Cerita Rakyat Indonesia #84: Mentiko Betuah

Bagi saya cerita rakyat Indonesia yang berasal dari Aceh satu ini, sangatlah menarik. Dalam beberapa sumber yang saya baca, cerita rakyat Mentiko Betuah ini ada beberapa penggabungan cerita yang kemudian, menurut pendapat saya, tidak perlu. Atau dapat dijadikan cerita lain. Seperti, pada akhirnya, mentiko bertuah jatuh ke tangan seorang tukang emas hingga jatuh ke tangan seekor tikus, yang kemudian menyebabkan dibencinya tikus oleh anjing dan kucing [mungkin akan saya buat versi tersendirinya pada cerita rakyat mendatang]. Disamping itu, cerita rakyat Indonesia satu ini memiliki dua judul antara Mentiko Bertuah dan Mentiko Betuah. Tapi, saya menggunakan Betuah saja. ^^

Oke, bagaimana kisah selengkapnya? Dibaca saja ya...

***

Setelah sepuluh tahun menikah, Raja Negeri Semeulue belum juga dikaruniai seorang anak. Seperti kebanyakan pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak, sang Raja dan Permaisurinya tidak henti-hentinya berdoa dan berusaha. Hingga akhirnya, Tuhan menjawab doa dan usaha mereka. Sang Permaisuri pun hamil. Sembilan bulan sepuluh hari kemudian, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Rohib.

Sebagai anak tunggal, Rohib dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Apapun permintaan Rohib akan dituruti oleh kedua orangtuanya. Hal inilah yang menyebabkan sifat Rohib menjadi manja.

Sifat manja Rohib makin menjadi-jadi (baca: nakal) seiring pertumbuhannya. Sang Raja yang tidak tahan dengan kelakukan Rohib mengirimnya ke sekolah di luar kota. Dan bertahun-tahun pun berlalu, Rohib belum juga lulus sekolah. Sang Raja menyuruhnya pulang. Di Istana Negeri Semeulue, Rohib dimarahi habis-habisan oleh ayahnya.

"Kamu ini, anak tak tahu diuntung! Disekolahkan tidak belajar sebagaimana mestinya. Disayang malah kurang ajar. Apa sih maumu?" Saking geramnya bahkan Sang Raja rela berkata, "Pengawal, gantung anak ini!"

Mendengar anaknya ingin digantung, Ibu Rohib menangis. "Janganlah, Kanda, gegabah dalam bertindak. Ia adalah anak kandung kita. Darah daging kita. Jika ia tiada, siapa yang akan meneruskan perjuangan kita."

Sang Raja terdiam. Ia berpikir ada benarnya juga pendapat Permaisurinya. Jadi, ia memutuskan, "Baiklah, aku tidak akan menghukum gantung ia. Tapi, ia harus merantau ke negeri orang. Dan jangan kembali sebelum berhasil jadi "orang". Aku akan memberi uang sebagai modal perjalanan dan dagangnya."

Sang Permaisuri setuju dengan usul ini. Rohib sebetulnya tidak setuju, tapi mau bagaimana lagi? Mau tidak mau, ia harus menjalaninya.

***

Pada hari yang dimaksud, Rohib memulai perjalanannya.

Dia berjalan dari satu kampung ke kampung lain, menyusuri hutan-hutan belantara. Di tengah perjalanan, Rohib melihat segerombolan anak sedang mengincar burung dengan ketapel. Rohib memperhatikan hal tersebut. Dan ketika ia melihat burung yang diketapel bukanlah untuk dikonsumsi, melainkan untuk dianiaya, timbul rasa kasihan Rohib terhadap burung itu.

"Hei, kalian, janganlah menganiaya burung itu. Apa kalian tidak kasihan, ia hampir mati?"

"Burung ini telah memakan padi-padi kami, jadi sudah sepantasnya ia mendapat hukumannya."

"Oke oke, apapun keluhan kalian, aku minta kalian menghentikan melakukan penganiayaan terhadap burung itu. Ini aku akan memberikan ganti rugi atas perilaku burung itu," tawar Rohib.

Anak-anak itu menerima tawaran Rohib. Berkuranglah setengah dari uang yang dibawa Rohib. Lalu, ia berjalan kembali.

Beberapa lama berjalan, ia bertemu orang-orang sedang memukuli seekor ular. Lagi-lagi Rohib gelisah dan memutuskan untuk membayar orang-orang itu agar berhenti. Uang yang dipakai untuk membayar orang-orang itu adalah setengah dari uang bekalnya yang tersisa.

Segera setelah membayar orang-orang itu, Rohib baru sadar kalau dirinya sudah tidak punya uang lagi. Ia pun bingung. Jika kembali, ia tentu akan dihukum oleh ayahnya, jika terus, ia tentu tidak punya uang lagi.

Di tengah-tengah kebingungannya itu, seekor ular raksasa mendatangi Rohib. Kedatangan ular raksasa itu membuat Rohib terkejut. Tapi, ular raksasa itu, berkata, "Janganlah takut. Aku tidak akan memakanmu. Justru aku hendak berterima kasih kepadamu karena telah menyelamatkan anakku."

Lalu, ular kecil yang dipukuli oleh orang-orang kampung melata di sebelah ular raksasa. "Iya, terima kasih telah menyelamatkanku."

Rohib membetulkan posisi duduknya.

"Karena itu, aku akan memberikanmu sebuah mentiko betuah," kata ular raksasa itu, "Dengan benda ini, apapun yang kamu inginkan akan terkabul."

Rohib dengan senang menerima mentiko betuah itu dari dalam mulut ular raksasa. Setelah itu, ular raksasa dan ular kecil menghilang secara gaib.

***

Berbekal benda gaib itu, Rohib pulang menghadap ayahnya. Namun, sebelum sampai di istana ayahnya, ia memohon agar mendapat uang yang banyak.

Sang Raja yang melihat Rohib pulang dengan banyak uang tampak senang. Ayahnya itu menduga Rohib berhasil di perantauan. Alhasil, Rohib berhasil selamat dari hukumannya.

***

Bagaimana cerita rakyat Mentiko Betuah versi saya ini? Apakah lebih menarik atau sama saja? Hehehe... Oiya, sekadar informasi, jika teman-teman ingin mencari cerita rakyat Indonesia lainnya, saya punya beberapa rekomendasi cerita, yaitu cerita bawang merah bawang putih, cerita rakyat danau toba, cerita rakyat timun mas, cerita rakyat keong mas, dan cerita wayang.
0 Komentar untuk "Cerita Rakyat Indonesia #84: Mentiko Betuah"

Back To Top