalu bergetar walaupun tidak tertiup angin,” kata Sitti, “Jika kamu menombak rumput ilalang itu, kekuatannya langsung lenyap seketika.”
“Baik, Kak. Terima kasih atas bantuannya,” ucap Aria Tebing.
Pada hari yang telah ditentukan, Pangeran Serunting dan Aria Tebing pergi ke sebuah padang ilalang. Setiba di sana, pertarungan pun dimulai. Baru saja pertarungan itu dimulai, Aria Tebing sudah mulai terdesak oleh serangan-serangan kakak iparnya. Hal itu menunjukkan bahwa betapa tingginya kesaktian Pangeran Serunting.
Meskipun demikian, Aria Tebing tidak gentar karena sudah mengetahui kelemahan sang pangeran. Pada saat yang tepat, ia segera menombak ilalang yang bergetar di padang itu. Seketika itu pula, sang Pangeran jatuh tersungkur ke tanah dengan keadaaan luka parah.
Merasa dikhianati oleh istrinya, Pangeran Serunting pergi meninggalkan kampung halamannya menuju ke Gunung Siguntang untuk bertapa. Setiba di sana, tiba-tiba ia mendengar suara gaib dari Sang Hyang Mahameru.
“Hai, anak muda. Maukah engkau mendapatkan kekuatan gaib?” tanya suara itu.
“Saya sangat mau, wahai Sang Hyang Mahameru,” jawab Pangeran Serunting.
“Baiklah, tapi ada syaratnya yaitu engkau harus bertapa di bahwa pohon bambu hingga daun bambu itu menutupi seluruh tubuhmu,” kata Sang Hyang Mahameru.
Tanpa berpikir panjang, Pangeran Serunting segera menyanggupi persyaratan itu. Setelah itu, ia langsung memulai tapanya dengan penuh konsentrasi. Segala bentuk kehidupan dunia telah lenyap dalam pikiran dan ingatannya. Rasa lapar dan dahaga pun tidak dirasakannya lagi. Semakin lama ia semakin larut dalam tapanya sehingga tak terasa sudah 2 tahun ia bertapa. Saat itu pula, seluruh tubuhnya telah tertutupi daun-daun bambu yang telah berguguran.
Sesuai dengan janjinya, Sang Hyang Mahameru kembali mendatangi Pangeran Serunting.
“Wahai, anak muda. Karena engkau telah berhasil melaksanakan syarat itu dengan baik, maka kini saatnya aku menurunkan ilmu kesaktian kepadamu,” kata Sang Hyang Mahameru.
“Kesaktian apakah itu, wahai Sang Hyang Mahameru?” tanya Pangeran itu penasaran.
“Apa pun yang engkau ucapkan akan berubah menjadi kutukan,” jawab Sang Hyang Mahameru.
Dengan perasaan gembira, Pangeran Serunting segera pulang ke kampung asalnya. Dalam perjalanan pulang, terbersit di pikirannya untuk menjajal kesaktian yang baru diperolehnya itu. Saat menjumpai hamparan pohon tebu di tepi danau, ia berkata: “Jadilah batu, wahai pohon tebu!” serunya.
Berkat kesaktian lidahnya, hamparan pohon tebu itu langsung berubah menjadi batu. Oleh karena itulah, Pangeran Serunting dijuluki Si Pahit Lidah karena kesaktian lidahhnya itu. Selanjutnya, Si Pahit Lidah mendapati sebuah bukit yang gersang dan tandus bernama Bukit Serut. Ia kemudian mengubah bukit gersang itu menjadi hutan belantara. Ketika tiba di suatu desa, Si Pahit Lidah memenuhi keinginan sepasang suami istri yang sudah tua untuk memiliki anak. Dengan kesaktian lidahnya, ia mengubah sehelai rambut milik si nenek menjadi seorang bayi laki-laki.
Begitulah seterusnya, di sisa perjalanannya menuju Sumidang, Si Pahit Lidah terus belajar berbuat baik kepada sesama makhluk hidup. Setiba di kampung halamannya, rasa dendamnya kepada Aria Tebing pun hilang sudah seiring dengan perbuatan baiknya di sepanjang perjalanan. Ia pun meminta maaf kepada adik iparnya itu, juga kepada istri tercintanya.
Demikian cerita rakyat Indonesia ini dikisahkan turun temurun hingga kini.[]
Kisah Si Pahit Lidah
Dahulu, di daerah Sumidang, Sumatra Selatan, ada seorang pangeran bernama Serunting. Ia adalah anak keturunan raksasa yang namanya Putri Tenggang. Suatu hari, Pangeran Serunting mempersunting seorang gadis desa bernama Sitti. Setelah menikah, ia mengajak istrinya untuk tinggal di istana. Namun, Sitti bingung. Di satu sisi, ia tidak ingin berpisah dengan adik laki-lakinya yang bernama Aria Tebing, tapi di sisi lain ia harus patuh pada suaminya.“Dinda tidak tahu harus berbuat apa lagi, Kanda. Dinda tidak tega jika harus meninggalkan Aria Tebing, adik Dinda satu-satunya,” kata Sitti kepada suaminya.
“Kalau begitu, bagaimana jika Aria Tebing kita ajak untuk tinggal bersama di istana?” usul Pangeran Serunting.
Sitti pun menerima saran tersebut. Namun, ketika hal itu disampaikan kepada Aria Tebing, adiknya itu justru menolak. Ia lebih senang hidup bebas di desa daripada tinggal di istana yang penuh dengan aturan. Akhirnya, Sitti dan Aria Tebing bermufakat untuk membagi dua kebun warisan dari orangtua mereka. Kebun yang menjadi bagian Sitti secara tidak langsung juga sudah menjadi milik Pangeran Serunting. Agar tidak terjadi perselisihan di antara mereka, Pangeran Serunting pun menyarankan agar kebun mereka diberi pembatas.
“Lebih baik di tengah-tengah ladang itu diberi pembatas agar kelak tidak terjadi perselisihan di antara kita,” ujar Pangeran Serunting.
“Saran yang bagus, Kanda,” kata Aria Tebing.
Keesokan harinya, Aria Tebing bersama Serunting berangkat ke kebun itu dengan membawa sebatang kayu pembatas. Setiba di sana, kayu pembatas itu mereka tanam dalam-dalam di tengah ladang.
Beberapa hari kemudian, pada kayu pembatas itu tumbuh tanaman cendawan atau jamur. Namun, cendawan yang tumbuh pada batang kayu itu jauh berbeda. Cendawan yang mengarah ke kebun Serunting hanya cendawan biasa, sedangkan cendawan yang mengarah ke kebun Aria Tebing berupa cendawan emas. Aria Tebing pun menjual cendawan emas tersebut dan ia menjadi kaya raya. Rupanya, Serunting iri hati melihat nasib baik dialami oleh adik iparnya itu.
Suatu hari, Serunting mendatangi Aria Tebing yang sedang memetik jamur emas di ladangnya. Ia sudah tidak kuat menahan perasaan iri yang menyelimuti hatinya.
“Hai, Aria Tebing! Apa yang kau lakukan terhadap tanaman cendawanku?” tanya Pangeran Serunting.
“Apa maksud, Kanda? Aku tidak melakukan apa-apa terhadap cendawan Kanda,” jawab Aria Tebing dengan heran.
“Ah, bohong kamu! Pasti kamu telah berbuat curang kepadaku,” tuduh Pangeran Serunting, “Engkau telah membalik kayu pembatas itu sehingga cendawan emas itu mengarah ke ladangmu!”
Aria Tebing semakin bingung dengan tuduhan yang ditujukan kepadanya. Ia merasa tidak pernah membalik kayu pembatas itu. Cendawan emas itu tumbuh dengan sendirinya. Meskipun ia sudah meminta maaf dan menjelaskan keadaan yang sebenarnya, Pangeran Serunting tidak mau terima. Bahkan, ia menantang Aria Tebing untuk berkelahi.
“Hai, Aria Tebing. Kamu tidak usah banyak alasan. Jika kamu berani, lawan aku! Aku menantangmu!” tantang Pangeran Serunting.
Aria Tebing bingung untuk menjawab tantangan itu. Ia menyadari bahwa dirinya akan mungkin mampu menghadapi kakak iparnya sakti mandraguna itu. Tapi, jika ia menolak tantangan itu, Pangeran Serunting pasti akan membunuhnya.
“Baiklah, Kanda. Aku akan terima tantangan Kanda, tapi berilah aku waktu 2 hari untuk berpikir!” pinta Aria Tebing.
“Baik, kalau itu maumu. Jika perlu, latihlah kemampuanmu sebelum waktu itu tiba!” seru Pangeran Serunting dengan nada melecehkan.
Sejak itu, Aria Tebing sulit memejamkan matanya. Ia bingung mencari cara agar bisa mengalahkan Pangeran Serunting. Sehari sebelum pertarungan itu dimulai, ia akhirnya menemukan jalan keluarnya.
“Ahhaaa... aku tahu cara sekarang,” gumam Aria Tebing. “Kak Sitti pasti tahu kelemahan Pangeran Serunting.”
Aria Tebing menemui kakaknya secara sembunyi-sembunyi. Ia kemudian meminta kepada kakaknya agar mau memberitahu kelemahan Pangeran Serunting.
“Kak Sitti, tolong kasih tahu aku mengenai kelemahan Pangeran Serunting!” bujuk Aria Tebing, “Kalau tidak, ia pasti akan membunuhku.”
Sitti tidak menjawab. Hatinya sedang bingung. Ia tidak ingin adiknya mati, tapi ia pun tidak mampu mengkhianati suaminya.
“Maafkan aku, adikku. Aku tidak bisa mengkhianati suamiku,” kata Sitti kepada adiknya.
“Tolonglah aku, Kakak,” rengek Aria Tebing, “Jika pun aku mengetahui kelemahan Pangeran Serunting, aku tidak akan membunuhhnya, sedangkan ia pasti akan membunuhku. Apakah Kakak rela melihat aku tewas di tangan suami Kakak sendiri?” [baca cerita rakyat Indonesia lainnya]
Sitti kembali terdiam. Ia tersentuh dengan perkataan adiknya.
“Baiklah, Dik. Aku akan memberitahukannya, tapi kamu harus berjanji untuk tidak membunuhnya,” ujar Sitti.
“Baik, aku janji. Aku tidak akan membunuhnya,” kata Aria Tebing.
Akhirnya, Sitti pun membocorkan rahasia kelamahan suaminya kepada Aria Tebing.
“Rahasia kesaktian suamiku ada pada rumput ilalang yang selalu bergetar walaupun tidak tertiup angin,” kata Sitti, “Jika kamu menombak rumput ilalang itu, kekuatannya langsung lenyap seketika.”
“Baik, Kak. Terima kasih atas bantuannya,” ucap Aria Tebing.
Pada hari yang telah ditentukan, Pangeran Serunting dan Aria Tebing pergi ke sebuah padang ilalang. Setiba di sana, pertarungan pun dimulai. Baru saja pertarungan itu dimulai, Aria Tebing sudah mulai terdesak oleh serangan-serangan kakak iparnya. Hal itu menunjukkan bahwa betapa tingginya kesaktian Pangeran Serunting.
Meskipun demikian, Aria Tebing tidak gentar karena sudah mengetahui kelemahan sang pangeran. Pada saat yang tepat, ia segera menombak ilalang yang bergetar di padang itu. Seketika itu pula, sang Pangeran jatuh tersungkur ke tanah dengan keadaaan luka parah.
Merasa dikhianati oleh istrinya, Pangeran Serunting pergi meninggalkan kampung halamannya menuju ke Gunung Siguntang untuk bertapa. Setiba di sana, tiba-tiba ia mendengar suara gaib dari Sang Hyang Mahameru.
“Hai, anak muda. Maukah engkau mendapatkan kekuatan gaib?” tanya suara itu.
“Saya sangat mau, wahai Sang Hyang Mahameru,” jawab Pangeran Serunting.
“Baiklah, tapi ada syaratnya yaitu engkau harus bertapa di bahwa pohon bambu hingga daun bambu itu menutupi seluruh tubuhmu,” kata Sang Hyang Mahameru.
Tanpa berpikir panjang, Pangeran Serunting segera menyanggupi persyaratan itu. Setelah itu, ia langsung memulai tapanya dengan penuh konsentrasi. Segala bentuk kehidupan dunia telah lenyap dalam pikiran dan ingatannya. Rasa lapar dan dahaga pun tidak dirasakannya lagi. Semakin lama ia semakin larut dalam tapanya sehingga tak terasa sudah 2 tahun ia bertapa. Saat itu pula, seluruh tubuhnya telah tertutupi daun-daun bambu yang telah berguguran.
Sesuai dengan janjinya, Sang Hyang Mahameru kembali mendatangi Pangeran Serunting.
“Wahai, anak muda. Karena engkau telah berhasil melaksanakan syarat itu dengan baik, maka kini saatnya aku menurunkan ilmu kesaktian kepadamu,” kata Sang Hyang Mahameru.
“Kesaktian apakah itu, wahai Sang Hyang Mahameru?” tanya Pangeran itu penasaran.
“Apa pun yang engkau ucapkan akan berubah menjadi kutukan,” jawab Sang Hyang Mahameru.
Dengan perasaan gembira, Pangeran Serunting segera pulang ke kampung asalnya. Dalam perjalanan pulang, terbersit di pikirannya untuk menjajal kesaktian yang baru diperolehnya itu. Saat menjumpai hamparan pohon tebu di tepi danau, ia berkata: “Jadilah batu, wahai pohon tebu!” serunya.
Berkat kesaktian lidahnya, hamparan pohon tebu itu langsung berubah menjadi batu. Oleh karena itulah, Pangeran Serunting dijuluki Si Pahit Lidah karena kesaktian lidahhnya itu. Selanjutnya, Si Pahit Lidah mendapati sebuah bukit yang gersang dan tandus bernama Bukit Serut. Ia kemudian mengubah bukit gersang itu menjadi hutan belantara. Ketika tiba di suatu desa, Si Pahit Lidah memenuhi keinginan sepasang suami istri yang sudah tua untuk memiliki anak. Dengan kesaktian lidahnya, ia mengubah sehelai rambut milik si nenek menjadi seorang bayi laki-laki.
Begitulah seterusnya, di sisa perjalanannya menuju Sumidang, Si Pahit Lidah terus belajar berbuat baik kepada sesama makhluk hidup. Setiba di kampung halamannya, rasa dendamnya kepada Aria Tebing pun hilang sudah seiring dengan perbuatan baiknya di sepanjang perjalanan. Ia pun meminta maaf kepada adik iparnya itu, juga kepada istri tercintanya.
Demikian cerita rakyat Indonesia ini dikisahkan turun temurun hingga kini.[]
Tag :
Cerita Rakyat,
Sumatera Selatan
0 Komentar untuk "Cerita Rakyat Indonesia #120: Kisah Si Pahit Lidah"