Cerita Rakyat Indonesia #110: Nyai Dasima

Seingat saya, saya mendengar kata Nyai Dasima waktu TPI (sekarang MNC) menayangkan sinetron berjudul sama. Tapi, karena saya masih kecil dan tidak tertarik dengan sinetron berlatar belakang sejarah Indonesia, maka saya tidak mengikutinya. Tapi, setelah saya membaca cerita rakyat Indonesia Nyai Dasima, barulah saya mengetahuinya. Bahwa kisah mengenai Nyai Dasima berlatar belakang sejarah Indonesia, tepatnya zaman penjajahan Belanda.

Cerita rakyat ini mengisahkan tentang seorang perempuan cantik asal Kahuripan yang menjadi istri simpanan Tuan Edward, seorang Belanda. Karena kecantikannya, Nyai Dasima mendapat sejumlah masalah yang menyebabkan kematiannya. Bagaimana kisah selengkapnya?

Cerita Rakyat Nyai Dasima

Bagi para lelaki, kecantikan Dasima bak madu yang dapat disesap setiap saat. Dasima adalah wanita yang berasal dari Kahuripan. Lantaran, enggan hidup melarat, ia rela dijadikan wanita simpanan Tuan Edward. Dengan menjadi wanita simpanan Tuan Edward, Dasima mendapat gelar Nyai—yang kemudian disandangnya di depan namanya. Hasil hubungan mereka, lahirlah Nancy.

Atas kelahiran Nancy, Tuan Edward memberikan sebuah rumah di Pejambon untuk Nyai Dasima lengkap dengan para pembantu yang siap melayani kebutuhan Dasima. Kepindahan Nyai Dasima ke Pejambon tidak disertai oleh Tuan Edward, sehingga laki-laki yang lewat depan rumah Nyai Dasima pasti berdecak kagum pada si pemilik rumah. Sayangnya, mereka tidak berani masuk atau tidak punya kesempatan masuk karena memang tidak punya kepentingan.

Dikisahkan dalam cerita rakyat ini, ada seorang laki-laki bernama Samiun. Bisa dikatakan bahwa Samiun ini begitu beruntung, lantaran ia punya paman seorang tentara dengan jabatan Komandan Onder Distrik Gambir. Berpeluanglah ia masuk ke rumah Nyai Dasima atas nama pamannya. Ketika bertemu dengan Nyonya pemilik rumah yang tidak lain tidak bukan adalah Nyai Dasima, bergetarlah sanubari Samiun. Ia tidak menyangka Nyonya rumah begitu cantik bak Sinta dalam cerita wayang.

Sejak pulang dari rumah kuntum Pejambon itu, Samiun bolak-balik ke rumah Haji Salihun di Pecenongan untuk minta ilmu pelet. Kemudian, ia menyuap Mak Buyung yang bekerja jadi pembantu Nyai Dasima untuk mengambil sehelai rambut Nyai Dasima. Ia pun dengan lihai memainkan ilmu pelet yang diberikan Haji Salihun. Mantra pelet Samiun, tepat mengenai sasaran. Nyai Dasima menganggap Samiun pria tergagah di Batavia. Samiun pun membawa Nyai Dasima ke rumah ibunya, setelah berkongsi dengan Hayati istrinya dan ibunya untuk mengeruk harta Nyai Dasima—melalui pernikahan. Kembang Pejambon itu bak kerbau dicucuk hidungnya, saat Samiun mengajaknya menikah.

Melihat perilaku Hayati, Mak Soleha dan Samiun yang berubah total, Nyai Dasima sadar bahwa dirinya menjadi objek Samiun, Hayati dan Mak Soleha. Nyai Dasima tak tahan lagi dan minta cerai. Samiun setuju menceraikan dengan syarat harta Nyai Dasima yang ada di Pejambon pemberian tuan Edward harus diserahkan pada Samiun.

Hayati sangat berperan dalam menentukan langkah Samiun. Hayati terus mendesak agar Samiun bisa memperoleh harta Nyai Dasima. Dengan berbagai upaya Samiun mencoba melunakkan hati Nyai Dasima agar bersedia mengalihkan hartanya, tetapi hal itu sulit dilakukan Nyai Dasima. Tidak mungkin ia kembali ke Pejambon menemui Tuan Edward, jangan-jangan kemurkaan dan penjara yang didapatnya karena telah mempermalukan Tuan Edward di mata orang Belanda dan Eropa umumnya.

Samiun menceraikan Nyai Dasima, tetapi tak mendapatkan hartanya. Sementara Nyai Dasima tetap berada di rumah karena tak punya saudara di Batavia, tak punya uang lagi untuk pulang ke kampungnya, tak punya keberanian menemui Tuan Edward untuk memohon pengampunan atas kecurangan yang dilakukannya.

Hayati menjadi semakin kesal melihat Nyai Dasima yang telah berubah menjadi beban bagi keluarganya. Hayati mendesak Samiun untuk menyingkirkan Nyai Dasima, karena tidak bermanfaat lagi baginya, serta ketidaktepatan janji Samiun membuatnya linglung. Ia mengambil keputusan menghabisi nyawa Nyai Dasima.

Untuk melakukan hal itu, Samiun tak ingin melakukannya dengan tangan sendiri, perlu menggunakan tangan orang lain. Untuk hal itu, Samiun menyewa Bang Puasa—jagoan Kwitang dengan upah 100 Pasmat. Samiun merundingkan teknis pelaksanaan penghabisan nyawa Nyai Dasima. Akhirnya, mereka menyepakati cara terbaik yang harus dilakukan Samiun menyerahkan panjar sebesar 5 pasmat kepada Bang Puasa.

Sikap Samiun mengembangkan senyum yang manis sekali kepada Nyai Dasima. Mak Soleha menjadi kaget, mengapa Samiun bukannya mengusir Nyai Dasima malah berbaikan. Hayati yang mendengarkan cerita dari Mak Soleha tentang sikap Samiun menjadi sangat kesal. Ingin saja ia pergi ke rumah itu untuk menghabisi nyawa Nyai Dasima.

Sikap Samiun yang simpatik dan terkesan melindunginya membuat semangat Nyai Dasima tumbuh, serta hadir perasaan menyayangi kepada Samiun. Samiun mengajak Nyai Dasima ke kampung Ketapang untuk mendengarkan pertunjukan seni tutur tentang Amir Hamzah. Nyai Dasima yang telah melimpahkan harapannya kepada Samiun langsung setuju dengan ajakan tersebut. Nyai Dasima berharap mungkin malam ini adalah malam terindah dengan Samiun, dapat berjalan di bawah sinar rembulan sambil bercengkerama menumpahkan perasaannya selama ini terkandas di dasar lautan kebencian Hayati dan Mak Soleha.

Nyai Dasima segera bersolek secantik mungkin dengan sisa kecantikan yang dimilikinya. Mak Soleha menjadi jijik dan hampir saja meludahi muka Nyai Dasima, untung ada Samiun, sehingga masih ada rasa segan pada sang anak. Mak Soleha menjadi aneh dengan perilaku Samiun, jangan-jangan ilmu pelet Samiun menjadi bumerang buat Samiun. Hayati yang mendengarkan laporan Mak Soleha kelihatannya acuh tak acuh.

Hayati sendiri sudah hilang kesabaran atas janji Samiun yang akan memberikan harta yang banyak buatnya. Sekarang Hayati masa bodoh, tak ada gunanya berharap lagi, dan rasanya tak ada urusannya lagi dengan Nyai Dasima dan Samiun.

"Ti... lu kok masa bodoh?" tanya Mak Soleha keheranan.

"Abis, mau diapain lagi, gua nggak percaya ame Samiun."

"Kalau Samiun jadi pergi dengan Nyai Dasima dan nggak balik lagi gimana?"

"Biarin, gue juga bisa cari lelaki lain."

"Astaghfirullah!"

"Percuma ngucap, kalau niatnya nggak baik."

Mak Soleha menjadi kaget dengan pernyataan Hayati, seakan menuding dirinya ikut dalam permainan kotor mendapatkan harta milik Nyai Dasima. Mak Soleha kemudian justru membenci Hayati dan bertekad minta pada Samiun untuk menceraikan Hayati, biarlah dengan Nyai Dasima saja. Mak Soleha berubah pikiran dan menyesali sikapnya yang sempat membenci Nyai Dasima belakangan ini. Mak Soleha segera kembali ke rumahnya tetapi mendapati Samiun dan Nyai Dasima telah pergi.

Samiun dan Nyai Dasima pergi ke Ketapang. Mereka bergandengan tangan bagaikan dua sejoli yang baru mengenal cinta pertama. Sambil berjalan, Samiun kelihatan gugup. Ingin saja mengurungkan niat untuk tidak jadi pergi, tetapi menjadi bimbang manakala mengingat Hayati yang terus mendesaknya, dan Mak Soleha yang selalu menatap dengan nanar dan lecehan.

"Rangkulin pinggang saya, Bang Miun," pinta Nyai Dasima.

"Kayak orang baru jatuh cinta aja," sahut Samiun, tetapi tangannya melingkar di pinggang Nyai Dasima. Samiun menghentikan langkah, Nyai Dasima ikut berhenti dan bertanya.

"Ada apa, Bang Miun?"

"Kita lewat sana aja."

"Kan Jalan Ketapang lewat sini?"

"Abang khawatir kalau-kalau ada opas Belanda, nanti kita ditangkap, lagian Tuan Edward pasti masih nyariin lu."

Mereka menggunakan jalan lain, jalan setapak yang akan melewati sebuah kali dengan jembatan titian bambu. Di ujung tepian kali tempat menyeberang, Samiun melepaskan Nyai Dasima sendiri di belakang, bukannya menuntun tangan Nyai Dasima agar tidak terpeleset manakala menyeberang. Nyai Dasima tertinggal di belakang dan memanggil Samiun tetapi Samiun meneruskan langkah untuk sampai ke tepian seberang kali.

Dalam kesempatan itu, sebuah bayangan muncul. Bayangan seorang lelaki kekar dengan sigap memburu ke arah Nyai Dasima. Sambil mengirimkan pukulan maut ke tengkuk Nyai Dasima. Pukulan itu meleset karena Nyai Dasima sempat melangkah sebelum tangan lelaki kekar itu mendarat, sehingga yang terkena bagian belakang tetapi sakitnya bukan main, Nyai Dasima menjerit memanggil samiun. Samiun dengan tenang dan berkata, "Ajal lu sudah sampai, pasrahin aja diri lu."

Nyai Dasima berusaha lari untuk minta perlindungan pada Samiun yang telah berdiri di seberang tepian kali. Memang naas bagi Nyai Dasima, sebuah pukulan keras yang keluar dari tangan Bang Puasa, mendarat tepat pada posisi yang sensitif di bagian tengkorak kepala, dan Nyai Dasima ambruk bak daun kering disapu badai gurun. Matanya sebelah kanan melotot, lidah terjulur keluar yang sebagian putus tergigit gigi yang merapat akibat tekanan dari atas, darah mengucur dari hidung dan mulut. Setelah Nyai Dasima ambruk, Bang Puasa mengeluarkan golok tergenggam dan langsung menggorok leher Nyai Dasima. Tamatlah ajal Nyai Dasima yang disertai semburan darah yang semburat keluar dari urat di lehemya.

Samiun berdiri terpaku, kemudian memburu Nyai Dasima yang telah berubah menjadi seonggok bangkai manusia. Samiun mengangkat mayat Nyai Dasima dengan sebelah tangannya. Kenangan indah ketika bersama Nyai Dasima melintas di benaknya bagaikan slide membuatnya menitikan air mata. Bang Puasa dan Samiun berembuk sebentar, dan melemparkan mayat Nyai Dasima ke kali Ciliwung.

Ternyata peristiwa pembunuhan itu ada saksi matanya, yaitu Si Kuntum yang jalan bersama Bang Puasa. Namun, Si Kuntum bungkam karena Bang Puasa mengancamnya. Sementara di seberang kali dibalik rerimbunan pohon, Musanip dan Ganip yang sedang memancing juga menyaksikan peristiwa itu dengan jelas, dan keduanya ketakutan, bersembunyi agar tidak diketahui Bang Puasa. Istri Musanip yang rumahnya berdekatan dengan peristiwa itu terjadi, sempat mendengar jeritan Nyai Dasima, dan mengintip melalui celah dinding bambu rumahnya, dan ketakutan akan diketahui oleh Bang Puasa.

***

Bangkai Nyai Dasima hanyut terbawa arus kali Ciliwung. Bangkai tersebut kemudian menyangkut di tangga tempat mandinya Tuan Edward, orang yang pemah memeliharanya sebagai istri simpanan. Tuan Edward masgul melihat jasad Nyai Dasima. Tuan Edward segera melaporkan ke polisi tentang kematian Nyai Dasima. Di depan polisi, Tuan Edward mengaku bahwa Nyai Dasima adalah istrinya. Karena pengaduan tersebut polisi Distrik Weltevreden menganggap hal ini sebagai persoalan serius yang bisa mengancam jiwa setiap orang Eropa, khususnya orang Belanda. Polisi mengadakan sayembara berhadiah 200 pasmat bagi siapa pun yang dapat memberikan keterangan akurat tentang Nyai Dasima, siapa yang membunuhnya. Tergiur jumlah uang, Kuntum, Musanip, dan Ganip tak kuatir akan kemarahan Bang Puasa di kemudian hari. Mereka melaporkan kepada polisi tentang kejadian yang dilihat.

"Jadi, Puasa yang bunuh itu Madam Edward?"

"Betul, Tuan."

"Bagus, kamu orang pantas diberi hadiah nanti."

"Tapi kami takut, Tuan."

"Takut apa?"

"Takut sama Bang Puasa."

"Nee*, kamu orang jangan takut.”

Atas dasar laporan tersebut, polisi menangkap Bang Puasa serta barang bukti golok yang belum sempat di bersihkan dari darah Nyai Dasima. Sedangkan Samiun melarikan diri dan tak kembali lagi ke Kwitang karena takut ditangkap, sebab dialah dalang yang menyewa Bang Puasa untuk membunuh Nyai Dasima.[]

Catatan:
* Jangan (Belanda)
0 Komentar untuk "Cerita Rakyat Indonesia #110: Nyai Dasima"

Back To Top